TangselCity

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Dewan Pers SinPo

Politik Dan Kekuatan Doa

Oleh: Eeng Nurhaeni
Sabtu, 29 Juli 2023 | 07:10 WIB
Ilustrasi
Ilustrasi

SEORANG filosof dan teolog Amerika Serikat, Nicholas Wolerstorff menyatakan bahwa kualitas keimanan masyarakat tak lepas dari nilai-nilai keadilan yang berlangsung di tengah masyarakat tersebut. Karena itu, tak ada kesalehan individu maupun sosial, tanpa adanya penegakan prinsip-prinsip keadilan di tengah kehidupan masyarakat tersebut. Masyarakat yang tidak adil akan kehilangan martabat dan jati dirinya. Dalam masyarakat ini, sebagian orang tersudut atau sengaja disudutkan. Mereka tak terinkorporasikan ke dalam kehidupan yang sedang berkembang. Masyarakat yang tidak adil bukanlah citra atau cerminan dari Tuhan dalam keutuhan-Nya. Kerana, Tuhan tidak pilih kasih, tidak pandang bulu, dan tidak mengecualikan siapa pun.

Kerinduan pada kepemimpinan yang adil dan memiliki integritas kerakyatan, tercermin dalam doa yang sangat masyhur: “Datanglah kerajaan-Mu”. Doa ini cukup unik, diajarkan langsung oleh Nabi Isa alaihissalam. Doa yang sangat revolusioner, memohon datangnya kekuatan Tuhan untuk mengalahkan kelaliman penguasa tiran. Doa ini seakan memperjuangkan tegaknya kerajaan baru sebagai realitas fisik, di mana penindasan harus diakhiri, dan kehidupan yang adil dan merdeka harus dimulai.

Oleh karena itu, doa – sebagaimana salat – sangat berhubungan dengan realitas sosial, kemerdekaan jiwa, serta penegakan prinsip-prinsip keadilan. Di masa kehidupan Nabi Muhammad, masyarakat Qurays pernah memandang orang-orang Arab Baduy sebagai suku yang berkasta rendah. Sikap demikian diingatkan oleh Nabi bahwa semua manusia sama saja, karena derajat kemuliaan manusia terukur dari kebaikan dan takwanya. Sinisme masyarakat Qurays dibalas secara reaktif oleh suku Baduy, sambil memanjatkan doa: “Ya Tuhan kami, lindungilah Muhammad, tetapi jangan lindungi masyarakat Qurays.” Nabi kemudian memberi peringatan, bahwa cara-cara berdoa seperti itu adalah keliru, karena yang benar adalah: “Lindungilah, dan damaikanlah manusia dan semua makhluk Tuhan.”

Di sisi lain, salat dikenal dalam Alquran sebagai sarana untuk mencegah perbuatan keji dan mungkar. Jika perilaku dan perbuatan orang tidak diubah oleh salatnya, berarti salatnya yang tidak benar. Jadi, perbuatan buruk (kemungkaran) baru bisa dicegah apabila salat itu dijalankan dengan benar, fokus, sambil menghayati bacaan-bacaan salatnya dengan khusuk. Hal ini diperkuat oleh hadis Nabi, bahwa, “Orang yang salatnya tidak mencegah dirinya dari perbuatan fahsya dan mungkar, tidak memperoleh tambahan dari Tuhan kecuali semakin jauh dari-Nya.” Dalam konteks lain, Nabi bahkan menyampaikan secara revolusioner, bahwa salatnya orang-orang bodoh tidak lebih baik dari tidurnya orang-orang cerdas dan berilmu pengetahuan.

Kita khawatir perihal degradasi moral yang melanda masyarakat kita akhir-akhir ini. Kita merasa jengkel terhadap situasi politik yang teramat gaduh, di tengah identitas masyarakat yang terang-terangan mengakui bertuhan dan beragama. Tetapi, apakah selama ini kita telah mempraktikkan etika dalam salat dan doa-doa kita? Jangan-jangan, salat kita hanya berfungsi selaku tambal sulam atau “penggugur kewajiban” semata. Setelah itu, tak ada urusan dengan moral dan akhlak bangsa yang kian merosot.

