TangselCity

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Haji 2025

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Dewan Pers

Integritas, Harta Karun yang Hilang

Oleh: Prof. Dr. Muhadam Labolo
Editor: Ari Supriadi
Senin, 25 Agustus 2025 | 10:00 WIB
Prof. Dr. Muhadam Labolo, Guru Besar IPDN.(Dok. Pribadi)
Prof. Dr. Muhadam Labolo, Guru Besar IPDN.(Dok. Pribadi)

KITA semakin yakin, bahwa kehilangan terbesar bangsa ini bukan kekayaan yang bersemayam di kandung raganya, tapi integritas. Satu kekayaan nilai yang terkubur di benak dan lidah para elit, namun gagal mengalir deras ke laku tindak. Hanya lipstik di saat podcast.

 

Membosankan menatap wajah para elit yang disekap komisi anti rasuah saban hari. Entah eks menteri, wakil menteri hingga tokoh-tokoh terkemuka. Mereka seharusnya menjadi simbol dan pancaran ketauladanan sebagaimana founding mothers and fathers di masa lalu.

 

Hatta, mantan wapres, hingga akhir hayat tak sempat berjalan di atas sepatu Bally yang pernah ia lihat di sebuah toko. Hoegeng mantan Kapolri, sampai tutup usia hampir tak sanggup menyicil rumah buat hari tuanya. Sutami, mantan Menteri Pekerjaan Umum selama 14 tahun hingga terbaring sakit, tak sanggup membayar listrik.

 

Mereka bukan pejabat biasa. Pikiran dipenuhi idealisme, hati dipadati tanggung jawab spiritual, perilaku dipandu oleh kehati-hatian moral. Tiap kali pikiran dan hati bertengkar, akhirnya kejernihan nurani memandu putusan. Salah satu mengalah, atau keduanya berpihak pada kebenaran.

 

Pikiran mengarahkan manusia pada sifat hedon. Dalam logika sederhana, makin banyak dikonsumsi makin mengenyangkan. Rupanya kepuasan membatasi sesuai percobaan eks pegawai negeri sipil asal Prusia, Hermann Heinrich Gossen (1858). Gelas pertama meredakan haus, namun konsumsi selanjutnya tak punya nilai apa-apa (Gossen's Laws).

 

Menumpuk kekayaan berlebihan bukan saja tak patut, juga tak sehat. Apalagi memanfaatkan fasilitas kekuasaan. Kata Abraham Lincoln (1865), cara efektif melihat orisinalitas seseorang berilah ia kekuasaan. Seseorang dapat beralih dari idealis menjadi pragmatis. Dari aktivis menjadi residivis. Dari Noel menjadi nol.

 

Sehari-hari pikiran menuntun manusia menuju cita ideal agar terpuaskan dengan ragam cara. Namun hati dalam bentuk rasa membatasinya. Seindah apapun kue ulang tahun, begitu lewat kerongkongan dibatasi oleh kepuasan marginal. Ia bahkan hancur tak berbentuk dikunyah rahang dan ditelan habis oleh kerongkongan.

 

Pikiran membantu menerangkan kegelapan agar manusia mencapai benderang. Hati dalam rasa menembus kegelapan yang tak cukup diterangkan oleh pikiran. Dalam filosofi Tiongkok kuno, sifat akal yang maskulin, terang, pelita, dan dinamis mewakili yang. Sementara sifat hati yang dalam, teduh, feminim, dan pasif diwakili oleh yin.

 

Manusia butuh keseimbangan untuk mengendalikan akal dan rasa. Akal berlebihan mengubah perilaku menjadi akal-akalan. Mengakali hukum agar terhindar, mengakali anggaran agar rasional, mengakali kewajiban menjadi hak. Mengakali hak publik menjadi milik private. Mengubah kepemilikan atas nama rakyat.

 

Perasaan pun selayaknya dikontrol. Rasa elit berlebihan membentuk semacam antibodi dari kritik sosial. Seseorang perlahan menjadi apatis dengan lingkungannya. Dulu kritis sekarang membebek. Sehari-dua bau busuk toilet tak tertahankan. Lama-lama menjadi biasa, bahkan beradaptasi dengan ekologi pemerintahan.

 

Konsistensi pikiran dan rasa melahirkan integritas. Kemampuan memastikan ucapan di lidah, mematrikan di hati, serta merealisasikan di alam nyata, itulah taqwa dalam perspektif agama. Ia memancarkan ukiran indah pada manusia. Itulah karakter (charassein), yaitu corak tetap dan tak terhapuskan dari watak manusia.

 

Inilah harta karun bangsa yang hilang. Integritas sebagai karakter yang kian menipis. Dari kepala hingga kaki. Dari elit hingga alit. Menimbang personifikasi elit adalah produk nyata para alit, maka penting kiranya bila tugas panjang kita hari ini dan seterusnya mendidik para alit sebagai basis munculnya para elit politik pemerintahan.(*)

 

Penulis merupakan Ketua Harian Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia (MIPI) dan Guru Besar pada Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN)

Komentar:
Dprd
ePaper Edisi 25 Agustus 2025
Berita Populer
03
Si Raja Minyak “MRC” Resmi Jadi DPO

Nasional | 2 hari yang lalu

04
Semen Padang Imbang 1-1 Lawan PSM Makassar

Olahraga | 2 hari yang lalu

05
08
Dewa United Sukses Gasak Persik Kediri 3-1

Olahraga | 2 hari yang lalu

10
Lokasi SIM Keliling Tangsel Sabtu 23 Agustus 2025

TangselCity | 2 hari yang lalu

GROUP RAKYAT MERDEKA
RM ID
Banpos
Satelit