Abdul Qadir Al-Jailani
“Anugerah terbesar yang diberikan Tuhan kepada hamba-Nya, ketika Dia sudah membekali kesabaran dan ketenangan dalam menghadapi segala sesuatu.” (Syekh Abdul Qadir Al-Jailani)
Salah satu kata mutiara yang diucapkan Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, adalah perkara dunia yang bersifat fana dan sementara, bahwa ia boleh saja berada di tangan kita, tapi tidak selayaknya kita taruh di dalam hati. Kita harus meletakkannya di luar pintu hati, bukan memasukkannya ke dalam pintu. Sebab, hal itu dapat mengundang kehinaan bagi si pemilik dunia.
Syekh Abdul Qadir mewanti-wanti banyaknya orang yang meminta pada Allah, namun ia berperilaku dengan membelakangi perintah-Nya. Ia memohon pertolongan Allah, namun ketika kehendaknya terkabulkan, ia tetap tak mau memperbaiki hatinya. Sesungguhnya, kemiskinan (menurut Syekh Abdul Qadir) identik dengan tidak adanya sesuatu yang dibutuhkan, sedangkan kekayaan yang sesungguhnya, ketika kita tak lagi memiliki keinginan yang bersifat duniawi. “Untuk itu, yang penting diperbaiki adalah hati manusia. Dengan hati yang bersih dan terbebas dari nafsu duniawi, maka perilaku manusia akan menjadi baik,” tegasnya.
Lemahnya iman seseorang, ketika ia banyak bergantung pada makhluk, bahkan terlampau berharap kepadanya. Hendaknya kita menasihati diri terlebih dahulu, sebelum gemar menasihati orang lain. Jika kita menyaksikan orang yang rajin berpuasa, pantaslah ia disebut “zuhud”. Namun, manusia dapat menjadi bijaksana, jika ia berpuasa tanpa diketahui orang lain. Sebab, sebaik-baiknya iman ketika seseorang mampu menyembunyikan apa yang diamalkannya. Jika ia terlanjur mengucapkan sesuatu yang tidak bijak, segeralah ia berusaha memperbaikinya.
Itulah di antara poin penting yang menjadi pemikiran Syekh Abdul Qadir Al-Jailani. Ia dilahirkan di Naif, Jilan, Irak pada tanggal 1 Ramadhan tahun 470 Hijriyah (1077 Masehi). Nasab dari ayahnya (Abu Shaleh Janki Dausat), menjurus kepada Saydina Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Sedangkan, nasab dari ibunya (Ummul Khair Ummatul Jabbar), menjurus kepada Saydina Husein bin Ali bin Abi Thalib.
Di usia 18 tahun ia meninggalkan kampung halamannya (Jilan) menuju kota Baghdad. Ia belajar kepada beberapa orang ulama Baghdad, seperti Ibnu Aqil, Abul Khatthat, Abul Husein al Farra’ dan juga Abu Sa’ad al Muharrimiseim. Setelah ia mendalami ilmu-ilmu ushul fiqh, salah seorang gurunya memberikan mandat untuk mengurus pengelolaan madrasah di daerah Babul Ajaz. Sambil bermukim di madrasah itu, Syekh Abdul Qadir memberikan nasihat dan wejangan kepada orang-orang sekitar. Banyak orang semakin tertarik mendengar pemikiran dan nasihat-nasihatnya. Hingga kemudian berkembanglah majlis ta’lim, yang menampung ratusan hingga ribuan jamaah pengajian.
Di antara wejangan dan nasihat spiritualnya adalah soal perjuangan fisik (dzahir) dan perjuangan batin, atau jihad melawan hawa nafsu. Dalam jihad batin, manusia harus sanggup memutuskan kecenderungan nafsu-nafsu yang terlarang. Bagi siapa yang bisa meraih perjuangan lahir-batin, berarti ia mendapatkan kemenangan dunia dan akhirat.
Bagi mereka yang sedang melatih diri di dunia tasawuf (sufi), Syekh Abdul Qadir memberi amanat bahwa tak ada beban yang berat, kecuali Allah akan memberikan sesuatu yang lebih baik dibanding beban yang mereka pikul.
Baginya, para sufi bukanlah tipikal mereka yang mendengar ayat-ayat Alquran, akan tetapi hatinya jauh dari keimanan. Bagi Syekh Abdul Qadir, bacaan Alquran bukanlah untuk ajang kemunafikan dan mencari pujian orang. “Betapa banyak kaum munafik yang membaca Alquran namun jauh dari keikhlasan mengamalkannya. Hal tersebut karena mereka lebih taat pada makhluk-makhluk Allah ketimbang lurus mengabdi hanya kepada-Nya,” tegasnya lagi.
Seorang sufi yang baik akan senantiasa ikhlas dan ridho pada keputusan (takdir) Allah. Mensyukuri takdir Allah, baik dalam kebaikan maupun keburukan adalah sifat yang selaras dengan kehendak dan tindakan-Nya. Manusia kadang dalam nuansa dekat juga kadang merasa jauh. Kadang ia dalam kesibukan yang penat kadang juga dalam perasaan lapang. Seluruhnya tak lepas dari kebersamaannya dengan Allah Swt. Dan dalam ketaatan dengan Allah, niscaya para makhluk akan taat kepadanya.
Bagi Syekh Abdul Qadir, kesempurnaan iman akan terhalang jika seseorang tidak mencintai saudaranya sebagaimana mencintai dirinya sendiri. Sifat dengki (hasad) termasuk hasutan setan yang membinasakan. Ketika kita mencintai diri kita, niscaya kita akan memakai pakaian terbaik, makanan terlezat, tempat tinggal paling elok, harta yang melimpah. Lalu, kenapa kita tak mau menghendaki hal yang sama diperoleh oleh saudara-kerabat maupun para sahabat kita sendiri? Orang yang berperilaku seperti itu, tergolong pendusta lantaran mengaku-ngaku telah sempurna iman dan islamnya, namun kedengkian masih bersemayam di dalam dada.
“Hai orang yang berpikir,” demikian nasihat Syekh Abdul Qadir, “jika Anda hidup berkelimpahan materi, sementara para tetanggamu kekurangan (miskin), mereka wajib menerima zakat dari Anda. Berhati-hatilah terhadap si miskin yang sabar dengan kemiskinannya. Mereka mampu menahan diri dengan tidak meminta-minta. Waspadalah dengan hawa nafsumu untuk menumpuk-numpuk harta, yang kelak akan mencelakakan dirimu sendiri. Tanpa kamu sadari, setan-setan sedang berada di belakangmu, mengompori kamu hingga merasa enggan berbuat baik. Jika Anda terus sibuk pada keinginan duniamu, bahkan menghamba pada atasanmu, tanpa disadari Anda telah melakukan kemusyrikan terhadap harta dan –makhluk Tuhan.”
Lebih lanjut, Syekh Abdul Qadir menandaskan, bahwa jika kita terikat pada ambisi duniawi, hingga lupa akan mati, maka kita tak punya kemampuan untuk membedakan mana yang halal dan yang haram. Dengan demikian, apakah bedanya kita dengan mereka yang sama sekali tak mengenal Tuhan. Seakan-akan kita adalah bagian dari mereka, hanya saja menggunakan sarung dan jubah Islam. Memang banyak orang telah mengalirkan darah dengan dua kalimat syahadat, melaksanakan salat, puasa, haji, namun hanya sebagai tradisi dan formalitas belaka. Bukan bermakna ibadah yang sesungguhnya. Mereka nampaknya “bertakwa” di mata khalayak, namun sebenarnya hanya pengecut dan munafik di hadapan Tuhan.
Di sisi lain, betapa banyak orang berpuasa di bulan Ramadhan, namun malam harinya makan makanan haram. Mereka melakukan korupsi dan suap sana-sini, lalu uangnya dimanfaatkan untuk berbuka puasa di malam hari. Dengan demikian, boleh jadi mereka puasa di siang hari, namun bermaksiat di malam hari. Mereka melarang orang untuk makan di siang hari, namun berbuka dengan darah saudara dan bangsanya, dari hasil korupsi. Bagi Syekh Abdul Qadir, tidak dibenarkan lelaku puasa bagi mereka yang menentang sikap dermawan. Mereka hanya pura-pura mengagungkan Ramadhan dengan ketakwaan, namun menolak berbuka dengan kaum miskin.
Betapa banyak orang yang menikmati kuliner, kenyang sendirian, sementara tetangganya serba kekurangan. Bahkan, mereka sibuk mencari muka dan prestise di luar sana, tetapi tak peduli tetangganya kelaparan. Dengan begitu, maka iman dan Islam mereka dianggap tidak sah. Karena tak pantas seseorang mengaku beriman dan beragama, sementara si miskin di depan pintu diabaikan, bahkan ditolak secara tidak beradab.
Ketahuilah, berapa banyak orang yang menabung dan sibuk mengumpulkan harta bertahun-tahun, namun hanya dalam hitungan hari bahkan jam, tiba-tiba mereka jatuh bangkrut, dan terperosok ke dalam jurang kehinaan. Untuk itu, bagi orang-orang beriman, janganlah takut miskin, karena Allah akan senantiasa menjamin dan memberi kecukupan. Yang layak ditakuti justru ketika prestasi yang kita raih, kekayaan dan kekuasaan yang kita genggam justru tidak memberi ketentaraman bagi jiwa dan batin kita, lantaran Allah tidak meridhoinya.
Terkait dengan kualitas kesufian Syekh Abdul Qadir ini, pemikir dan ulama besar Imam Al-Ghazali pernah memberikan statemennya: “Bagi saya, orang-orang sufilah yang benar-benar berjalan di jalan Allah. Prilaku mereka adalah sebaik-baik prilaku. Jalan hidup mereka adalah sebaik-baik jalan hidup. Akhlak mereka adalah sebersih-bersihnya akhlak. Kalaupun digabungkan antara akal para filosof dengan ilmu para ulama yang memahami rahasia-rahasia syariat, untuk mengubah prilaku dan akhlak para sufi agar hidup lebih baik, mereka takkan sanggup melakukannya.”(*)
Olahraga | 1 hari yang lalu
Olahraga | 1 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
Pos Banten | 8 jam yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu