TangselCity

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Dewan Pers SinPo

Menjaga Kehormatan

Oleh: Prof. Dr. Muhadam Labolo
Minggu, 03 Maret 2024 | 21:10 WIB
Prof. Dr. Muhadam Labolo.(Dok. Pribadi)
Prof. Dr. Muhadam Labolo.(Dok. Pribadi)

KETIKA Jendral Besar A.H Nasution menawarkan pangkat tituler Mayjend kepada Ulama Besar Buya Hamka atas jasanya memobilisasi perlawanan rakyat pada Belanda, Ia menolak. Alasannya sederhana. Ia hanya ingin fokus pada bidangnya, berdakwah dan menulis. Atas ketekunannya, Hamka dikenang sebagai sastrawan hebat, selain mewariskan Tafsir Al Azhar.

Setahun lalu, Emil Salim diberikan penghargaan bergengsi Climate Hero Award dari Foreign Policy of Community Indonesia (FPCI). Ia menolak. Di atas panggung Emil beri tahu alasannya. Ia merasa gagal menjalankan konvensi Rio 1992. Sungguh, panitia tak menyangka, ada tokoh yang tak berkenan menerima simbol kehormatan di bidang itu.

Emil bukannya tak mau dihormati. Nuraninya menolak penghargaan itu, bahkan mengakui sebaliknya, gagal menyelamatkan bumi dari kerusakan lingkungan. Sikap itu justru memosisikan Emil lebih terhormat. Mantan Dubes USA, Dino Patti Djalal menobatkan Emil sebagai tokoh yang memiliki integritas di antara tokoh besar lainnya.

Sikap Buya dan Emil adalah cerminan integritas langka. Ada keikhlasan, kejujuran, keterbukaan, dan keberanian menyatakan sesuatu yang lebih pantas ketimbang dirinya dalam menjaga nilai kehormatan. Mereka memperlihatkan integritas alami, tanpa dipaksa, lewat kesadaran mendalam. Keduanya memperlihatkan kelasnya di usia senja, di eranya masing-masing.

Kata Robert Caruso, kehormatan adalah sesuatu yang diberikan kepada seseorang dalam bentuk jabatan, gelar, dan pangkat. Dalam masyarakat terdapat gelar dan jabatan yang disematkan menurut konsensus sosial. Ada gelar adat dan agama, seperti Tuan Guru, atau Kai. Pada ruang formal ada profesor, doktor, bahkan jenderal kehormatan. Semua diberikan dengan alasan tertentu.

Gelar, jabatan, dan pangkat kehormatan itu diberikan tanpa harus melewati jenjang semestinya. Mereka diakui karena memiliki kelebihan luar biasa seperti seorang produser film Hollywood atau peraih nobel dunia. Hal yang sama diberikan pada sejumlah profesi karena tak menerima bayaran apapun sebagaimana anggota parlemen di sejumlah negara.

Pada posisi itu seseorang dilabeli kehormatan. Mereka yang berpotensi dihormati dalam masyarakat disebut honorable. Kata itu berasal dari honor, yang artinya menghormati. Pantas saja anggota parlemen dipanggil dewan yang terhormat. Cara lain untuk mengatakan hanya dalam nama, gelar, nominal, tidak resmi, tidak digaji, atau tidak dibayar.

Konsekuensi itu membuat anggota parlemen tak digaji, kecuali honor, sekedar pengganti ungkapan rasa hormat (honorarium). Mereka mempertaruhkan kehormatan untuk masuk parlemen, bukan sebaliknya, menjadikan profesi politikus sebagai broker atau lahan mencari keuntungan pribadi dan kelompok. Di situlah makna tuna kehormatan.

Kehormatan tak perlu dicari lewat simbol formalistik. Itu hanya menunjukkan upaya menutupi kelemahan diri. Seorang kepala daerah yang kerjanya mencari-cari simbol kehormatan dari berbagai bidang faktanya sebaliknya, nirprestasi. Setiap perangkat daerah diminta melobi untuk dapat penghargaan. PraktIk ini mencipta penyakit suap-menyuap.

Kehormatan semacam itu instan. Prosesnya ditransaksikan untuk menyenangkan pimpinan. Asal Bapak Senang, lewat rupa-rupa gelar, sertifikat, brevet, dan pin kehormatan. Sayangnya, kian banyak penghargaan makin sulit mempertahankan. Bahkan, sejumlah kepala daerah dengan puluhan simbol kehormatan itu berakhir di tahanan.

Kehormatan biasanya muncul lewat sikap yang konstan. Gelar Al Amin Muhammad SAW bukan dipromosikan oleh timses, tapi pancaran perilaku yang mengendap lewat interaksi kehidupan. Tumbuh dan terjaga hingga akhir hayat. Di Asia Timur seperti Jepang, Korea dan China, kehormatan merupakan perkara sakral. Tak heran bila seringkali pejabat mengundurkan diri, bahkan bunuh diri hanya karena lalai menjaga kehormatan.(*)

*) Penulis adalah Guru Besar pada Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN)

Komentar:
GROUP RAKYAT MERDEKA
sinpo
sinpo
sinpo