Kantor PM Sri Lanka Pastikan, Presiden Gotabaya Rajapaksa Segera Mundur
SRI LANKA - Presiden Sri Lanka Gotabaya Rajapaksa telah memastikan rencana pengunduran dirinya, Senin (11/7).
Info ini disampaikan Kantor Perdana Menteri Sri Lanka, setelah puluhan ribu demonstran menguasai kediaman Presiden dan Perdana Menteri, sejak Sabtu (9/7).
Pada hari yang sama, Ketua Parlemen telah mengumumkan rencana pengunduran diri Rajapaksa pada Rabu (13/7). Namun, belum ada kepastian langsung dari Rajapaksa, terkait pengunduran diri tersebut.
Perdana Menteri Sri Lanka Ranil Wickremesinghe juga menyatakan siap mundur, untuk membuka jalan bagi semua partai dalam membentuk pemerintahan yang baru.
Sementara itu, para pemimpin gerakan memastikan, rombongannya tak akan minggir dari kediaman resmi para pejabat negara di Kolombo, sebelum kedua pejabat negara itu lengser.
Kolombo yang merupakan kota terbesar di Sri Lanka, terlihat begitu tenang di hari ini. Ratuan orang tampak lalu lalang ke kantor dan kediaman Presiden, dan mengelilingi bangunan era kolonial itu.
“Kami tidak akan ke mana-mana, sampai Presiden melepas jabatannya. Sampai kami memiliki pemerintahan yang diterima oleh seluruh rakyat,” kata Jude Hansana (31), yang aktif berdemo sejak April lalu, seperti dikutip Reuters.
“Kami berjuang untuk reformasi politik yang lebih luas. Tak hanya sekadar melengserkan presiden. Ini hanya awal,” imbuhnya.
Demonstran lainnya, Dushanta Gunasinghe mengaku menempuh perjalanan sejauh 130 km untuk mencapai Kolombo. Dia terpaksa berjalan kaki, karena krisis bahan bakar.
“Saya baru tiba pagi ini. Saya sangat lelah. Bahkan, hampir tak bisa bicara,” kata pria berusia 28 tahun itu, sambil mengambil kursi plastik di luar Kantor Presiden.
“Saya datang dari jauh, karena saya yakin, kita harus menyelesaikan masalah ini. Kita butuh pemimpin yang lebih baik,” imbuhnya.
Ketika para demonstran merangsek ke kantor dan kediaman resmi mereka, Rajapaksa dan Wickremesinghe tidak berada di tempat. Keduanya tak terlihat di muka umum, sejak Jumat (8/7)Warga Sri Lanka menyalahkan Rajapaksa atas runtuhnya ekonomi yang bergantung pada pariwisata, yang kemudian babak belur oleh pandemi Covid-19. Ditambah lagi, pemerintah Sri Lanka juga melarang pendirian pabrik pupuk kimia.
Keuangan Sri Lanka dilumpuhkan oleh hutang yang menumpuk, dan potongan pajak dalam rezim Rajapaksa. Cadangan devisa pun cepat habis, karena harga minyak naik.
Negara yang berpenduduk 22 juta jiwa itu, hampir tidak memiliki sisa dolar untuk mengimpor bahan bakar, yang telah dijatah secara ketat. Antrean panjang di depan toko-toko yang menjual gas untuk memasak, menjadi pemandangan lazim.
Bulan lalu, inflasi di Sri Lanka telah menyentuh angka 54,6 persen. Bank Sentral setempat telah memperingatkan, angka tersebut masih bisa melonjak hingga 70 persen dalam beberapa bulan mendatang. (HES/AY/rm.id)
Olahraga | 18 jam yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Nasional | 1 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
Nasional | 1 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu