Ini Kata Prof. Tjandra Soal Antrax, Penanganan Dan Vaksinasi
JAKARTA - Mantan Direktur Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Asia Tenggara, Prof. Tjandra Yoga Aditama menyoroti kejadian penyakit antraks di Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, yang telah memakan korban jiwa.
Terkait hal ini, pemerintah melalui Kementerian Kesehatan dan Kementerian Pertanian telah menggelar jumpa pers virtual, Kamis (5/7).
"Penanggulangan tentu sudah dilakukan di lapangan, termasuk pengobatan dan mungkin juga vaksinasinya. Sehingga, masalah benar-benar dapat diatasi dengan baik," kata Prof. Tjandra dalam keterangannya, Jumat (7/7).
Mengenai pengobatan antraks, WHO menyarankan, pasien dengan antraks perlu dirawat di rumah sakit, dan diberikan antibiotika.
Mereka yang berpotensi terpapar spora antraks dan belum memunculkan gejala, dapat diberikan pengobatan pencegahan (prophylactic treatment).
Dalam hal ini, pencegahan penyakit antraks pada hewan, akan melindungi kesehatan manusia.
"Pemutusan rantai penularan merupakan kunci utama pengendalian antraks. Karena itu, jika diketahui bahwa potensi penularan masih terjadi, maka harus segera dieliminasi," ujar Prof. Tjandra.
Antibiotika
Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Menular Amerika Serikat (CDC) memaparkan, dalam pengobatan antraks, antibiotika bekerja dengan membunuh bakterinya dan membuat antraks tidak berkembang.
Ada dua jenis antibiotika yang dapat digunakan untuk menangani antraks, yakni siprofliokasin dan doksisiklin.
"Dua antibiotika ini juga digunakan, setelah seseorang terpapar bakteri/spora antraks, atau post-exposure prophylaxis (PEP)," jelas Prof. Tjandra yang juga Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI/Guru Besar FKUI.
"Antibiotika dapat diberikan sampai 7 hari, bahkan 60 hari," imbuhnya.
Vaksinasi Antraks
Saat ini, tersedia vaksin antraks dalam bentuk Anthrax Vaccine Adsorbed (AVA).
Vaksin ini memang bukan untuk masyarakat luas, dikhususkan untuk mereka yang berisiko tinggi. Kelompok belum terpapar yang berisiko tinggi, mendapat 5 suntikan vaksin antraks ke dalam otot (intramuscular) dalam kurun waktu 18 bulan. Selain itu, juga mendapat booster vaksin.
Mereka yang diduga sudah terpapar, atau masuk kategori post-event emergency use, mendapat vaksin tiga kali dalam waktu 4 minggu. Ditambah pemberian antibiotika selama 60 hari.
Sebagai kesimpulan akhir, Prof. Tjandra mengingatkan, berhubung antraks adalah zoonosis dan sporanya ada di tanah, maka penanganan terhadap kasus ini harus melalui pendekatan One Health.
"Ini merupakan kerja bersama kesehatan manusia, kesehatan hewan dan kesehatan lingkungan," pungkas eks Dirjen Pengendalian Penyakit serta mantan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes)
Nasional | 22 jam yang lalu
Pos Tangerang | 1 hari yang lalu
Olahraga | 2 hari yang lalu
Olahraga | 22 jam yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
Galeri | 1 hari yang lalu
Nasional | 21 jam yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu