Tanggapi Kritik Tuntutan Putri & Eliezer
Volume Suara Kejagung Meninggi
JAKARTA - Tuntutan jaksa terhadap para terdakwa kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J menuai kritik. Jaksa dinilai tidak konsisten dalam menetapkan tuntutan. Menanggapi kritikan itu, volume suara Kejaksaan Agung (Kejagung) tiba-tiba meninggi.
Ada lima terdakwa dalam kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir J. Mereka adalah pasangan suami istri eks Kadiv Propam Ferdy Sambo dan Putri Chandrawati, dan sopir keluarga Ferdy Sambo, Kuat Ma’ruf. Dua terdakwa lain adalah Brigadir Ricky Rizal, dan Bharada Richard Eliezer atau Bharada E.
Dalam sidang pembacaan tuntutan yang digelar Selasa dan Rabu lalu itu, Jaksa menuntut kelima terdakwa ini dengan hukuman yang berbeda. Ferdy Sambo dituntut hukuman penjara seumur hidup. Jaksa menilai Sambo terbukti melakukan pembunuhan berencana dan menghalangi proses penyidikan.
Tiga terdakwa lainnya yakni Kuat Ma’ruf, Ricky Rizal, dan Putri Candrawathi dituntut 8 tahun penjara. Sementara untuk Eliezer dituntut 12 tahun penjara lantaran dinilai terbukti melakukan penembakan.
Tuntutan jaksa tersebut menuai kontroversi. Jaksa dinilai lembek saat memberikan tuntutan kepada, Kuat, Rizky dan Putri. Padahal ketiganya terlibat langsung dalam pembunuhan berencana.
Sementara kepada Eliezer, jaksa dianggap terlalu keras. Padahal Eliezer dianggap pihak yang membuka dan bikin terang benderang kasus ini.
Menanggapi berbagai kritikan itu, Kejaksaan Agung memberikan keterangan pers di Gedung Kejagung, Jakarta, kemarin. Hadir dalam kesempatan itu adalah Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum (Jampidum) Fadil Zumhana dan Kapuspenkum Ketut Sumedana.
Keduanya memberikan klarifikasi terkait kritikan-kritikan itu. Jampidum Fadil mengatakan, lamanya tuntutan penjara terhadap para terdakwa disesuaikan dengan perannya masing-masing.
Kata dia, jaksa menetapkan ada tiga klaster terhadap para terdakwa. Klaster pertama merupakan pelaku intelektual pembunuhan berencana yakni Ferdy Sambo.
Sementara Eliezer merupakan klaster kedua yakni sebagai pelaksana atau eksekutor. Sementara sisanya masuk ke dalam klaster ketiga yang turut serta dalam kasus itu.
“Pidana harus disesuaikan dengan peran, orang itu berperan apa dalam terjadinya suatu peristiwa pidana. Tentu peran berbeda-beda, tentu tuntutan akan berbeda,” kata Fadil.
Perbedaan peran itu, kata dia, juga telah diperhitungkan dengan memperhatikan fakta persidangan, alat bukti, hingga keterangan saksi dan ahli. Dalam pemberian tuntutan, Fadil menyebut jaksa juga turut mempertimbangkan dampak perbuatan yang dilakukan masing-masing terdakwa. Semua tuntutan pidana itu, kata dia, dipertimbangkan oleh jaksa sampai kepada Kajari, Kajati dikonsulkan ke Jampidum.
Fadil memastikan tuntutan dibuat dengan parameter yang jelas dan tidak bisa diintervensi siapapun.
“Ini saya ingin menyampaikan kepada seluruh rakyat Indonesia bahwa Kejaksaan Agung memiliki kewangan penuh dan kami dalam tuntutan ada parameter yang jelas. Tidak bisa diintervensi siapapun,” kata Fadil.
Ia pun menepis kabar yang menyebut jaksa sudah masuk angin. Fadil menjelaskan, sejak awal proses prapenuntutan pihaknya bekerja secara terbuka.
Kapuspenkum Kejagung, Ketut Sumedana mengatakan, tuntutan bukan sekadar dilihat dari niat para terdakwa dalam melakukan pembunuhan terhadap Brigadir J. Namun, tuntutan juga diajukan berdasarkan perbuatan para terdakwa.
Ia merespons, pihak Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang berharap jaksa meringankan tuntutan terhadap terdakwa Eliezer karena status Justice Collaborator (JC) dari LPSK.
Terkait itu, Ketut Sumedana juga mengatakan, JC dalam pembunuhan berencana tidak diatur dalam Undang-undang LPSK serta Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Kata dia, tindak pidana tertentu yang diatur terkait JC antara lain tindak pidana korupsi, terorisme, tindak pidana narkotika, tindak pidana pencucian uang, perdagangan orang, maupun tindak pidana lainnya yang bersifat terorganisasi.
Eliezer adalah sebagai pelaku utama sehingga tidak dapat dipertimbangkan juga sebagai yang harus mendapatkan JC.
“Dia (Eliezer) bukan penguak, pengungkap fakta hukum yang pertama melainkan keluarga korban. Eliezer sebagai pelaku utama sehingga tidak dapat dipertimbangkan juga sebagai justice collaborator,” ucap Ketut.
Sebelumnya, sejumlah pihak menyampaikan kritik terkait tuntutan jaksa kepada para terdakwa. Kritikan itu misalnya disampaikan pakar hukum pidana Yenti Garnasih. Ia heran kenapa jaksa memberikan tuntutan 8 tahun kepada Putri, Kuat Ma’ruf, dan Ricky Rizal.
Ketua Umum Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi (MAHUPIKI) ini mengatakan, terdakwa melakukan pembunuhan ini. rm.id
Pos Tangerang | 1 hari yang lalu
Pendidikan | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
TangselCity | 23 jam yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu