Benih Baru Kesusastraan Indonesia
SALAH satu karya sastra yang banyak menjadi rujukan para akademisi dan sejarawan dunia, dalam meneliti budaya dan peradaban di Asia Tenggara, tak lain adalah karya-karya Pramoedya Ananta Toer. Kata-katanya sangat bertenaga, berbobot, sanggup memotivasi dan menggerakkan kesadaran banyak orang. Pramoedya sadar betul akan panggilannya untuk menulis sastra dengan refleksi yang kuat, hingga kemudian kata-kata itu menjelma menjadi api yang membakar kesadaran.
Bagi penulis kelahiran Banten, Hafis Azhari, karya-karya Pram bukanlah sejenis “opera sabun” maupun karya-karya penulis musiman yang sibuk pada kepentingan big business yang menentukan selera pasar, yakni tentang apa dan siapa yang hendak ditampilkan atau ditawarkan kepada pihak konsumen.
Dalam hiruk-pikuk perpolitikan Indonesia menjelang 2024 ini, karya-karya Pram dapat mengobati kegersangan jiwa yang diakibatkan degradasi moral kaum politisi yang mengultuskan dirinya selaku pelindung dan pengayom rakyat. Namun dalam praksisnya, selalu kita dihadapkan pada fenomena musang yang tetap berperangai sebagai “musang”, meskipun ia telah mengganti kulit-kulitnya.
Dalam seni prosa, tak bisa dipungkiri bahwa Pramoedya adalah model atau lawan tanding bagi para penulis generasi milenial saat ini. Seberapa hebat para penguasa menutupi dan memberangus karya-keryanya (sejak masa Orde Baru) para mahasiswa, sastrawan muda, hingga kalangan akademisi tetep mencari karya-karya Pram sebagai rujukan bagi pembuatan makalah, tesis, skripsi hingga disertasi untuk pencapaian gelar doktoral hingga profesor.
Pramoedya, betata pun Anda menolak kebesaran dan memungkirinya, dia adalah fenomena satu-satunya dalam peradaban Indonesia yang karya-karyanya paling banyak diakui masyarakat dunia. Dia bahkan satu-satunya orang Indonesia yang namanya beberapa kali masuk dalam jajaran nominator nobel di bidang kesusastraan.
Seberapa kuat rezim Orde Baru memberangus buku-bukunya, bahkan dibantu oleh kalangan sastrawan yang menjadi anak-anak emasnya, karya-karya Pram tetap menjadi tema-tema sentral dalam kajian sastra Indonesia, baik secara periodik, politis, termasuk yang dilakukan oleh para kurator dan kritikus hingga saat ini. Tulisan-tulisannya tetap menjadi “kanon sastra” yang paling berkualitas, baik dari segi isi, tema, maupun pendekatan regional hingga problem universalitas.
Memang, tidak ada salahnya para penulis buku kurikulum sejak SD hingga SMU, khususnya di masa Orde Baru menampilkan nama-nama besar seperti Marah Roesli (Siti Nurbaya), Sutan Takdir Alisjahbana (Layar Terkembang), Chairil Anwar (Aku) hingga W.S. Rendra (Orang-orang Rangkasbitung). Tapi tidak sepantasnya mereka masih malu-malu kucing untuk menampilkan sosok-sosok penulis baru yang semakin bermunculan ke ranah publik. Terlebih mereka yang tak lepas dari acuan nilai-nilai kesusastraan yang alami dan universal, dan dengan sendirinya karya-karya Pram-lah yang menjadi patokannya.
Ya, bahkan karya-karya generasi baru itu semakin mendapat apresiasi dari para akademisi dan intelektual muda, misalnya Seno Gumira Adjidarma, Felix Nessi, Ayu Utami, Leila S. Chudori, Hafis Azhari, Putu Fajar Arcana, Panji Sukma dan lain-lain. Jangan sampai terulang kembali adanya kekuatan politik otoritarian yang sengaja menenggelamkan karya-karya mereka – sebagaimana karya Pram – yang sejatinya telah diamini dan diapresiasi banyak pihak sebagai genre sastra mutakhir Indonesia.
Apakah absennya Pram dalam khazanah literatur pendidikan nasional, masih memiliki kaitan dengan politik musang berbulu domba (pasca Orde Baru) tadi? Ataukah semacam penghapusan paksa, kadang dengan cara membakar, atau secara halus dengan mengerahkan pengusaha politikus, atau politisi pengusaha yang memborong ratusan ribu eksemplar di toko-toko buku, seperti yang pernah dialami Pramoedya, Seno Gumira dan Hafis Azhari?
Apakah cukup pengetahuan anak-anak generasi milenial, hingga kalangan mahasiswanya, terus-menerus nongkrongin karya lama yang itu-itu juga. Tidak jauh dari karya klasik Sutan Takdir Alisjahbana, Buya Hamka, Taufik Ismail, atau bahkan Goenawan Mohamad, Putu Wijaya dan Sutardji yang mengaku telah mengalami metamorfosis dan pencerahan justru di usianya yang ke 82 tahun itu? (baca: kompas.id, ”Menilai Karya Sastra secara Obyektif”)
Pemaknaan yang kaya dari para penikmat karya sastra, akan terus bersinambung memunculkan karya-karya baru yang lebih memekarkan nilai-nilai keadaban dan moralitas. Karya sastra yang baik akan senantiasa melahirkan kedalaman makna, serta estetika bahasa yang sulit tertandingi oleh karya-karya jenis lainnya. Hingga detik ini, ratusan dan ribuan karya sastra milenial telah berhasil memikat hati banyak orang.
Tidak menutup kemungkinan dalam beberapa tahun atau dekade ke depan, akan menjadi karya-karya adihulung sebagaimana banyak orang meremehkan karya-karya besar Pramoedya di tahun awal penciptaannya. Bagaimanapun, setiap penulis dan sastrawan memiliki warna dan coraknya tersendiri dalam memikat hati para pembacanya.
Menurut Albert Einstein, karya sastra adalah pekerjaan imajinasi yang sulit djangkau oleh kerja-kerja ilmiah para ilmuwan sekalipun. Ia semacam tiruan dari dunia nyata, yang akhirnya menjelma dan memberikan makna bahwa sastra adalah sebentuk ilmu baru yang tak terbatas. Para penciptanya seakan menyadari keterpanggilannya selaku “khalifah” di muka bumi, yang senantiasa terpicu untuk saling berlomba dalam menegakkan nilai-nilai kebaikan dan keindahan.
Pos Tangerang | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 16 jam yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu