TangselCity

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

RELIJIUCITY

NATARU

Indeks

Dewan Pers

Dibutuhkan Kolaborasi dan Pendekatan Kultural Dalam Penanganan Sampah

Oleh: Ari Supriadi
Editor: Redaksi
Selasa, 30 Desember 2025 | 21:04 WIB
Ari Supriadi, dosen STISIP Banten Raya. (Dok. pribadi)
Ari Supriadi, dosen STISIP Banten Raya. (Dok. pribadi)

PERSOALAN sampah tidak hanya menjadi masalah nasional, namun sudah menjadi masalah global yang perlu mendapatkan perhatian serius dan kolaboratif antara pihak. Menurut laporan World Bank, Tiongkok menjadi negara penghasil sampah terbanyak dengan volume 395,1 juta ton, disusul Amerika Serikat dengan 265,2 juta ton sampah, kemudian India 189,8 juta ton. Di posisi keempat ada Brasil dengan produksi sampah sebanyak 79,1 juta dan ton dan Indonesia berada di urutan kelima dengan 65,2 juta ton.

  

Menurut data dari Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), rata-rata orang Indonesia menghasilkan sampah antara 0,7-1 kilogram per hari. Jika dikalkulasikan dengan jumlah penduduk Indonesia sekitar 270 juta jiwa, maka per hari di Indonesia terdapat 175.000 ton sampah. Dari jumlah tersebut menurut KLH, baru 33,77 persen atau 12,914,948.82 ton per tahun sampah yang terkelola, sisanya 66,23 persen atau 25,327,480.51 ton per tahun tidak terkelola.

 

Saat ini sejumlah pemerintah daerah di Indonesia mengalami kesulitan dalam menangani persoalan sampah. Mulai dari Tempat Pembuangan Akhir (TPA) yang belum sesuai standarisasi KLH, tingginya produksi sampah harian, belum memadainya armada pengangkut sampah serta perilaku masyarakat yang belum bijak dalam mengelola sampah di tingkat rumah tangga.

 

Terbaru, tumpukan sampah menghiasi sejumlah ruas jalan di Kota Tangerang Selatan (Tangsel), Banten. Terjadinya tumpukan sampah tersebut merupakan ekses dari penyegelan/penutupan TPA Cipeucang oleh KLH pada awal Oktober 2025. Penyegelan dilakukan karena pengelolaan sampah TPA Cipeucang masih melakukan dengan cara open dumping.(banten.idntimes.com: 2025)

 

Masalah sampah juga dihadapi oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Denpasar, Bali. Pasalnya, Kementerian LH memastikan TPA Suwung, Denpasar, berhenti operasi per 1 Maret 2026 mendatang.(Kompas.com: 2025)

 

Yanuar Wijanarko menyebut, darurat sampah yang melanda berbagai daerah di Indonesia menjelang akhir 2025 dinilai bukan hanya persoalan teknis pengelolaan atau keterbatasan infrastruktur. Lebih dari itu, kondisi ini mencerminkan krisis perilaku kolektif masyarakat dalam mengelola sisa konsumsi sehari-hari.(tangselpos.id: 2025)

 

Kegagalan dalam mengurus sampah tidak hanya dialami oleh Pemkot Tangsel dan Pemkot Denpasar, tetapi juga banyak dialami oleh daerah lain di Indonesia. Persoalan sampah muncul karena tidak seimbangnya sampah yang diproduksi oleh masyarakat, corporate, pelaku usaha dan lainnya dibandingkan dengan kemampuan masyarakat maupun pemerintah dalam mengelolanya. Kembali ke data KLH, baru 33,77 persen sampah yang berhasil diolah dan sisanya 66,23 persen tidak diolah.

 

Gagalnya pemerintah daerah dalam mengurus sampah tentu dipengaruhi berbagai faktor. Kegagalan tersebut mulai dari belum tersedianya infrastruktur dan teknologi yang memadai, regulasi dan kelembagaan serta manajemen pengelolaan sampah, serta rendahnya kesadaran  masyarakat dalam mengelola sampah secara mandiri.

 

Jika pemerintah dan secara umum masyarakat tidak mampu mengelola sampah dengan baik, maka tentunya akan terjadi dampak negatif yang kompleks. Dampak negatif gagalnya dalam mengelola sampah tidak hanya pada sisi lingkungan dan kesehatan, tetapi juga bisa berdampak pada sektor lainnya baik secara langsung maupun tidak langsung.

 

Belajar Dari Jepang

 

Jepang menjadi salah satu negara yang cukup berhasil dalam menangani persoalan sampah. Negeri Sakura yang terkenal dengan perkembangan teknologi ini justru tidak memulai penanganan sampah melalui infrastruktur teknologi maupun regulasi, melainkan pendekatan individu. Pemerintah Jepang melakukan pendekatan dengan banyak melibatkan masyarakat melalui edukasi dalam mengolah sampah rumah tangga dengan sangat disiplin dan berkesinambungan. Melalui cara tersebut pada akhirnya dapat meningkatkan kesadaran masyarakat dan meminimalkan membuang sampah sembarang.(perkim.id: 2025)

 

Selain cara pertama dengan pelibatan aktif masyarakat, Jepang juga menerbitkan Undang-Undang untuk Promosi Pengumpulan Sortir dan Daur Ulang Wadah dan Pengemasan pada tahun 1995, yang mendorong pemerintah kota untuk mengumpulkan dan mendaur ulang sumber daya secara efisien.

 

Jepang telah mengembangkan sistem daur ulang yang canggih, termasuk teknologi untuk mengolah botol limbah PET yang sebelumnya hanya bisa didaur ulang menjadi produk berkualitas rendah menjadi produk bernilai tambah tinggi. Beberapa kota di Jepang juga menerapkan sistem subsidi bagi komunitas yang secara sukarela mengumpulkan sampah daur ulang, mendorong pengumpulan dan daur ulang limbah secara lebih efektif (Ministry of the Environment: 2012).

 

Terakhir, secara umum pemrosesan sampah dapat dilakukan dengan cara 3R (Recycle, Reuse dan Reduce) ditambah dengan konsep Extended Producer Responsibility (EPR). Konsep ini memperluas tanggung jawab produsen hingga pembuangan produk di akhir masa pakainya, meningkatkan efisiensi daur ulang dan mengurangi beban lingkungan. Jadi produsen yang memproduksi kemasan dari berbagai bahan memiliki tanggung jawab lingkungan atas sampah yang dihasilkan.

 

Akhirnya, pengelolaan sampah dengan cara pelibatan berbagai pihak yang dilakukan secara berkesinambungan dari hulu ke hilir diharapkan mampu menekan baik secara volume, dampak negatif terhadap kesehatan dan lingkungan, dan juga sampah bisa dikonversi menjadi energi terbarukan serta mendorong pertumbuhan ekonomi yang ramah lingkungan.

 

Indonesia sangat bisa mengikuti cara Jepang atau negara lain yang berhasil dalam menangani sampah. Langkah prioritas yang mesti dilakukan oleh pemerintah adalah melalui pendekatan kultural dan berbasis komunitas. Penanganan sampah harus dimulai dari hulunya, masyarakat perlu diedukasi mengenai pengelolaan sampah seperti di Jepang dan jika memang dibutuhkan masukan mengenai pengelolaan sampah dalam kurikulum pendidikan nasional. Toh, negara tidak hanya mengejar target manusia yang cerdas secara intelektual tetapi tentunya manusia yang hidupnya seimbang dengan alam dan ruang hidupnya. Kemudian di sisi lain pemerintah segera menyiapkan infrastruktur pengelolaan sampah yang sesuai dengan standar dan regulasi yang mampu menjawab semua permasalahan tersebut. 

 

Indonesia, tentu sangat bisa bebas sampah dan lagi-lagi sangat bisa. Kapan? Tidak perlu menunggu besok atau menunggu sanksi dari KLH turun untuk menutup tiap-tiap TPA di masing-masing daerah. Hari ini kita semuanya bisa memulai dengan langkah yang paling kecil, tidak lagi membuang sampah sembarang, mengelola sampah di tingkat rumah tangga, menggunakan ulang barang yang masih bisa dipakai, dan mengurangi volume sampah. Hal yang penting dilakukan adalah disiplin, berkesinambungan dan menularkan kebiasaan baru tersebut kepada individu lain yang akhirnya menjadi habit baru, yakni habit yang selaras dengan alam, lingkungan, dan tempat di mana kita tinggal. Mari bijak kelola sampah untuk Bumi lestari.(*)

 

*) Penulis adalah dosen STISIP Banten Raya dan concern terhadap isu lingkungan.

Komentar:
GROUP RAKYAT MERDEKA
RM ID
Banpos
Satelit