Pendekatan Hermeneutika (2)
CIPUTAT - Sebenarnya, pendekatan ini bukan hal yang baru. Bibel (Alkitab) kitab suci agama Kristen sudah lama menggunakan metode ini di dalam memahami kitab sucinya. Istilah hermeneutika dapat ditemukan dalam literatur peninggalan Yunani Kuno, seperti Organon karya Aristoteles yang di dalamnya terdapat risalah terkenal Peri hermenêias (Tentang Penafsiran). Ia juga digunakan dengan bentuk nominal dalam epos Oedipus at Colonus, beberapa kali muncul dalam tulisan-tulisan Plato, dan pada karya-karya para penulis kuno, seperti Xenophon, Plutarch, Euripides, Epicurus, Lucretius, dan Longinus. Kedua istilah tersebut diasosiasikan kepada Hermes (hermeios), yang dalam literature klasik Islam dihubungkan dengan Nabi Idris, seorang utusan (dewa) dalam mitologi Yunani Kuno yang bertugas sebagai “juru bicara” Tuhan, yakni menyampaikan dan menerjemahkan pesan Dewata yang masih samar-samar ke dalam bahasa yang bisa dipahami manusia (R. E. Palmer, Hermeneutics,1969, 13-14).
Hermeneutika Gerhard Ebeling, adalah kiasan untuk tiga tugas utama hermeneutika modern. Pertama, mengungkapkan sesuatu yang tadinya masih berada dalam pikiran melalui kata-kata sebagai medium penyampaian. Kedua, menjelaskan secara rasional sesuatu yang sebelumnya masih samar-samar sehingga maksud atau maknanya dapat dimengerti. Terakhir, menerjemahkan suatu bahasa yang asing ke dalam bahasa lain lain yang lebih dikuasai (Jean Grondin, Introduction to Philosophical Hermeneutics. 1994, Halaman. 20).
Hermeneutika dan penafsiran mempunyai wilayah persentuhan tetapi keduanya tidak identik. Penafsiran teks adalah kegiatan berpikir, praktek penafsiran, usaha memahami. Untuk berpikir orang bisa tidak bermetode, tapi befikir yang baik adalah berfikir dengan metode. Jika diputuskan untuk menggunakan metode dalam menafsirkan atau memikirkan teks, maka di situlah hermeneutika berperan. Jadi hermeneutika adalah metode atau teori penafsiran.
Dengan demikian, hermeneutika tidak selamanya berarti metode tetapi juga bisa berarti teori (Kunstlehre), sebagaimana menurut Schleiermacher. Menurutnya, teori berarti metode dan filsafat. Sebab metode adalah teknik-teknik menafsirkan secara benar.
Sebagai filsafat, hermeneutika berarti segala macam usaha manusia memahami apa yang terjadi ketika manusia menafsirkan teks dan apa yang terjadi ketika metode-metode interpretasi tertentu dirumuskan atau digunakan dalam penafsiran. Dalam berbagai literatur hermeneutika modern, proses pengungkapan pikiran dengan kata-kata, penjelasan yang rasional, dan penerjemahan bahasa pada dasarnya lebih dekat dengan pengertian penafsiran (exegesis) daripada hermeneutika. Hal ini karena eksegesis berkaitan dengan kegiatan memberi pemahaman tentang sesuatu ketimbang perbincangan tentang teori penafsiran yang lazim dalam hermeneutika.
Kekhususan dan sekaligus keutamaan ‘Ulum Al-Qur’an di dalam memahami teks Al-Qur’an ialah lebih aman untuk memelihara aqidah ummat, lebih compatible dengan teks Al-Qur’an, sudah teruji dalam sejarah intelektual dunia Islam, lebih banyak mengikuti tradisi penafsiran Nabi, para sahabat, dan tabi’in, dan tentu saja memiliki referensi lebih luas, komperhensif, dan uptodate.
Bandingkan dengan hermeneutika lebih banyak terkonsentrasi pada kajian-kajian yang bersifat antroposentrisme, lebih mengandalkan analisis semantic, semiotic, filologi, dan ilmu-ilmu ilmu-ilmu social lainnya. Dengan demikian, pendekatan hermeneutika memiliki beberapa kelemahan mendasar, antara lain taks yang tadinya muhkamat bisa menjadi mutasyabihat, ushul bisa menjadi furu’, dhawabit bisa menjadi mutagayyirat, qath’i bisa menjadi dhanni, ma’lum bisa menjadi majhul, ijma’ bisa menjadi ikhtilaf, mutawatir bisa menjadi ahad, dan yaqin bisa menjadi dhann atau syak. Kelemahan yang paling mendasar metode ini ialah desakralisasi wahyu sebagai prasyarat untuk penerapan metode hermeneutika. Di sinilah letak kontroversi paling mendasar metode ini
Namun demikian, pendekatan hermeneutika juga memiliki hal-hal yang positif dan dapat dipertimbangkan bagi para pengkaji teks Al-Qur’an, antara lain metode hermeneutika dapat melahirkan makna aktual sebuah teks, meskipun dengan cara ta’wil juga bisa menemukan hal yang sama, bisa mendekatkan teks dengan para pembaca, mengeliminir mistikasi penafsiran kitab suci, dan secara umum bisa melahirkan pemahaman ayat-ayat Al-Qur’an lebih terukur dan lentur dengan zaman.
Dalam tradisi ‘Ulum Al-Qur’an dikenal dua istilah yaitu mufassir dan mufahhim. Mufassir ialah seorang yang berusaha menafsirkan Al-Qur’an dengan menggunakan metodologi khusus. Menurut Al-Suyuti dalam Al-Itqan seorang mufassir harus menguasai 13 ilmu tafsir, yaitu Ilmu Nahwu, Sharaf, Istishqaq, Bayan, Badi’, Asbab al-Nuzul, Qishah, Nasikh wa al-Mansukh, Fiqh, Ushul Fiqh, dan Sushul al-Din.
Sedangkan mufahhim ialah orang yang yang berusaha memahi Al-Qur’an tanpa terikat dengan 12 standar ‘Ulum Al-Qur’an. Mungkin ada orang tidak menguasai ilmu-ilmu alat tafsir tetapi mempunyai kemampuan khusus, maka itulah yang disebut mufahhami. Perbedaannya ialah karya mufassir bisa menjadi rujukan (legitimed) terbuka, sedangkan karya mufahhim kurang legitimed dan hanya digunakan untuk lingkungan terbatas.
Meskipun di atas diuraikan perbedaan mendasar antara pendekatan hermeneutika dan ilmu tafsir tetapi keduanya memiliki titik persinggungan, antara lain pentingnya memahami Asbab al-nuzul dan Asbab al-wurud (historical backgroud), Ta’wil, Analisis Mufradat, Maqashid al-Syari’ah, Mafhum dan Manthuq, Tarikh al-tasyri’, Ilmu Balagah (Bayan, Badi’, dan Ma’ani), dan Kaedah-kaedah linguistik bahasa Arab. (Bersambung)
Nasional | 1 hari yang lalu
Olahraga | 2 hari yang lalu
Pos Banten | 5 jam yang lalu
Pos Banten | 1 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Pos Banten | 2 hari yang lalu
Olahraga | 2 hari yang lalu
Olahraga | 1 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu