TangselCity

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Dewan Pers SinPo

Pendidikan Multi-cultural Solusi Atas Maraknya Konflik

Oleh: Maulia Hasanah
Minggu, 11 Juni 2023 | 07:00 WIB
Ilustrasi
Ilustrasi

KONFLIK seolah-olah sudah menjadi sebuah ideologi yang harus dipertahankan dan dipilihara atas kelangsungannya oleh masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia sudah menganut ideologi yang salah yaitu mempertahankan konlfik. Parahnya lagi bahwa dibelakang konlfik tersebut, didominasi oleh para pelajar, mahasisawa dan elit-elit yang berpendidikan.

Lihat saja konflik yang terjadi di beberapa daerah belakangan ini. Atas nama kebenaran individu dan atas kelompok, mereka saling membunuh, saling membantai, saling menghancurkan dan saling berebut untuk menjdi pemegang kekuasaan (power). Tanpa kita sadari bahwa konflik tersebut akan menimbulkan banyak kerugian. Dengan konflik semacam itu, mau tidak mau kita harus memikirkan secara serius dan sistimatik untuk meminimalisis konflik yang sedang terjadi di berbagai daerah agar dapat membangun kesadaran masyarakat dalam kehidupan yang homogen ini. Karena bangsa Indonesa adalah bangsa yang homogen. Tumbuhnya kesadaran yang homogen akan melahirkan sikap yang toleransi antar sesama. Toleransi antar sesama merupakan cita-cita bangsa yang selalu kita dukung dan diperjuangkan sehinga menjadi bangsa yang damai. 

Kemunculan konlfik merupakan tanda tanya besar bagi kita, lagi-lagi konflik itu terjadi atas nama agama. Agama diturunkan oleh Allah di muka ini justru membawa pesan yang mencerahkan. Pesan yang emban oleh agama adalah kedamaian, saling menghargai, saling menghormati dan sejenisnya. Bukan saling membantai dan lain sebagainya.

Carles Kimball sebagaimana yang dikutip oleh Ngainum Naim mengatakan bahwa kita tidak bisa serta-merta menuduh agama sebagai biang masalah. Agama harus dipahami dalam konteks relation dengan kehidupan yang berbasis reality. Sejalan dengan Abraham Haschel yang mengatakan bahwa “agama bukanlah pulau dalam dirinya” (no religion is an island). Agama harus dipahami dalam konteks yang universal agar konflik mengatasnamakan keyakinan “believe” (Agama/Din) bisa dihindarkan.

Sangat rancu kalau konlfik itu akan melibatkan agama. Di era yang penuh dengan konflik seperti yang kita saksikan dewasa ini, diperlukan reformasi lembaga pendidikan agar bangsa ini bisa meloloskan diri dari konflik yang berkelanjutan ini. Reformasi yang dimaksudkan adalah men-design kurikulum yang multicultural. Kurukulum multicultural setidaknya akan memberikan pemahaman yang beragam kepada masyarakat.

Meskipun berbeda agama, ras, suku, culture, dan sejenisnya tetap saling menghargai dan toleransi antar satu dengan yang lainnya. M Amin Abdulah yang dikutip oleh Ngainun Naim (2008) memberikan gambaran secara jelas tentang pengaruh terbentuknya semangat kelompok yang menimbulkan terjadinya konflik.
Pertama; parakialisme: yang bertolak dari arogansi wilayah serta ciri yang menetapkan pada kelompok

Kedua; sektarianisme; yang kebih menonjolkan cirri sekte dan merasa sebagai kelompok paling hebat dan kampium.

Ketiga; ghetto-ism; yang bertolak dari keeprcayaan pada orang lain dan menutup diri, baik dengan alasan superioritas maupun inforioritas.

Keempat; tribalism; yang mengandalkan persatuan komunitas sendiri dengan cirri-ciri menolak kehadiran komunitas lain.

Kelima; fasisme; yang menganggap diri paling utama dan sampai pada kesimpulan untuk mengenyahkan orang lain maupun menutup legitimasi mereka. Keenam; eksklusisivisme; sikap menutup diridari pergaulan dengan orang lain, karena takut tercemar keburuan orang lain, dan juga ingin mempertahankan keaslihan dan kemurnian pribadi”  

Jika semangat kelompok ditanamkan pada sebuah Negara, maka jangan berharap banyak akan terjadi perdamaian seperti yang diinginkan oleh kebanyakan orang. Malah akan menimbulkan konflik yang berkelanjutan. Namun harus ada usaha yang serius untuk menghidari konflik yang berkepanjangan di Negara ini agar tidak di claim sebagai Negara konflik.

