TangselCity

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Haji 2025

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Dewan Pers

Catatan Muhamad Akbar

Ojol Populer, Tapi Benarkah Layak Jadi Angkutan Umum?

Oleh: Muhamad Akbar
Editor: Redaksi
Rabu, 27 Agustus 2025 | 05:41 WIB
Ilustrasi. Foto : Ist
Ilustrasi. Foto : Ist

SERPONG - Ojek online (ojol) telah mengubah wajah mobilitas kota. Tetapi, di balik kenyamanannya tersimpan pertanyaan besar tentang keselamatan, hukum, dan arah masa depan transportasi kita”

 

Sulit membayangkan kehidupan kota hari ini tanpa ojol. Layanan ride-hailing ini telah menjadi pilihan utama banyak orang, entah untuk berangkat kerja, menghadiri rapat mendadak, atau mengejar janji penting di tengah padatnya lalu lintas. Popularitasnya pun meluas hingga ke layanan pesan-antar makanan seperti GoFood dan GrabFood yang kini begitu akrab dalam keseharian. Dari urusan transportasi hingga memenuhi kebutuhan perut, semuanya terasa mudah hanya dengan beberapa ketukan di layar ponsel.

 

Keunggulan ojol terletak pada fleksibilitas dan layanan door-to-door, sesuatu yang sulit ditandingi angkutan umum konvensional. Bagi masyarakat Indonesia yang enggan berjalan kaki jauh, model layanan ini seakan menjawab kebutuhan mereka. Tak heran jika popularitas ojol terus meroket. Bukan hanya karena jalanan macet, tetapi juga karena angkutan umum yang tersedia belum sanggup memberikan kenyamanan dan keandalan yang semestinya.

 

Namun, muncul pertanyaan penting: apakah ojol layak disebut sebagai angkutan umum? Pantaskah disetarakan dengan bus dan kereta perkotaan, seperti KRL, MRT, atau LRT yang selama ini menjadi tulang punggung mobilitas di kota besar, bahkan dengan angkot yang masih mendominasi di banyak daerah? Dibandingkan dengan taksi yang sudah berstatus resmi sebagai angkutan umum pun, posisi ojol tetap menyisakan persoalan.

 

Popularitasnya memang tak terbantahkan, bahkan telah menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat perkotaan. Tetapi, di balik fleksibilitas dan kecepatannya, ada hal-hal mendasar yang tidak bisa diabaikan: mulai dari dasar hukum, aspek keselamatan, hingga arah kebijakan transportasi nasional. Semua ini patut direnungkan bersama, sebelum negara melangkah terlalu jauh sekadar mengikuti arus selera pasar.

 

Siapa Melindungi Penumpang Ojol?

 

Dalam kerangka hukum transportasi kita, posisi ojek online memang masih lemah. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan secara tegas menyebut bahwa angkutan umum hanya boleh menggunakan mobil penumpang, bus, atau mobil barang. Sepeda motor tidak termasuk di dalamnya. Artinya, secara hukum ojol tidak diakui sebagai angkutan umum.

 

Selama ini operasionalnya berjalan dengan sandaran pada aturan teknis, yakni Permenhub Nomor 12 Tahun 2019, yang mengatur soal tarif, perlengkapan keselamatan, dan kewajiban aplikasi. Regulasi ini sifatnya sementara, lebih sebagai jembatan kebijakan, bukan pengakuan penuh setingkat undang-undang.

 

Konsekuensinya jelas: selama ojek online tidak diakui dalam undang-undang, posisi pengemudi maupun penumpang akan tetap rapuh ditinjau dari aspek perlindungan hukum. Jika terjadi insiden di jalan, mulai dari kecelakaan, sengketa tarif, hingga persoalan klaim asuransi, mereka tidak memiliki dasar kuat untuk menuntut ganti rugi sebagaimana pengguna angkutan umum resmi. Aturan teknis yang ada saat ini sebatas mengatur operasional, bukan memberikan jaminan hak dan kewajiban.

 

Sementara itu, jika Pemerintah memilih merevisi undang-undang untuk memasukkan ojol sebagai angkutan umum, maka ada konsekuensi besar. Negara seakan bergeser dari filosofi membangun transportasi yang aman dan berkelanjutan, menuju pilihan kebijakan yang lebih pragmatis: mengikuti arus besar penggunaan ojol dan kepentingan industri aplikasi, ketimbang berpegang pada arah pembangunan transportasi jangka panjang.

 

Jalan Licin, Hujan Deras, Ojol Bisa Aman?

 

Dalam konteks keselamatan, risikonya terlihat jelas. Data Polri menunjukkan lebih dari 70 persen kecelakaan lalu lintas di Indonesia melibatkan sepeda motor. Angka ini konsisten dari tahun ke tahun, menegaskan bahwa roda dua adalah moda paling rentan di jalan raya. Persoalannya, bila digunakan secara pribadi, risiko itu ditanggung penuh oleh pengendara. Namun begitu dijadikan angkutan umum, negara berkewajiban memberi jaminan keselamatan penumpang. Ojek online memang menawarkan kecepatan dan fleksibilitas, tetapi sifat dasarnya sebagai kendaraan roda dua membuatnya sulit disetarakan dengan angkutan umum resmi yang memiliki standar keamanan lebih tinggi.

 

Kalau dilihat dari standar keselamatan, perbedaan antara angkutan umum sesuai Undang-undang dan sepeda motor sangat mencolok. Bus, kereta, maupun taksi dilengkapi perlindungan fisik, seperti karoseri, sabuk pengaman, dan sistem peredam benturan. Sebaliknya, sepeda motor hanya mengandalkan helm sebagai pelindung utama, yang hanya melindungi kepala. Begitu kecelakaan terjadi, pengendara maupun penumpang langsung berhadapan dengan aspal tanpa perlindungan lain yang memadai.

 

Risiko makin besar karena sepeda motor bukan hanya minim perlindungan, tetapi juga rentan dari sisi stabilitas. Jalan berlubang, permukaan licin, atau manuver mendadak dengan mudah bisa menjatuhkan pengendara bersama penumpangnya. Ukurannya yang kecil sering membuat motor luput dari pandangan pengemudi bus atau truk, sehingga rawan terserempet atau tertabrak.

 

Saat hujan, bahaya bertambah: jarak pandang menurun, cengkraman ban melemah, dan kendali semakin sulit dipertahankan. Semua kerentanan ini menegaskan bahwa motor sejak awal tidak pernah dirancang sebagai angkutan umum. Karena itu, menempatkan ojol dalam kategori yang sama dengan bus atau kereta justru mengabaikan prinsip dasar keselamatan transportasi.

 

Ojol Membanjiri Jalan, Transportasi Massal Tersisih?

Kota-kota kita kian terjebak dalam kemacetan, udara kotor, dan jumlah kendaraan pribadi yang meningkat pesat. Para ahli transportasi sepakat, jalan keluarnya ada pada angkutan massal, seperti BRT, MRT, LRT, dan kereta komuter yang kini mulai hadir di berbagai kota besar. Tetapi, alih-alih mendukung arah ini, ojek online justru menambah beban: ribuan motor membanjiri jalan, parkirnya sering menutup sebagian badan jalan, menambah kesemerawutan lalu lintas, dan efisiensinya semu. Motor mungkin kecil dan irit secara individual, tapi dalam jumlah besar justru membuat lalu lintas padat, energi boros, dan cita-cita transportasi massal yang teratur dan efisien makin jauh dari kenyataan.

 

Jika tren ini terus dibiarkan, apalagi bila ojol dilegalkan sebagai angkutan umum, masyarakat akan semakin bergantung pada motor dan enggan beralih ke transportasi massal. Kenyamanan layanan antar-jemput dari pintu ke pintu membuat banyak orang lebih memilih ojol ketimbang berjalan kaki ke halte atau stasiun.

 

Akibatnya, investasi besar pada MRT, LRT, dan BRT berisiko tidak mendapatkan penumpang yang memadai. Ojek online tetap bisa hadir dan memberi manfaat, tetapi posisinya harus jelas: sebagai feeder service yang menghubungkan rumah dengan halte atau stasiun. Dalam peran inilah ojol penting menjadi pelengkap yang mendukung transportasi massal agar diminati, bukan menggantikannya sebagai tulang punggung kota.

 

Transportasi Kita, Mau ke Mana?

 

Ojek online memang fenomena yang tidak bisa dihapus dari kehidupan kota. Tetapi apakah popularitas semata cukup untuk mengubah arah kebijakan transportasi yang sudah benar? Negara berada dalam posisi dilematis: tetap konsisten membangun transportasi massal yang modern dan efisien, atau tergoda mengikuti tekanan politik dan popularitas ojol di masyarakat, demi jutaan pengemudi yang menggantungkan hidupnya di jalan. Pertanyaannya, mau dibawa kemana masa depan transportasi kota ini?

 

Masalahnya, hingga kini sepeda motor belum diakui undang-undang sebagai angkutan umum. Pemerintah sebenarnya tahu persoalan ini, tetapi membiarkan ojol berkembang tanpa dasar hukum lebih dari satu dekade. Sikap seperti itu hanya menunda masalah: pengemudi dan penumpang tetap dalam posisi rentan, sementara arah kebijakan transportasi menjadi kabur. Jika negara benar-benar serius menata transportasi, seharusnya ada langkah berani: membuat aturan khusus yang menempatkan ojol sebagai feeder, sambil menyiapkan revisi undang-undang agar konsistensi kebijakan tidak terus dikorbankan demi kepentingan jangka pendek.

 

Transportasi adalah warisan untuk anak cucu, bukan sekadar urusan hari ini. Jika sejak awal arah kebijakan salah menjadikan sepeda motor sebagai andalan mobilitas kota, maka yang diwariskan hanyalah kemacetan, polusi, dan risiko keselamatan yang tiada henti. Pada akhirnya, ujian terbesar bagi negara adalah keberanian menentukan pilihan: berpihak pada kemudahan jangka pendek, atau membangun masa depan kota yang lebih manusiawi, teratur, dan efisien.

 

Muhamad Akbar

Pemerhati Transportasi

Komentar:
GROUP RAKYAT MERDEKA
RM ID
Banpos
Satelit