Pemerasan Kepsek Rp 4,7 Miliar, Kompol RS Pasrah Dipecat

MEDAN - Komisaris Polisi (Kompol) RS, pelaku pemerasan terhadap kepala sekolah (kepsek) di Sumatera Utara, pasrah dijatuhi sanksi pemecatan.
Mantan Pejabat Sementara Kepala Subdirektorat Tindak Pidana Korupsi (Kasubdit Tipikor) Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Sumatera Utara itu tidak bisa mengajukan banding atas pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) dari kepolisian.
“Karena waktu pensiunnya dia kan beberapa hari setelah (diamankan). Jadi, tidak diproses bandingnya. Beliau tetap di-PTDH,” kata Kepala Bidang Propam Polda Sumut Komisaris Besar Bambang Tertianto.
Kompol RS disidang etik karena melakukan pemerasan terhadap 12 kepsek mencapai Rp 4,75 miliar. Praktik lancung ini dilakukan bersama Brigadir BS, penyidik Subdit Tipikor Ditreskrimsus Polda Sumut.
Selain disidang etik, Kompol RS dan Brigadir BSP ditetapkan sebagai tersangka.
Kepala Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Kortas Tipidkor) Polri Inspektur Jenderal (Irjen) Cahyono Wibowo membeberkan modus korupsi kedua tersangka.
Mereka meminta proyek Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik tahun 2024 kepada para kepala Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN) selaku penerima anggaran.
Caranya dengan membuat pengaduan masyarakat (dumas) fiktif mengenai dugaan penyelewengan Bantuan Operasional Satuan Pendidikan (BOSP),
Saudara BSP membuat dumas fiktif terkait dugaan tindak pidana korupsi dana BOSP, yang seolah-olah dari masyarakat atau LSM,” beber Cahyono, Jumat, 21 Maret 2025.
Para kepsek diundang untuk datang melalui NVL, orang suruhan Brigadir BSP. Setelah datang, ternyata para kepsek tidak diperiksa soal BOSP. Mereka malah diminta mengalihkan pekerjaan DAK Fisik kepada Kompol RS.
Bagi yang menolak, harus menyerahkan fee atau imbalan sebesar 20 persen dari nilai anggaran yang diterima. Pemerasan ini berlangsung kurun Mei hingga November 2024.
“Adapun fee yang sudah diserahkan oleh 12 Kepsek kepada saudara BSP dan tim, kurang lebih sebesar Rp 4,75 miliar dari 12 orang kepsek SMKN yang bersumber dari anggaran DAK Fisik 2024,” ujar Cahyono.
Dari memeras kepsek ini Brigadir BSP mendapat bagian Rp 437 juta. Sedangkan Kompol RS Rp 4,3 miliar.
Menurut Cahyono, tim gabungandari Kortas Tipidkor Polri, Divisi Propam Polri, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pernah berupaya menangkap kedua pelaku lewat Operasi Tangkap Tangan (OTT) pada November 2024. Sayangnya, operasi senyap ini gagal karena ada kebocoran informasi.
Walaupun gagal menangkap kedua oknum, Kortas Tipidkor melanjutkan penyidikan kasus ini. Pada Februari 2025, Kompol RS dan Brigadir BSP ditetapkan sebagai tersangka.
Penyidik sempat menyita uang sebanyak Rp 400 juta di dalamkoper di mobil RS. Mobil itu disembunyikan di sebuah bengkel. Atas perbuatannya, Kompol RS dijerat Pasal 12 huruf e Undang-Undang Pemberantasan Tipikor.
Tak terima ditetapkan tersangka, Kompol RS menempuh upaya praperadilan. Permohonan praperadilan telah didaftarkan di Pengadilan Negeri (PN) Medan pada Kamis, 13 Maret 2025. Diregistrasi sebagai perkara nomor 17/Pid.Pra/2025/PN Mdn.
Dikutip dari laman Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PN Medan, Kompol RS mempersoalkan penyidikan dan penangkapann dirinya. Yang digugat Pemerintah RIcq Kapolri cq Bareskrim Polri cq Direktorat Tipikor cq Direktur Tipikor; dan Kapolda Sumut cq Direskrimsus Polda Sumut.
Kompol RS meminta hakim mengabulkan permohonan praperadilan untuk seluruhnya, menyatakan penyidikan tidak sesuai dengan ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, menyatakan tindakan penggeledahan terhadap mobil Mitsubishi Triton milik pemohon adalah cacat hukum.
Berikutnya, menyatakan suratperintah penyidikan nomor Sprin.Sidik/20.a/II/2025/Tipidkor tanggal 28 Februari 2025 serta Surat Perintah Penyidikan Nomor: Sprin.Sidik/10.a/II/2025/Tipidkor, tanggal 4 Februari 2025 dan Surat Ketetapan Nomor S.Tap/4/II/2025/Tipidkor tentang penetapan tersangka, bertentangan dengan hukum, dan oleh karenanya tidak sah dan tidak berkekuatan hukum.
Kompol RS juga meminta hakim menghukum Termohon Iuntuk menghentikan penyidikan perkara dengan Laporan Nomor: LP/A/II/2025/SPKT.DITTIPIDKOR/BARESKRIMPOLRI tanggal 3 Februari 2025 atas nama pemohon.
“Atau jika majelis hakim berpendapat lain, mohon putusan seadil-adilnya (ex aequo et bono),” demikian petitum praperadilan.
Sedianya, sidang pembacaan permohonan praperadikan dilakukan pada Rabu, 19 Maret 2025. Namun, Termohon Idan Termohon II tidak hadir. Sidang akan kembali digelar pada Senin, 24 Maret 2025
Irwansyah Nasution, pengacara Kompol RS mempermasalahkan proses PTDH. “Sebelum pembacaan putusan, dia (Kompol RS) membantah semua tuduhan yang dituduhkan kepadanya, dan menyatakan banding,” ujarnya saat dihubungi Sabtu, (22/3/2025).
Irwansyah juga mempersoalkan penyitaan uang Rp 431 juta dari mobil Kompol R. Menurutnya, penyitaan itu tidak bersamaan dengan penangkapan kliennya. Seharusnya, kliennya turut dibawa dalam penyitaan uang tersebut.
Ia juga menyoroti terbitnya dua surat perintah penyidikan (Sprindik), yakni tertanggal 4 Februari 2025 dan tanggal 28 Februari 2025. Tapi dalam penetapan tersangka hanya memakai satu Sprindik.
“Artinya, karena dianggap ada pelanggaran hukum formil di situ yang tidak mengacu kepada KUHAP, maka kami mengajukan praperadikan,” kata Irwansyah.
Pos Banten | 2 hari yang lalu
Pos Banten | 2 hari yang lalu
Pos Banten | 2 hari yang lalu
Olahraga | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Nasional | 10 jam yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
Pos Tangerang | 2 hari yang lalu
Nasional | 1 hari yang lalu