Lamban Tarik Peredaran Obat Berbahaya
BPOM Jangan Lindungi Farmasi
JAKARTA - Anggota Komisi IX DPR Aliyah Mustika Ilham kecewa dengan langkah Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang terkesan lamban menarik obat-obatan berbahaya dari peredaran. Jangan lindungi industri farmasi tertentu penyebab ratusan anak menjadi korban.
Aliyah bilang, Pemerintah mesti serius mengawasi peredaran obat dan bahan makanan yang mengandung tiga zat berbahaya.
“Yaitu ethylene glycol, diethylene glycol, dan ethylene glycol butil eter,” katanya di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, kemarin.
Situasi ini diperparah dengan minimnya data kasus ginjal pada anak. Hal ini yang menyebabkan tenaga kesehatan dan dokter sulit mengambil tindakan.
Di lain sisi, BPOM lamban melakukan penelusuran terhadap kandungan obat pada sirup yang dikonsumsi anak-anak.
Sementara, kasus-kasus ini sebelumnya sudah pernah terjadi seperti di Gambia. Malah Kementerian Kesehatan (Kemenkes), kata politisi perempuan Fraksi Partai Demokrat ini, yang berinisiatif menghentikan penggunaan obat sirup yang dicurigai jadi penyebab gagal ginjal akut.
“Apa BPOM bermaksud melindungi industri farmasi sehingga obat sirup yang ditengarai mengandung zat berbahaya dihentikan sementara penggunaannya? Mengapa justru Kemenkes yang menghentikan penggunaan obat sirup,” heran Aliyah.
Apalagi ada kesan tarik ulur penarikan lima obat sirup yang ditengarai mengandung zat berbahaya, yakni Termorex, Flurin DMP, Unibebi Cought, Unibebi Demam, dan Unibebi Demam Drops.
“Buktinya BPOM kemudian meralat pengumuman Termorex untuk baris tertentu saja,” tambah dia.
Anggota Komisi IX DPR Elva Hartati menambahkan, peran BPOM melakukan pengawasan peredaran obat bersifat pasif. Sebab, dalam pengawasan obat ini pelaku usaha industri farmasi yang harus berinisiatif untuk melaporkan mutu obatnya kepada BPOM.
Dia lalu merujuk pasal 161 dalam Peraturan BPOM Nomor 24 Tahun 2017 tentang Kriteria Tata Laksana Registrasi Obat. Di mana, pemilik izin obat wajib melakukan pemantauan khasiat, keamanan, dan mutu obat selama obat diedarkan dan melaporkan hasilnya kepada BPOM.
Elva menegaskan, BPOM perlu terlibat lebih aktif dalam mengusut pelanggaran-pelanggaran yang terjadi dalam industri farmasi. Penindakan hukum juga harus dilakukan kepada pelaku industri yang jelas-jelas membahayakan masyarakat.
"Kami mohon persoalan ini kita membentuk Panja,” tambah dia.
Sementara, Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia Piprim Basarah Yanuarso menyatakan, kasus gagal ginjal ini sebenarnya sudah ada peningkatan sejak Agustus lalu.
Beberapa dokter anak di Indonesia melaporkan adanya anak yang tiba-tiba tidak bisa kencing padahal sebelumnya anak tersebut sehat-sehat saja.
Adapun kasus ini didominasi anak balita yang sebelumnya sehat, namun memiliki riwayat demam, gejala saluran cerna, saluran pernapasan, batuk pilek tapi tidak memiliki riwayat dehidrasi berat.
“Biasanya kalau gangguan ginjal akut ada karena kurang cairan, dehidrasi berat. Tapi pada anak-anak ini tidak ada,” katanya.
Diakui Piprim, anak tersebut sebelumnya diketahui meminum obat penurun panas dan lainnya. Begitu tiba di rumah sakit, anak tersebut mengalami anuria, dan anehnya anak itu dalam kondisi awalnya bangun namun dengan cepat mengalami penurunan kesadaran.
Padahal sudah dilakukan cuci darah, napasnya berhenti, dilakukan inkubasi alat bantu napas, dan ujungnya meninggal dunia juga.
Situasi ini pun membuat dokter anak yang menghadapi kasus tersebut frustasi. Sebab biasanya kalau terjadi gangguan ginjal akut saja, tidak ada kencing, dilakukan cuci darah anaknya bisa selamat.
“Ini dilakukan cuci darah anaknya malah tidak selamat,” tuturnya.
Pihaknya lalu melakukan koordinasi dengan Kemenkes. Saat itu rekomendasi IDAI belum mengarah kepada intoksikasi diakibatkan penggunaan obat sirup atau infeksi lain. Pihaknya lalu mengarah ke temuan di Gambia, dimana terjadi kematian anak setelah minum obat penurun panas.
Untuk Kunker Tiap Hari
Diskusi dengan dokter di Gambia, ternyata ditemukan profil pasien di sana serupa dengan kasus gagal ginjal akut yang terjadi, terutama di Jakarta.
“Rupanya memang banyak kadar Ethylene Glycol yang melebihi batas dalam darah pasien kami walau sudah dilakukan cuci darah. Bisa dibayangkan, pasien sudah cuci darah, kadar Ethylene Glycolnya masih tinggi,” ujarnya.
Karena itu, pihaknya mengapresiasi Kemenkes dan seluruh anggota IDAI di seluruh Indonesia dan BPOM yang telah bertindak cepat menghentikan atau menarik sirup. Sebab, pasca penarikan obat sirup ini, kasus kematian anak akibat gagal ginjal akut turun drastis.
Sumber berita rm.id :
Nasional | 1 hari yang lalu
Pos Tangerang | 2 hari yang lalu
Olahraga | 1 hari yang lalu
TangselCity | 13 jam yang lalu
Galeri | 2 hari yang lalu
Nasional | 1 hari yang lalu
Galeri | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu