Setelah Aceh Dan Sumut, Kini Polemik Batas Wilayah Muncul Di Jawa Timur

JAWA TIMUR - Kasus sengketa wilayah tak hanya terjadi antara Provinsi Aceh dengan Provinsi Sumatera Utara saja. Polemik batas wilayah juga terjadi di Jawa Timur. Antara Trenggalek dengan Tulungagung.
Yang menjadi sengketa sebanyak 13 pulau. Yakni Pulau Anak Tamengan, Pulau Anakan, Pulau Boyolangu, Pulau Jewuwur, Pulau Karangpegat, Pulau Solimo, Pulau Solimo Kulon, Pulau Solimo Lor, Pulau Solimo Tengah, Pulau Solimo Wetan, Pulau Sruwi, Pulau Sruwicil dan Pulau Tamengan.
13 pulau ini awalnya masuk wilayah Trenggalek, tetapi berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 100.1.1-6117 Tahun 2022, disebutkan 13 pulau tersebut masuk wilayah Kabupaten Tulungagung.
Tapi, dalam Perda Provinsi Jatim Nomor 10 Tahun 2023 wilayah itu dinyatakan bagian dari Trenggalek.
Yang terbaru, Keputusan Mendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 Tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode, Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau, 13 pulau itu dimasukkan ke wilayah Tulungagung.
Keberatan dengan Kepmendagri, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Trenggalek Jawa Timur protes. Mereka meminta Kemendgari meninjau ulang masuknya 13 pulau ke dalam wilayah Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur.
Protes itu disampaikan oleh Sekretaris Daerah Kabupaten Trenggalek Jawa Timur Edy Soepriyanto, Rabu (18/06/2025). "Untuk yang utama kami mengirimkan surat dulu ke Mendagri. Untuk selanjutnya kami tidak mau berandai-andai dulu," kata dia.
Menanggapi hal itu, Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri) Bima Arya Sugiarto mengatakan akan menyecek ulang masalah ini. Ia belajar dari kasus sengketa empat pulau sebelumnya, yang kini sudah ditetapkan masuk ke Provinsi Aceh.
“Tentu kami hati-hati, tidak saja soal data geografis, tetapi historis dan kesepakatan-kesepakatan masa lalu penting sedang ditelusuri," ujar Bima di Jakarta, Sabtu (21/6/2025).
Supaya kasus ini tidak berlarut-larut, Mantan Dirjen Otda Kemendagri, Djohermansyah Djohan mengusulkan agar kasus sengketa wilayah Trenggalek dan Tulungagung diselesaikan melalui Istana. Jika provinsi Jawa Timur tidak mampu menyelesaikan. “Di take over ke Istana,” usulnya.
Namun, anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR, Firman Soebagyo meminta agar kasus sengketa wilayah tidak melulu harus diselesaikan oleh presiden. “Tidak semua kasus dilimpahkan ke presiden,” kata dia.
Untuk lebih jelasnya, berikut wawancara Djohermansyah Djohan terkait sengketa 13 pulau antara Trenggalek dengan Tulungagung dan presiden agar turun tangan.
Setelah kasus Aceh dengan Sumatera Utara, ternyata muncul sengketa baru antara Trenggalek dengan Tulungagung mengenai 13 pulau. Bagaimana respons Anda?
Soal sengketa 13 pulau di Trenggalek, kita harus lihat dulu kasusnya seperti apa. Dan kalau masih dalam satu provinsi, biarkan provinsi untuk menyelesaikannya.
Jika penyelesaiannya berlarut-larut, prosesnya panjang dan bertahun-tahun, provinsi bisa melapor ke pusat untuk diambil alih.
Apakah presiden perlu turun tangan lagi?
Kalau memang Trenggalek punya bukti yang kuat secara sejarah dan sebagainya, maka minta Kepmendagri di-take over, diambil alih ke Istana.
Kenapa tidak ke pengadilan saja?
Jangan penyelesaian lewat hukum dulu. Susah kalau lewat PTUN karena berlarut-larut dan lama. Sementara di daerah sudah ribut dan makin panas di dua daerah tersebut. Bahkan, berpotensi terjadinya konflik antar masyarakat di kedua kabupaten kan.
Jadi kalau memang ada bukti-bukti lengkap, saya berpedoman pada kasus Aceh bisa selesai setelah diambil alih oleh Istana. Saran saya, naikin ke Istana, karena yang bisa mengoreksi SK Mendagri atau Kepmendagri ini kan presiden langsung.
Tapi kasus sengketa pulau ini terulang lagi, apakah ada catatan atas kinerja Mendagri?
Sepertinya pendekatan yang digunakan oleh Kemendagri kurang komprehensif, ya. Sehingga penyelesaian sengketa batas wilayah itu kan pelik dan tidak selesai. Makanya, kasus ini harus diselesaikan dengan cara yang komprehensif. Tidak bisa secara sepenggal, sepotong-sepotong gitu.
Apa saran Anda?
Saran saya, Undang Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemda harus dikoreksi. Sebab, jika Undang-undang Pemda ini tidak diperbaiki masalahnya tidak akan selesai.
Kalau pun ada sengketa. Provinsi nggak selesai, lalu di pemerintah pusat pun tak selesai juga, maka dapat dilakukan ke Mahkamah Konstitusi. Itulah pesan saya.
TangselCity | 1 hari yang lalu
Galeri | 1 hari yang lalu
Pos Tangerang | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
Nasional | 1 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
Olahraga | 1 hari yang lalu
Pos Tangerang | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Pos Tangerang | 2 hari yang lalu