TangselCity

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Dewan Pers SinPo

Otonomi Baru Jakarta

Oleh: Dr. Muhadam Labolo, M.Si
Kamis, 07 Juli 2022 | 21:45 WIB
Dr. Muhadam Labolo, M.Si, analis pada Pusat Kajian Strategis Pemerintahan Jakarta. (Dok. Pribadi)
Dr. Muhadam Labolo, M.Si, analis pada Pusat Kajian Strategis Pemerintahan Jakarta. (Dok. Pribadi)

JAKARTA pasca lepas atribut ibukota negara mau ke mana? Begitu judul sebuah diskusi mini dalam rangka menyiapkan policy paper bagi masa depannya. Jakarta secara konseptual dapat saja didesain seperti kota-kota besar di berbagai negara, persoalannya bagaimana memposisikannya dalam konteks normatif sehingga selaras menurut konstitusi dan undang-undang.

Selama ini, Jakarta adalah Ibukota Negara dengan sumbu otonominya di level provinsi (UU Nomor: 29 Tahun 2007). Semua entitas di bawahnya adalah bagian dari perangkat daerah otonom Provinsi DKI Jakarta. Selain itu, sebagaimana provinsi lain, diletakkan pula sebagai wilayah administrasi pemerintah pusat. Dalam hal ini Gubernur DKI Jakarta juga wakil pemerintah pusat di daerah.

Sebetulnya, duplikasi Jakarta sebagai wilayah administrasi tak diperlukan, kecuali sebagai daerah otonom murni. Alasannya, semua entitas kota dan kabupaten di bawah provinsi seperti Jakarta Pusat, Selatan, Utara, Timur, Barat hingga Kepulauan Seribu bukanlah daerah otonom yang perlu diawasi sebagaimana provinsi di luar Jakarta. Semua entitas itu adalah perangkat daerah otonom provinsi yang langsung dibawahinya.

Sebagai wilayah administrasi, semua provinsi diberi tugas dan wewenang mengawasi kabupaten/kota otonom. Dengan asumsi pusat tak mungkin mengawasi kabupaten/kota yang sedemikian banyak (514), maka cara efektifnya mengangkat gubernur sebagai wakil pemerintah di daerah (Suwandi, 2005). Masalahnya, di bawah Provinsi DKI Jakarta tak ada lagi daerah otonom, kecuali entitas administrasi sebagai perangkat pelaksana pemerintahan dari walikota sampai lurah.

Secara konstitusional, daerah dapat dibedakan sebagai daerah simetrik dan asimetrik (18B ayat 1 dan 2 UUD 1945). Daerah asimetrik pada umumnya diperlakukan berbeda dari sisi tertentu (politik, ekonomi, dan sosial budaya). Dari susunan luarnya daerah dikenali sebagai daerah otonom dan daerah administrasi (Undang-Undang 23 Tahun 2014). Status provinsi sendiri berduplikasi sebagai daerah otonom sekaligus wilayah administrasi. Realitas ini menjadikan provinsi berperan fused model, tak terkecuali Jakarta.

Dengan realitas itu, Jakarta ke depan idealnya cukup sebagai daerah otonom murni. Keuntungannya, Jakarta akan lebih lincah dan kreatif guna mengembangkan diri sebagai wilayah perkotaan yang khas. Otonomi luas itu akan mendorong Jakarta mengembangkan diri sebagai kota bisnis nomor satu di Asia Tenggara. Titik berat otonominya akan memberi ruang yang lega bagi pengembangan sektor ekonomi, sosial budaya, dan politik lokalnya.

Pengembangan ekonomi perkotaan akan lebih mungkin jika Jakarta inklusif bagi ragam bisnis terbaik di dunia. Pulau-pulau reklamasi dan terpencil dapat menjadi penopang pariwisata. Sementara wilayah Tanah Abang dan Mangga Dua dapat menjadi sentral perdagangan international. Transportasi dan infrastruktur tentu saja menjadi tantangan tersendiri dalam mencipta mobilisasi urban ke sentra-sentra ekonomi.

Aspek sosial budaya sebaiknya ditekankan bagi pengembangan kemajemukan warga sebagai titik kekhasan. Miniatur tenun kebangsaan dapat ditemukan di Jakarta yang mewakili seluruh keanekaan. Identitas Jakarta adalah identitas keindonesiaan yang paling representatif dipertontonkan sekaligus contoh soal bagaimana hidup bersama dalam harmoni perbedaan. Ini tantangan besar di tengah politik identitas menjadi momok kemarin,  hari ini, dan nanti.

Walau demikian, unsur-unsur minoritas seperti Orang Asli Betawi (OAB) penting mendapatkan perhatian sebagaimana afirmasi bagi kelompok tertentu di Provinsi Papua. Eklusivitas itu tak lain kecuali dengan maksud menjaga histori selain merawat keunikan dan kearifan lokal. Mereka pun tidak sekedar menjadi tontonan, juga dilibatkan dalam proporsi politik pemerintahan.

Bagian terakhir itu tentu saja perlu diatur sebaik mungkin agar alokasi kelompok minoritas terakomodir dalam ruang parlemen lokal bila tidak di tingkat eksekutif. Bila ruang legislatif lokal di Papua dapat diisi oleh sedikit-banyak representasi Orang Asli Papua (OAP), ada baiknya hal yang sama diberlakukan pula bagi Orang Asli Betawi (OAB) di parlemen lokal Jakarta. Inilah kira-kira isi otonomi baru Jakarta ke depan.(*)

*) Penulis merupakan analis pada Pusat Kajian Strategis Pemerintahan Jakarta

Komentar:
GROUP RAKYAT MERDEKA
sinpo
sinpo
sinpo