Kita memahami, masjid-masjid penuh setiap kali melakukan salat Jumat. Istighasah, tablig akbar, ceramah-ceramah juga dilakukan di mana-mana. Tetapi, mengapa hoaks, fitnah, dan ujaran kebencian juga marak tiada henti-hentinya. Korupsi berjalan sedemikian massif, hingga menggerogoti sendi-sendi perekonomian kita. Mengapa salat dan doa bangsa ini kurang efektif bagi perbaikan moral dan akhlak bangsa? Bukankah dengan demikian, salat dan doa bangsa ini tidak berdampak pada perubahan, karena seakan-akan tak berhubungan dengan masalah-masalah moral, kemanusiaan, keadilan dan tenggang rasa sesama warganegara? Mengapa salat dan doa dianggap sebagai ritual formalistik, seakan menjadi kesalehan individu yang eksklusif dan setril dari masalah-masalah sosial kemasyarakatan?

Dalam pemaknaan salat dan doa semacam itu, hendaknya bangsa ini banyak bertafakur dan bercermin diri, apakah salat kita tergolong salatnya orang-orang munafik seperti yang terang-terangan disindir dalam Alquran (al-Maun, 1-7): “Tahukah kamu orang yang berbohong pada agamanya? Dialah orang yang benci pada kaum miskin, dan enggan mengajak orang untuk menyantuni mereka. Celakalah bagi orang-orang yang salatnya lalai, ingin dipuji orang, serta enggan mengulurkan tangan kepada orang-orang yang membutuhkan pertolongan.”

Di situ nampak jelas bahwa salat dan doanya orang munafik, sangat berkaitan erat dengan perilaku memolitisasi ibadah di hadapan Tuhan dan makhluk-Nya. Orang dianggap sudah baik, hanya semata-mata sudah melaksanakan salat dan doa. Penafsiran itu mudah sekali dijadikan alat legitimasi bagi kaum politikus untuk mengonsolidasi hasrat dan nafsu kekuasaannya.

Di era pemerintahan Jokowi ini, kita akrab dengan istilah “revolusi mental”. Tetapi, hal tersebut perlu menjadi satu kesatuan dengan konsep revolusi doa dan sembahyang bagi bangsa ini. Tidak cukup dengan membangun banyak tempat ibadah, tetapi juga memberikan pendidikan dan penyadaran tentang kualitas doa, salat dan ibadah, yang dapat membuahkan moral yang baik. Dari sudut kultural, praktik ibadah adalah kesempatan, di mana orang menjalin hubungan baik dengan kelompoknya, maupun realitas sosialnya, termasuk membangun relasi dengan kekuasaan.

Praktik ritual dan kekuasaan selalu relasional di Banten ini. Kekuasaan mau tak mau juga memengaruhi ritus yang dirasakan secara riil oleh mereka yang menjalankan aktivitas ritual itu. Di situlah terletak hubungan antara doa, salat, dan kekuasaan. Di dalam Islam, doa harus dipanjatkan dengan lembut dan santun. Ia dapat berfungsi sebagai ekspresi cinta antara pemimpin dengan rakyatnya, antara suami dengan istri, juga antara orang tua dengan anak-anaknya. Ia dapat berfungsi selaku ratapan orang jujur yang tidak bersalah tetapi menjadi korban, sebagai teguran ulama terhadap umatnya. Secara umum, ia dapat berfungsi selaku penyembuh (al-syifa) yang dapat mengobati luka sosial umat, sebagai jalan bagi para pemimpin untuk menjalankan kepemimpinan yang baik dan adil.

Kualitas doa pemimpin, identik dengan kualitas salat atau sembahyangnya. Jika baik salatnya, maka baiklah segala pikiran, ucapan dan tindakannya. Jika salatnya munafik, maka kebijakan kekuasaan akan menjelma sebagai perusak moral dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Doa dan salat yang disalahgunakan oleh pihak-pihak politisi yang berambisi pada kekuasaan, boleh jadi berdampak buruk ketika kekuasaan itu sudah berada dalam genggamannya. Ia akan menjelma sebagai alat pemukul dan penggebuk yang dapat memorakporandakan persatuan dan kesatuan umat.

Sementara, kekuasaan sendiri bersifat netral. Ia akan menjelma sebagai kekuatan pembangun peradaban yang baik, manakala pemimpin memanfaatkan kekuatan doa dengan etika yang baik, hingga memancar dalam kalbu dan sanubari rakyat.

Komentar:
GROUP RAKYAT MERDEKA
sinpo
sinpo
sinpo