Mengaktifkan Etika
SUDAH lama publik tak mendengar etika ditegakkan. Harapan itu ditambatkan berhubung hukum tak berfungsi (lawless). Hukum hanya menyentuh bagian landai seperti pencuri ayam, judi kecengan, hingga pemadat narkoba kelas teri. Lebih lagi bila hukum pilih buluh, mahal, berliku, bahkan dipenuhi penjaja hukum yang bersembunyi di rumah pengadilan.
Ketika Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menjatuhkan hukuman etik kepada Ketua KPU Hasyim As'ary, moral publik seakan dicubit kembali. Putusan itu dinilai memuaskan, sekaligus menepis keraguan publik soal putusan akhir ketiga dan terakhir. Putusan itu juga pesan pada semua cabang kekuasaan yang memiliki badan-badan etik agar tak segan menjatuhkan sanksi etik untuk perbuatan amoral.
Rasanya hampir semua cabang kekuasaan punya badan etik, tapi mandul dan sepi aksi. Legislatif punya Badan Kehormatan. KPK punya Dewan Etik. Kepolisian, Kejaksaan dan Kehakiman punya Dewan Etik. Korporasi juga punya komisi etik. Bahkan di organisasi masyarakat sebagai representasi infrastruktur politik punya dewan etik seperti pers, partai, dan perguruan tinggi.
Bila semua organ etik itu bekerja dengan baik, masa depan hukum dan keadilan mungkin punya harapan. Andai Badan Kehormatan di legislatif mampu mengontrol anggotanya, kasus lebih 1.000 anggota dewan terjerat judi online mudah diatasi (PPATK, 2024). Andai dewan etik di lembaga yudikatif berfungsi, kita sulit menemukan hakim selingkuh, terima suap dan korup seperti di Jepang.
Andai komisi etika di lembaga eksekutif aktif, kita tak kesulitan menyelesaikan pejabat administrasi menyalahgunakan, mencampuradukkan atau bersikap sewenang-wenang. Semua praktik maladministrasi di ruang birokrasi, kedokteran, hukum, kepolisian, militer, bahkan agama dapat dikontrol.
Andai badan etik di perguruan tinggi aktif, kita tak mungkin menemukan dosen loncat jabatan hingga menghalalkan prosedur untuk sampai ke level guru besar. Tentu saja Majalah Tempo tak perlu menurunkan berita yang menyinggung pelanggaran etik pendidik di berbagai perguruan tinggi beserta mafianya. Semua itu karena etika tak aktif (Tempo, 2024).
Melemahnya penegakan etika membuat institusi tak punya wibawa. Ruang publik seakan kehilangan standar etika. Diinfeksi oleh virus tak beretika. Jangan heran bila dialektika di dunia maya lebih merupakan tumpahan bicara tuna etika ketimbang sopan santun. Para perancang kebijakan sami mawon. Aplikasi Sipepek misalnya, dinilai kehilangan sensivitas etika (Mardani, 2024).
Para pelaksana kebijakan pun tak lepas dari pelanggaran etika. Mereka lebih segan pada hukum. Padahal etika rahim dari hukum. Melanggar etik sama maknanya melanggar hukum, sekalipun sanksinya berbeda. Namun konsekuensinya jauh lebih menyakitkan. Dihinakan masyarakat, dihukum secara etik dengan cara diisolasi. Ironisnya, para pelanggar etika tak jarang diberi panggung sebagai narasumber.
Sekali lagi, kita perlu mengaktifkan etika lewat instrumen pengontrolnya, badan etik di lingkungan kita masing-masing. Tanpa itu kita tak bisa berharap banyak untuk meraih keadilan. Bila hukum pidana dan administrasi sudah tak bisa diharapkan, itu berarti sanksi etiklah yang tampil menyelesaikan masalah. Tanpa mengaktifkan etika kita sebenarnya kembali hidup di era barbarian.(*)
Penulis merupakan Guru Besar di Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN)
TangselCity | 20 jam yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Olahraga | 23 jam yang lalu
Olahraga | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
Pos Banten | 2 hari yang lalu
TangselCity | 15 jam yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
TangselCity | 12 jam yang lalu
Pos Tangerang | 2 hari yang lalu