Awas! Rokok Bisa Sebabkan Stunting Pada Anak
SERPONG - Dirjen Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Endang Sumiwi mengungkapkan, merokok dapat memperburuk kesehatan seseorang, terutama pada anak dapat berpotensi menyebabkan stunting.
Hal itu ia ungkapkan berdasarkan penelitian dari Pusat Kajian Jaminan Sosial UI pada 2018. Penelitian itu mengungkapkan, balita yang tinggal dengan orang tua perokok beratnya terpaut 1,5 kg dari anak-anak yang tinggal dengan orangtua bukan perokok.
Dalam penelitian tersebut juga disebutkan, sebanyak 5,5 persen balita yang tinggal dengan orangtua perokok punya risiko lebih tinggi menjadi stunting.
“Kita tahu bahwa angka stunting kita masih tergolong tinggi menurut kategori WHO yaitu di atas 20 persen, sementara Indonesia masih 21 persen. Kalau balita berpotensi terpapar rokok di rumahnya maka ini menjadi salah satu hambatan kita dalam menurunkan stunting,” ujar Dirjen Endang pada Konferensi Pers Hari Tanpa Tembakau Sedunia di kantor Kemenkes, Jakarta, Senin (29/5).
dr. Endang berharap, keluarga-keluarga Indonesia mengalihkan belanjanya dan melakukan prioritas ulang pengeluarannya bukan untuk rokok.
Berdasarkan data dari Global Adult Tobacco Survey, orang dewasa dalam keluarga menghabiskan Rp 382 ribu per bulan untuk membeli rokok.
Padahal, uang sejumlah itu bisa dialihkan untuk beli protein hewani yang sangat dibutuhkan anak-anak supaya tidak mengalami stunting.
“Kalau mau berkontribusi untuk stunting, para orangtua tidak usah merokok dan lebih baik gunakan uangnya untuk membeli protein hewani seperti telur,” saran dr. Endang.
Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit dr. Maxi Rein Rondonuwu mengungkapkan konsumsi rokok dan hasil tembakau mempunyai dampak terhadap sosial ekonomi dan Kesehatan.
Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2021 menjelaskan pengeluaran keluarga untuk konsumsi rokok tiga kali lebih banyak daripada pengeluaran untuk kebutuhan protein di keluarga.
“Berdasarkan data tersebut belanja rokok merupakan belanja terbesar kedua di keluarga dan tiga kali lebih tinggi daripada beli telur,” ucap Dirjen Maxi.
Rokok, tambah dr. Maxi, jadi persentase pengeluaran keluarga terbesar kedua sebanyak 11,9 persen, baik di perkotaan maupun di pedesaan, dibandingkan untuk mereka yang mengkonsumsi makanan bergizi seperti telur, daging, dan ayam.
Terkait rokok, perwakilan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Dr. Feni Fitriani Taufik menjelaskan, pernah dilakukan penelitian pada bayi di RS Persahabatan.
Ada tiga kelompok bayi yang dilahirkan yakni dari ibu yang tidak merokok, ibu yang jadi perokok pasif, dan ibu perokok aktif. Hasilnya, ditemukan nikotin pada plasenta bayi, baik dari ibu perokok aktif maupun pasif.
Kemudian, ketika lahir, panjang badan dan berat badan bayi yang ibunya merokok jauh lebih kecil dan lebih pendek dibandingkan dengan bayi yang lahir dari ibu yang tidak merokok.
“Jadi, rokok berpengaruh bukan saja setelah lahir, tapi di dalam kehamilan pun itu sudah sangat berpengaruh kepada bayi,” ungkap dr. Feni.
Ia menjelaskan, ada istilah secondhand smoke dan thirdhand smoke. Secondhand smoke adalah asap rokok yang dilepaskan oleh perokok kemudian dihirup oleh orang-orang di sekitarnya.
Sementara thirdhand smoke adalah sisa bahan kimia dari asap rokok atau residu. Umumnya tidak terlihat, tapi berbahaya. Residu ini menempel pada barang-barang di dalam rumah, seperti gorden, karpet, dan sofa.
"Itu mengandung kimia berbahaya jika terhirup oleh orang-orang yang ada di rumah seperti anak-anak, balita," tutur dr. Feni.
"Kalau berbicara stunting, secondhand smoke dan thirdhand smoke menyebabkan beban ekonomi keluarga akan berlipat. Sebab perkembangan anak terganggu," tambahnya.
TangselCity | 2 hari yang lalu
Olahraga | 2 hari yang lalu
Lifestyle | 21 jam yang lalu
Olahraga | 1 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
Olahraga | 2 hari yang lalu
Olahraga | 2 hari yang lalu
TangselCity | 16 jam yang lalu
Pos Tangerang | 16 jam yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu