Krisis Pangan Dan Energi Di Depan Mata
JAKARTA - Setelah pandemi Covid-19, krisis pangan dan energi jadi ancaman serius bagi dunia, juga Indonesia. Ini bukan nakut-nakutin, tapi ancaman krisis ini sudah ada di depan mata.
Presiden Jokowi dalam berbagai forum sudah berkali-kali mengingatkan masalah ini. Dampaknya sangat mengerikan. Ratusan juta orang di dunia terancam kelaparan. Banyak negara juga terancam bangkrut akibat krisis ini. Menghadapi masalah yang serius ini, sebaiknya para politisi di negeri jangan sibuk ngurusin pilpres, lupakan saja sejenak urusan politik. Fokus urus masalah bangsa.
Perang yang masih berlangsung antara Rusia vs Ukraina, jadi pemicu terjadinya krisis pangan dan energi. Akibat perang ini, ekspor sejumlah bahan pangan dari kedua negara tersebut jadi tersendat. Padahal, kedua negara ini merupakan penghasil gandum, biji-bijian, dan pupuk nitrogen terbesar di dunia.
Tak hanya bahan pangan, perang Rusia-Ukraina juga berimbas pada ketersediaan energi di dunia. Dunia, khususnya negara-negara Eropa, saat ini sedang terancam krisis energi, akibat pasokan minyak dan gas yang seret imbas pemangkasan impor dari Rusia. Sanksi berupa embargo minyak dan gas dari Rusia ini membuat negara-negara di Eropa kelimpungan menutupi kebutuhan gas di negaranya.
Tak hanya itu, embargo yang dijatuhkan AS dengan sekutunya itu juga membuat harga minya dunia melambung tinggi. Dalam perdagangan kemarin, minyak mentah berjangka Brent tembus 113,04 dolar AS per barel. Sementara harga minyak mentah West Texas Intermediate AS berada di angka 109,49 dolar AS per barel.
Tak hanya minyak, batu bara yang saat ini jadi sumber energi bagi sejumlah engara Eropa juga mengalami lonjakan harga yang tajam. Harga batu bara dari semula 99,3 dolar AS per metrik ton (MT) menjadi 280 dolar per MT. Sedangkan pada perdagangan Senin (20/6), harga batu bara kontrak Juli di pasar ICE Newcastle (Australia) ditutup di 382,25 dolar AS per MT.
Dalam kelompok pangan, minyak kelapa sawit (CPO) dari 1.136 dolar AS per MT menjadi 1.716,9 dolar AS per MT atau naik 51,08 persen (yoy). Kopi mengalami kenaikan 29,39 persen menjadi 2,3 dolar AS per kg, gandum naik 75,71 persen menjadi 522,3 dolar AS per MT, kedelai naik 11,95 persen menjadi 724,1 dolar AS per MT dan daging sapi naik 10,9 persen menjadi 6,1 dolar AS kg.
Seperti halnya minyak mentah dan batu bara, lonjakan harga pangan merupakan imbas dari perang Rusia-Ukraina yang diikuti larangan ekspor terhadap barang tertentu di beberapa negara. Seperti Rusia menahan pasokan gandum, biji bunga matahari, pupuk, pupuk nitrogen.
India juga melarang ekspor gandum. China juga ikut melarang ekspor pupuk. Ukraina membatasi ekspor unggas, telur, minyak bunga matahari dan daging sapi. Indonesia sendiri sempat melarang ekspor CPO dan turunannya. Namun sudah dibuka kembali.
Berbagai permasalahan itu membuat dunia dilanda krisis yang menakutkan. Beberapa negara mengalami resesi karena inflasi yang naik drastis. Beberapa negara Afrika sudah teriak-teriak dan tidak sanggup lagi membeli bahan pangan yang harganya melambung tinggi.
Di dalam negeri, dampak krisis itu juga terjadi. Sejumlah harga kebutuhan pokok sudah naik selama sebulan terakhir. Ditambah lagi dengan persoalan minyak goreng yang belum kelar-kelar hingga hari ini.
Presiden Jokowi dalam beberapa kesempatan sudah berkali-kali berbicara soal ancaman krisis pangan dan energi yang sudah terjadi di depan mata. Senin, (20/6) saat memimpin Sidang Kabinet Paripurna di Istana Kepresidenan, Jokowi memberi warning ini.
"Krisis energi, krisis pangan, krisis keuangan sudah mulai melanda beberapa negara. Ada kurang lebih 60 negara yang dalam proses menghadapi tekanan karena utang. Ekonominya tertekan. Tidak ada devisa. Sehingga, masuk pada yang namanya krisis ekonomi, krisis keuangan. Inilah yang harus betul-betul kita antisipasi," pesan Jokowi.
Peringatan serupa Jokowi sampaikan dalam pidato di Rakernas II PDIP di Sekolah PDIP, Lenteng Agung, Jakarta, kemarin. Di sini, Jokowi kembali mengatakan ada informasi 60 negara akan ambruk ekonominya.
"Angka-angkanya saya diberi tahu, ngeri kita. Bank Dunia menyampaikan, IMF menyampaikan, UN PBB menyampaikan. Terakhir baru kemarin saya mendapatkan informasi 60 negara akan ambruk ekonominya, 42 dipastikan sudah menuju ke sana," kata Jokowi.
Jokowi pun meminta semua pihak waspada untuk segala bentuk krisis dari energi hingga pangan.
"Siapa yang mau membantu mereka kalau sudah 42 negara, mungkin kalau 1, 2, 3 negara krisis bisa dibantu mungkin dari lembaga-lembaga internasional, tapi kalau sudah 42 dan mencapai 60, kita nggak ngerti apa yang harus kita lakukan. Sehingga berjaga-jaga, waspada, hati-hati adalah hal yang sangat kita perlukan," lanjut Jokowi.
Jokowi menjelaskan, Indonesia tidak berada posisi normal. Begitu krisis keuangan masuk ke krisis pangan, masuk ke krisis energi, akan menjadi kondisi yang mengerikan.
“Saya kira kita tahu semuanya. Sudah 1,2, 3 yang mengalami itu. Tidak punya cadangan devisa, tidak bisa beli BBM, tidak punya cadangan devisa, tidak bisa beli pangan, tidak bisa impor pangan, karena pangannya energinya impor semua," imbuh Jokowi.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira setuju dengan apa yang disampaikan Jokowi. Menurutnya, krisis pangan dan engergi yang sedang terjadi ini harus disikapi secara serius oleh seluruh pemilik kepentingan.
Menurutnya, tak elok di tengah ancaman yang begitu serius, elite politik malah disibukkan dengan urusan terkait Pemilu 2024. Padahal, jika politisi ingin mengambil hati rakyat, fokus saja mencari solusi krisis pangan dan energi.
"Karena belum ada terobosan hingga saat ini untuk menstabilkan harga. Gimana caranya stabilitas harga terjamin, daya beli masyarakat naik," kata Bhima, saat dihubungi, tadi malam.
Bhima mengingatkan, krisis pangan dan energi punya efek domino yang sangat signifikan. Pertama, menyebabkan kemiskinan meningkat tajam. Kedua, menguras APBN. Hitungan Bhima, untuk subsidi energi dan dana kompensasi saja bisa tembus Rp 500 triliun-Rp 600 triliun.
Ketiga, inflasi berlebihan. Ketika harga pangan naik, tapi tidak diiringi kenaikan pendapatan masyarakat, daya beli secara umum akan tertekan. Keempat, dapat melemahkan rupiah secara mendalam yang berujung pada kolapsnya perusahaan.
Apa solusinya? Bhima meminta untuk membenahi tata niaga di seluruh komoditas. Memangkas rantai distribusi dan melibatkan Bulog dalam pengawasan. Serta mengawasi persaingan usaha. Dengan begitu tidak ada praktik monopoli yang merugikan masyarakat.
"Karena di dalam momentum krusial kenaikan harga pangan secara global, banyak spekulan bermain. Inilah yang merugikan masyarakat," pesan Bhima.
Harapan serupa disampaikan Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO), Dedi Kurnia Syah.
"Sudahi narsisme dan kegenitan politik. Dengan tunduk dan mendukung kerja Presiden, sebenarnya itu lebih efektif meningkatkan daya politis, karena Jokowi punya pengaruh politik yang masih cukup kuat ", katanya. (rm id)
Pos Tangerang | 1 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Pendidikan | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
TangselCity | 21 jam yang lalu
TangselCity | 19 jam yang lalu
TangselCity | 22 jam yang lalu