Cara Politisi Sikapi Survei
SERPONG - Para politisi punya cara "pintar" dalam menyikapi hasil survei elektabilitas, yang sudah sangat marak menjelang Pemilu 2024. Jika hasilnya menunjukkan partai atau kandidat Capres yang bakal diusungnya bagus, mereka menyanjung survei itu. Jika sebaliknya, elektabilitas partai dan kandidat Capresnya jelek, mereka mempertanyakan kredibilitas hasil survei itu.
Mendekati Pemilu, survei elektabilitas semakin marak. Baik yang dilakukan lembaga survei lama, yang sudah punya nama dan berpengalaman, maupun lembaga-lembaga baru. Ada yang melakukan survei berskala nasional, ada juga yang per daerah tertentu.
Hasilnya relatif tidak berbeda jauh. Untuk kandidat Capres, tiga besar selalu ditempati Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, dan Anies Baswedan. Hanya posisinya saja sering bergantian. Sedangkan untuk parpol, PDIP masih ada di puncak. Posisi di bawahnya diisi Partai Gerindra, Partai Golkar, dan Partai Demokrat secara bergantian.
Selanjutnya ada PKB, PKS, Partai NasDem, PAN, dan PPP. Lalu, Partai Perindo yang terkadang nyodok ke papan tengah. Di bawahnya lagi ada PSI, Partai Hanura, Partai Gelora, PBB, dan partai-partai baru.
Partai-partai yang menduduki posisi atas menyikapi positif hasil survei ini. Dengan gaya jaim, mereka menyatakan, hasil survei ini adalah hasil penelitian ilmiah dan menjadi acuan partainya dalam usaha untuk bersama-sama rakyat. Intinya, mereka setuju dengan survei "yang menguntungkan" itu.
Namun, bagi partai-partai papan bawah, mereka berusaha menegasikan hasil survei itu. Alasannya macam-macam. Ada yang bilang hasil survei itu tidak sesuai realitas di lapangan, ada yang mempertanyakan metode pengambilan sampel, bahkan ada juga yang menuding survei itu bayaran. Tapi, saat ada survei lain yang menunjukkan partainya dalam posisi bagus, mereka langsung memuji.
Standar ganda yang diterapkan para parpol terhadap hasil survei ini sudah sangat umum. Sudah ada sejak pertama kali munculnya lembaga survei di era pemilu langsung. Standar ini mereka gunakan dengan tujuan menggeliminir potensi-potensi duri yang bisa menghalangi langkahnya di Pemilu. Juga untuk menjaga semangat kader di bawah, agar semangatnya tidak drop. Namun, kadang-kadang, sikap "bertahan" mereka menjadi tidak rasional.
Untuk lembaga survei, memang masih banyak celah untuk dikritisi. Yang pertama, lembaga survei yang ada saat ini banyak yang merangkap menjadi konsultan politik. Hasilnya pun ditujukan sebagai bagian kampanye. Sehingga wajar jika ada partai atau kandidat keberatan dengan hasil survei itu.
Kedua, persentase elektabilitas yang ditampilkan lembaga survei masih bercampur dengan swing voters atau pihak yang menyatakan tidak memilih/belum menentukan pilihan. Dengan pencampuran ini, elektabilitas parpol papan bawah menjadi terlihat sangat kecil.
Padahal, yang dihitung saat Pemilu, adalah suara sah, tanpa memasukkan angka golput maupun surat suara sah. Tidak heran, jika kemudian ada parpol yang diramal tidak memenuhi Parliamentary Threshold dalam survei, tetap bisa lolos ke Senayan. Karena cara menghitung persentasenya memang beda.
Pos Tangerang | 1 hari yang lalu
Pos Tangerang | 5 jam yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Pos Tangerang | 1 hari yang lalu
TangselCity | 11 jam yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Nasional | 14 jam yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Pos Tangerang | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu