Kritik Politik Kaum Manula
SEORANG politikus gaek dikritik karena mengkritik. Sikap kritisnya bukan baru sekarang, tapi sejak dulu, sejak reformasi, dimana lebih 200 juta jiwa berharap perubahan fundamental yang melahirkan rezim demi rezim. Kritik telah membuahkan transformasi generasi hingga lima presiden berikutnya. Kini, ia menua dengan kekritisannya. Para pemula dan sebayanya mengkritiknya, waktunya untuk istirahat dengan bijak. Apakah kesadaran politik ada batasnya?
Ketika Joe Biden di usia 79 tahun dilantik sebagai Presiden Amerika, banyak orang tak percaya. Ia acapkali mengkritik kepemimpinan Republiken yang konvensional. Biden tak sendiri, ada Mahathir Mohamad di Asia Tenggara yang sepuh di usia 97 tahun. Ia rajin mengkritik kepemimpinan Barisan Nasional yang tak cakap mengelola pemerintahan. Kini, ia bahkan mencalonkan diri sebagai anggota parlemen di Malaysia.
Seorang dokter dikritik karena tak hanya mengeluarkan resep obat bagi pasien. Di sela kerjanya ia tak segan memproduk kritik atas kebijakan yang merugikan dirinya sebagai warga negara. Ia menyadari bahwa profesi apapun adalah elemen utama dalam mengkonstruksi negara. Bukankah rakyat adalah esensi pokok dalam konsepsi negara. Kesadaran itu menjadikan ia dan profesinya tak bisa disewenang-wenangkan. Semua sama di mata hukum dan pemerintahan.
Para pegiat transgender menggeliat. Mereka berkumpul membentuk wadah, mengkritik kebijakan yang dianggap diskriminatif. Terlepas perkara etis dan nilai dalam ragam agama, mereka menuntut equalitas agar nilai kemanusiaan mereka tak dicederai, apalagi ditendang dari layanan publik. Mereka hanya butuh negara memproteksi sejauh hak dasarnya tak dilukai, apalagi ditindas sebagaimana amanah konstitusi, melindungi segenap bangsa.
Kaum ras Melanesia di Papua menuntut keseimbangan yang nyata. Keseimbangan itu bukan hanya soal politik dan ekonomi, juga penghargaan atas socio-cultural yang menjadikan mereka secara kasat mata berbeda. Ketidakseimbangan itu menjadikan mereka merasa dipredikati berbagai item terisolasi, tertinggal, termiskin, bahkan terasing. Semua itu jelas mengandung beban psikologis yang tak mudah dilunturkan hanya dengan mengafirmasi lewat kebijakan instant.
Politik rupanya tak peduli soal usia, profesi, gender, bahkan ras. Politik hidup dalam prinsip utamanya, berbagi dalam keseimbangan. Basis nilainya keadilan. Demikian kualitatifnya makna itu hingga ukuran-ukuran keadilan sangat subjektif dan proporsionalistik. Bisa dipahami ketika rasa keadilan atau timbangan proporsionalitas tadi tak mencapai ukuran normatif, maka politik meminjam apa yang disebut Idris Pattarai (2022) mengalami gerak dinamis dan lekukan behaviour dalam kerangka sistem politik klasik dan modern. Mencari dan menemukan konsensus baru.
Kita tak bisa membatasi politik sebagai milik kawula, kaum oldman seperti Amien Rais, kelompok transgender dan feminisme, atau hanya milik para politikus yang tak jelas ada di mana. Sejauh ia menyentuh, dalam makna kemaslahatan kolektif kata Aristoteles adalah wajar menjadi kesadaran bersama, tidak dibiarkan dan dikelola begitu saja oleh politikus yang hanya bicara soal siapa dapat apa, berapa, kapan, di mana dan bagaimana, sebut Laswell.
Kita sepakat bahwa tanggung jawab politik mesti ada di pundak setiap warga negara. Meski begitu, realitas ruang politik kita justru didominasi kaum tua di Senayan (96 persen) dan di elite partai. Kaum muda hanya empat persen, bahkan terjebak dalam perang maya antara Kampret vs Cebong. Kekurangpiawan memainkan peran artikulatif politik menjadikan mereka tak lebih sebagai penonton bagi politisi lansia yang mendominasi dan terasa monoton. Itu-itu saja. Padahal kontribusi milenial dalam pemilu mencapai 35-40 persen (LIPI, 2020).
Faktor lain kemungkinan semangat berpolitik di usia tua muncul karena sistem bernegara kita cukup kondusif menyebut lansia bila di atas 65 tahun (UU Nomor: 13 Tahun 1998). Bahkan, WHO menyatakan lanjut usia jika 60-74 tahun (elderly), di atas 75 tahun disebut lanjut usia tua (old). Artinya, sejauh kita masih sadar akan hak dan kewajiban sebagai warga negara, politik bukanlah percakapan haram yang mesti dijauhi karena usia. Setiap kita merespons isu dalam grup misalnya, sadar atau tidak kita sedang mengaktifkan neuro-politics kita lewat bingkai dialektika.
Mungkin, satu-satunya kendala kita adalah pengetahuan yang minim soal isu yang ditangkap cepat tanpa tapisan ilmu yang mendalam. Apalagi jauh dari kearifan dan kebijaksanaan. Di situ rasionalitas kritik seringkali diganggu oleh emosionalitas yang meluap. Padahal kritisisme adalah produk filsafat yang langka. Dan untuk soal kematangan mental itu, sama dengan perasaan kita pada soal politik, seringkali tak mempedulikan usia, profesi, gender, dan ras. Dia selalu muncul dalam ketidakseimbangan penilaian yang menempatkan kita secara subjektif.(*)
*) Penulis adalah analis pada Pusat Kajian Strategis Pemerintahan Jakarta
Pos Tangerang | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Nasional | 1 hari yang lalu