Pendidikan yang Dikhianati

RANGKING pendidikan kita memprihatinkan, bila tidak disebut tertinggal atau terbelakang. Kelas menengah paham betul masalah ini. Menurut PISA (2022), sistem pendidikan kita bertengger diperingkat ke-6 ASEAN. Dari segi kualitas pendidikan duduk di posisi ke-67 dari 209 negara. Di Asia Timur, China tentu saja mendominasi, selain Jepang dan Korea Selatan.
Mereka haus pengetahuan. Semua akses digunakan. Trumph sampai kewalahan. Jumlah mahasiswa China di Harvard tertinggi, mencapai 1.016 dibanding Indonesia yang hanya 33 peserta. Total alumni Harvard asal Indonesia hanya 315 orang. Sejak Restorasi Meiji, Jepang mengirim lebih banyak mahasiswa ke luar negeri. Demikian pula Korea Selatan pasca perang saudara.
Hasilnya, China, Jepang dan Korsel kini menjadi raksasa ekonomi di dunia dan Asia. Investasi pendidikan memang tak langsung dirasakan. Tapi dalam jangka panjang semua itu terasa. Jepang hanya butuh dua kali durasi RPJP untuk memperbaiki Nagasaki dan Hiroshima. China hanya butuh 30 tahun untuk menurunkan angka kemiskinan ekstrem dari 700 jutaan menjadi 166 jutaan. Singapura apalagi.
Sebenarnya, ikhtiar mengintervensi sistem dan kualitas pendidikan kita tidak gelap dalam komposisi APBN. Amanah konstitusi pasal 31 ayat (4) jelas memaksa 20 persen minimal dibelanjakan pada sektor pendidikan. Artinya, keberpihakan pada pendidikan relatif tinggi dibanding negara lain, sekurang-kurangnya di ASEAN.
Pada level operasi, pemerintah daerah tak ketinggalan berlomba menjual isu pendidikan. Tiap momen pilkada, hampir semua kepala daerah berkampanye soal pendidikan murah, bahkan gratis. Ambisi itu menunjukkan negara dengan segenap instrumen organiknya serius menuntaskan problem pendidikan.
Malangnya, kemurahan hati (negara) tak kunjung dijalankan dengan sungguh-sungguh. Kesannya, pendidikan menjadi semacam komoditas politik murahan. Meringankan, namun gagal mengeksekusi sumbu masalah yang saling berkait. Problem itu misalnya sumber daya manusia, tatakelola, infrastruktur, dan kompetisi.
Pertama, rendahnya kualitas sumber daya pendidik. Korelasinya mungkin saja terkait rendahnya insentif. Peringkat honor dosen di Indonesia dibanding negara di Asean dan dunia, jauh di bawah rata-rata. Kita di urutan ke 6-7 dengan Rp 4,2 jt per bulan (Tempo & DataIndonesiaid, 2025). Belum lagi guru honorer, selain di bawah standar UMR (sekitar Rp 300-500.000 per bulan), pun dibayar serabutan.
Upaya peningkatan sumber daya difokuskan pada tenaga pendidik dan kependidikan. Dari sana kualitas sumber daya pembelajar dapat terungkit. Tak ada siswa bodoh, hanya kebetulan tak berjumpa dengan pendidik bermutu, kata Fisikawan Yohanes Surya ketika mendidik Siswa Papua.
Ke dalam negerinya, pendidikan berusaha meletakkan karakter dasar di samping identitasnya sebagai anak bangsa. Keluar, pendidikan mendorong perubahan wawasan dan koneksi tak hanya pada aspek kognisi dan psikomotorik, juga afeksi (kultural). Perubahan dapat mencipta agent of change. Kata Dewey, fungsi pendidikan tak lain mengubah diri dan lingkungannya menjadi lebih baik.
Kedua, tatakelola pendidikan. Rendahnya perhatian pada tenaga kependidikan berdampak pada kinerja guru dan dosen yang terkuras energinya dalam pekerjaan administrasi. Presensi, beban kerja, serta kinerja menjadi tanggungjawab total para pendidik. Eksesnya, pendidik lebih berorientasi pada upaya pemenuhan kewajiban administrasi dibanding tugas pokoknya.
Sebuah survei menunjukkan angka ketidakhadiran dosen dengan dan tanpa alasan mencapai 94 persen. Anehnya, mereka tetap menerima gaji dan tunjangan tanpa korting dengan alasan terpenuhi syarat administrasi. Gambaran ini selain meyakinkan angka ketidakjujuran akademik (16,7 persen di bawah Kazakhstan; Srholec, 2024), juga bocornya alokasi pendidikan tanpa kualitas yang diharapkan.
Ketiga, minimnya infrastruktur pendidikan menjadikan peserta didik tak betah lama di ruang kelas. Tak hanya media pembelajaran yang didukung teknologi, juga minus laboratorium berstandar. Pola monolog tanpa bimbingan di luar kelas melalui ekosistem yang menyerupai dunia kerja hanya memproduk penghayal. Luarannya surplus pemimpi bukan pemimpin. Dealer bukan leader.
Di luar upaya keras presiden memberi makan gratis, perbaikan jalan dan Jembatan Tarzan menuju sekolah belum tersentuh. Kritik publik dianggap kurang bersyukur dan menganggap semua itu adaptif secara socio-cultural. Bukankah presiden, menteri, gubernur, bupati, dan walikota pun tak dicek sekolah, ijazah, dan tak pintar bahasa asing bisa jadi pemimpin hebat. Padahal realitas kekinian butuh lebih dari sekedar kekunoan di atas pondasi keadaban.
Keempat, hilangnya competitiveness melemahkan fighting spirit peserta didik. Pola pendidikan agar semua harus lulus tak merangsang kompetisi bagi lahirnya pembelajar terbaik untuk posisi prospektif. Kondisi ini sering terjadi pada model boarding school yang seterusnya melahirkan budaya birokrasi; kerja tak kerja gaji tetap sama.
Pola stick and carrot perlu dikembangkan. Tujuannya menghela peserta didik berprestasi dan memacu yang lelet. Dengan begitu akan muncul siswa unggul sebagai primus inter pares. Mereka dapat dijadikan role model hingga mencapai titik tertinggi. Pendidikan tak boleh kehilangan karakter di tengah kompetisi yang kian tajam. Baik karakter moral maupun karakter kinerja.
Lemahnya kesungguhan membenahi empat variabel itu dalam jangka panjang menjadikan investasi pendidikan kita cenderung mengalami lost investment ketimbang berharap return investment. Kondisi ini mengakibatkan porsi anggaran terkesan bak menghambur garam di laut. Pendidikan tumbuh tanpa kualitas sumber daya yang membuat kita cemas dan lemas memandang periode emas.
Sejujurnya, kita masih berkutat pada tema politik pendidikan sebagai simbol pembaharuan seperti kasus merdeka belajar. Kita sibuk melengkapi asesoris kurikulum, namun lupa menyentuh variabel lain yang sama pentingnya. Lebih menyedihkan lagi ketika integritas pengelolaan pendidikan bermasalah. Kasus chromebook senilai Rp 9,9 triliun di Kemendikti sedikit indikasi yang menambah daftar pengkhianatan pendidikan dalam konstitusi.(*)
*) Penulis adalah Guru Besar di Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN)
Pos Banten | 1 hari yang lalu
Pos Banten | 2 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
Nasional | 1 hari yang lalu
Pos Tangerang | 1 hari yang lalu
Pos Banten | 2 hari yang lalu
Olahraga | 22 jam yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
Haji 2025 | 1 hari yang lalu