Upaya yang dilakukan oleh lembaga pendidikan adalah men-deign kurikulum yang berbasis multicultural agar menciptakan perdamaian. Usaha ini segera dilakukan kalau boleh meminjam istilahnya M. Amin Rais “mendesak” sehingga masyarakat pada umumnya dan peserta didik pada khusunya agar bisa menerima perbedaan dan saling toleransi antara sesama. 

Pendidikan merupakan lembaga yang mampu melahirkan manusia dari ketidak tahuan menuju kecerahan. Untuk itu, lembaga pendidikan harus men-design kurikulum agar mampu menghasilkan paham yang beragam (multi-cultural). Dengan men-design kurikulum yang multi-cultural ini menandakan adanya pemahaman yang merendahkan hati untuk menerima perbedaan, saling toleransi dan saling menghargai antar sesama.

Merujuk pendapat Ngainum Naim dalam bukunya pendidikan multi-cultural bahwa keragaman culture akan menandakan pemahaman yang beragam dan toleransi. “pemahaman dan pemaknaan terhadap multiculturalism, yaitu sebuah paham tentang culture yang beragam.

Dalam keramana culture ini meniscayakan adanya pemahaman, saling pegertian, toleransi dan sejenisnya, agar tercipta sesuatu kehidupan yang damai dan sejahtera serta terhindar dari konlfik perkepanjangan”  sementara Abdullah yang dikutip oleh ngainun naim mengatakan bahwa multiculturalism adalah “sebuah paham yang menekankan pada kesenjagan dan kesetaraan budaya-budaya local dengan tanpa mengabaikan hak-hak dan eksistensi budaya yang ada”. Artinya bahwa kesetaraan dan keragaman pemahaman merupakan point utama dalam usaha menghidari konflik yang berkepanjangan yang dianut oleh masyarakat Indonesia dewasa ini. 

Sejalan dengan Ahmad Syafei dalam Ngainum Naim. Syafei berpendapat bahwa multicultural adalah konsep yang mengakui dan dengan kerendahan hati bisa menerima perbedaan dan kemajemukan antara satu dengan yang lain. Hatta itu beda agama, suku, ras dan ethnic. Bangsa yang multicultur adalah bangsa yang kelompok-kelompok etnik atau budaya (ethnic and culture group) yang ada dapat hidup berdampingan secara damai dalam prinsip co-existence yang ditandai oleh kesediaan untuk menghormati budaya lain. Pluralitas ini juga ditangkap oleh agama, selanjutnya agama yang mengatrur untuk menjaga keseimbangan masyarakat yang plural tersebut.

Kemajemukan merupakan hukum alam (sunnatullah) yang tidak bisa di elakkan. Plural mempunyai makna penting dalam kehidupan beragama. Islam tidak pernah mengajarkan kepada umatnya untuk saling memusihi antara sesama. Dalam Al-Qur’an Allah menjelaskan bahwa “dan di antara tanda-tanda kekuasan-Nya adalah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pda yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang yang mengetahui, (QS. Al-Rum {30 };22)”

Kata yang berlain-lainan bahasamu dan warna kulit yang terdapat dalam ayat di atas menunjukan kemajemukan dan perbedaan dalam kehidupan sehari-hari. Hidup bersuku-suku, berkaum-kaum atau bebangsa-bangsa lengkap dengan perbedaan khas masing-masing. Semua perbedaan yang selanjutnya mendorongn mereka untuyk saling menghargai, saling toleransi antara satu sama lain kesatuan ummat manusia/bhineka tunggal ika (unity in diversity), dan pada akhirnya akan menumbuhkan solidaritas antar sesama.

Komentar:
Berita Lainnya
Ilustrasi
Menyoal Mistisisme Yahudi
Sabtu, 20 Juli 2024
Dahlan Iskan
Tiga Presiden
Selasa, 01 Oktober 2024
Dahlan Iskan
Nasib Kakak
Senin, 30 September 2024
Foto : Ist
Ayo Adu Gagasan
Sabtu, 28 September 2024
Prof. Dr. Muhadam Labolo
Menyerah pada Korupsi?
Jumat, 27 September 2024
GROUP RAKYAT MERDEKA
sinpo
sinpo
sinpo