Integritas Bangsaku, Renungan Kemerdekaan

DELAPAN puluh tahun kita lalui dengan klaim merdeka. Ekspresi heroik yang menegaskan bebas dari penjajahan. Nyatanya, penjajah itu tak pernah pergi. Ia hanya berganti kulit. Dulu putih, sekarang kuning dan bahkan sawo matang. Inilah realitas bangsaku, kemarin dan hari ini. Mungkin esok lusa, dan seterusnya.
Keterjajahan terasa di mana-mana. Kata Socrates, kebodohan musuh utamanya. Kebodohan memproduk kelemahan. Kelemahan mencipta perasaan rendah diri. Mentalitas inferior ketika berhadapan dengan bangsa sendiri, apalagi bangsa lain. Kebodohan tak hanya bersifat individual, kini masif dan komunal.
Kebodohan kolektif menjadikan bangsa kehilangan daya ungkit. Meski menanjak namun angka-angka kemajuan dinilai tak mewakili realitas. Semacam skor sepak bola gajah yang diatur oleh Badan Pengatur Statistik. Netizen bahkan tak percaya bahwa ada kenaikan meski tak seberapa oleh Biro Pengatur Setingan (BPS).
Kritik itu tentu menggilas rasa. Seakan tak ada lagi yang dipercaya. Dari ijazah hingga angka sejahtera kaum papa. Semua dianggap tak cukup mewakili. Kepercayaan sesama kian sulit diraih. Jarak di antara kita mengalami dissosiasi oleh pengkhianatan. Semua optimisme runtuh oleh resistensi semacam di Pati.
Gejala itu memang tak dapat digeneralisasi. Tapi tekanan keterjajahan supaya merdeka terus menggema. Niatnya agar kemerdekaan sungguh-sungguh dinikmati. Bukan sekedar menutup luka dengan cara panjat pinang, lari karung, tarik tambang, atau makan kerupuk.
Kita ingin merdeka yang terasa merdeka. Merdeka dari feodalisme sesama anak bangsa. Merdeka dari kebodohan. Merdeka dari keterjajahan di sekeliling kita. Merdeka dari penghisapan, eksploitasi dan korupsi. Merdeka dari arogansi, kemiskinan, dan kemelaratan.
Moment kemerdekaan hari ini patut jadi renungan suci. Kita perlu melepas semua pikiran dan perasaan agar tak ada sekat yang mengganjal untuk merdeka. Kemeriahan dan seremonial tak cukup dirayakan dengan khidmat dan rasa syukur, juga disalin dalam hidup sehari-hari agar kita betul-betul meraih makna merdeka.
Untuk sampai kesitu kita butuh tuntunan. Tuntunan efektif bila dipandu para pemimpin bangsa. Menurunkan pajak memberi sinyal memerdekakan hingga titik tertentu. Berhenti korupsi menunjukkan kemerdekaan dari bisikan lingkungan yang terkutuk. Mencerdaskan bangsa menandai kemerdekaan dari kebodohan.
Kuncinya pada integritas kepemimpinan. Pemimpin dengan integritas menjadi lentera bagi masa depan bangsa. Kata filantropi Warren Edward Buffett, carilah tiga hal pada seseorang; kecerdasan, semangat dan integritas. Bila Ia tak punya yang terakhir maka dua hal yang lain pun tak berarti. Kita yakin, bangsa ini bukan kehilangan bumi, air dan kekayaan alam yang dikandungnya, tapi ia kehilangan integritas.(*)
Penulis merupakan Ketua Harian Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia (MIPI) dan Guru Besar pada Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN)
Olahraga | 16 jam yang lalu
Galeri | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Nasional | 1 hari yang lalu
Galeri | 2 hari yang lalu
Nasional | 1 hari yang lalu
Nasional | 1 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Olahraga | 19 jam yang lalu