1 Dolar Rp15 Ribu, Sri Mulyani Masih Tenang
JAKARTA - Dampak perang Rusia-Ukraina terhadap ekonomi makin terasa. Sepekan terakhir, nilai tukar rupiah terus melorot. Dalam perdagangan kemarin, 1 dolar AS dihargai Rp 15 ribu. Meski rupiah terus melemah, Menteri Keuangan, Sri Mulyani nggak panik. Alasannya, fundamental ekonomi Indonesia masih kuat.
Nilai tukar rupiah mulai melemah sejak pekan lalu. Hanya saja, rupiah masih bisa bertahan di level Rp 14.800 per dolar AS. Awal pekan lalu, rupiah mulai goyah dan turun hingga Rp 14.900. Dalam perdagangan kemarin, rupiah resmi jatuh ke level Rp 15.015 per dolar AS. Ini untuk pertama kalinya rupiah tembus ke level 15 ribu sejak Mei 2020.
Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia (BI), Edi Susianto mengatakan, pemicu utama pelemahan rupiah ini datang dari pasar keuangan global, terutama AS. Pelaku pasar khawatir ekonomi AS mengalami perlambatan atau bahkan masuk ke kondisi resesi.
Data ekonomi AS saat ini memang mendukung kekhawatiran tersebut. Sementara ancaman inflasi terus menghantui di banyak negara. Kata dia, pelaku pasar pun ramai memindahkan modal ke tempat aman yaitu dolar AS.
Meski rupiah melemah, Edi mengatakan, posisi rupiah masih lebih baik dibandingkan dengan mata uang Thailand, Malaysia, Filipina, India, dan Korea Selatan. Kata dia, BI akan selalu berada di pasar, memastikan rupiah bergerak stabil. Ada beragam intervensi yang bisa dilakukan sesuai dengan kebutuhan. Meskipun hingga saat ini kebutuhan valuta asing sudah dipenuhi oleh eksportir.
"BI memastikan ada di pasar melalui triple intervention agar mekanisme pasar dapat bekerja dengan baik melalui menjaga keseimbangan supply demand valas di market," kata Edi, dalam keterangan tertulis, kemarin.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani juga tak panik menghadapi pelemahan rupiah yang sudah tembus Rp 15 ribu per dolar AS. Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu sudah memprediksi rupiah akan melemah karena gejolak ekonomi global mulai dari lonjakan inflasi hingga krisis keuangan. Meski begitu, Sri Mul pede menghadapi gejolak ekonomi dunia lantaran fundamental ekonomi cukup baik.
"Situasi dunia sekarang memang masih akan sangat dinamis. Namun, kita kan Indonesia dari sisi neraca pembayaran, transaksi berjalannya cukup baik," kata Sri Mul.
Menurutnya, dalam waktu dekat aliran modal asing keluar (outflow) masih akan terus terjadi. Pelaku pasar akan mencari tempat yang dirasa paling aman dan menguntungkan untuk menyimpan dananya. Kondisi inilah yang akan terus dikelola oleh pemerintah dan BI.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira memprediksi, pelemahan rupiah akan terus berlanjut mengingat ekonomi global masih bergejolak. Kata dia, dengan kondisi global saat ini, rupiah berisiko melemah hingga ke Rp 15.500- Rp 16.000 per dolar AS.
"Tekanan akan terus berlanjut dan tergantung dari respon kebijakan moneter," kata Bhima, saat dikontak, tadi malam.Ia berharap, pemerintah dan BI memberikan perhatian dalam pelemahan rupiah ini. Pasalnya, dampaknya dapat memicu ekses negatif ke perekonomian. Kata dia, rupiah yang melemah dapat memicu kenaikan biaya impor, terutama pangan. Ujungnya bisa melemahkan daya beli masyarakat. Menurut dia, sejauh ini peningkatan biaya impor masih belum dirasakan konsumen.
Senada disampaikan ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Piter Abdullah. Menurut dia, pelemahan rupiah ini akan memberikan dampak pada ekonomi nasional, seperti menurunkan masuknya investasi asing, hingga menekan pertumbuhan ekonomi.
"Pelemahan rupiah juga meningkatkan potensi inflasi di Indonesia. Inflasi Indonesia bisa meningkat lebih besar dan memangkas daya beli masyarakat. Ujungnya menahan konsumsi dan pertumbuhan ekonomi," terangnya.
Kekhawatiran ekonom ini memang beralasan. Bank Dunia memproyeksi, jika harga pangan dan energi terus melonjak, jumlah orang miskin di Indonesia akan bertambah 435 ribu. Proyeksi itu tertuang dalam laporan Bank Dunia bertajuk Indonesia Economic Prospects (IEP) yang dirilis Juni 2022 lalu.
Menurut Bank Dunia, kenaikan harga pangan dan energi secara bersamaan akan mengerek tingkat kemiskinan 0,2 persen dalam skenario ekstrim. Bank Dunia juga memprediksi daya beli masyarakat Indonesia merosot 0,6 persen di tengah lonjakan harga pangan dan energi. (rm id)
Pos Tangerang | 1 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Pendidikan | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
TangselCity | 21 jam yang lalu
TangselCity | 19 jam yang lalu
TangselCity | 22 jam yang lalu