TangselCity

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Dewan Pers

Dalam Persaingan Ada Kepunahan

Oleh: Indah Noviariesta
Editor: admin
Minggu, 07 Mei 2023 | 07:40 WIB
Ilusrasi
Ilusrasi

“TAK ada kemenangan sejati dalam persaingan duniawi, karenanya yang perlu dijadikan sasaran adalah keadilan dan bukan kemenangan. Hidup manusia dibatasi oleh durasi waktu, kelemahan dan kekurangan. Jika yang dikejar adalah kemenangan, maka bersiap-siaplah Anda akan terlindas oleh sang waktu hingga mengalami kepunahan.” (Hafis Azhari, pengarang novel Pikiran Orang Indonesia)
Sejarawan terkemuka Yuval Noah Harari pernah menyatakan, bahwa di era milenial ini, kalau sampai terjadi pertemuan antara Neandertal (manusia purba) dengan Homo Sapiens (manusia modern), maka akan terjadi adu kecerdasan, adu kekuatan, pertikaian dan pertumpahan darah, pemangkasan populasi hingga pembersihan etnis terbesar dalam sepanjang sejarah dunia.

Dalam terminologi Islam, kita melihat adanya perbedaan prinsipil dengan pemikiran Yuval Harari yang banyak mengacu dari konsep “Survival of the Fittest” karya Charles Darwin. Di dalam Islam, dalam penciptaan Adam dan pasangannya Hawa, terkandung unsur hewani (secara anatomis) karena sama-sama tercipta dari tanah. Namun, secara rohani terkandung unsur malaikat dan iblis. Jika kecenderungan iblis yang lebih dominan, maka ia akan menjelma binatang dari segala binatang buas. Tetapi, jika unsur malaikat yang dominan dalam dirinya, ia akan menjelma makhluk Tuhan yang kasatmata, yang justru lebih mulia daripada para malaikat.

Dalam buku Humankid: A Hopeful History (2019), Rutger Bregman pernah membahas hasil penelitian Dmitri Balyaez, seorang ahli zoologi dan genetika, bersama Lyudmila Trut, ahli biologi di Universitas Moskwa. Keduanya meneliti rubah perak di Siberia sekitar tahun 1958. Penelitiannya itu untuk menjawab pertanyaan, bagaimana mengubah pemangsa-pemangsa ganas menjadi hewan-hewan peliharaan yang jinak?

Teori Darwin sekitar satu abad sebelum itu, sudah memberikan garis besar, bahwa postur tubuh hewan-hewan jinak, seperti kelinci, domba, babi, menunjukkan beberapa kemiripan mencolok. Namun, hewan jinak lebih kecil daripada leluhurnya yang liar. Otak dan giginya lebih kecil, kadang telinganya terkulai dan ekornya keriting. Pada 1964 lalu, Dmitri dan Lyudmila berhasil mendapatkan perbedaan itu, bahwa rubah perak yang dipelihara dan dijinakkan tidak lagi agresif, meskipun senang bermain dan berlarian sepanjang hari. Namun, secara fisik tampak jelas bahwa rubah perak yang dikembang-biakkan, telinganya agak terkulai, ekornya melengkung, dan rambutnya mulai tampak berbintik. Moncong memendek, tulang mengecil, dan pejantan makin mirip betina. Bahkan, sebagian rubah-rubah itu bisa menggonggong seperti anjing.

Dua puluh tahun sesudah percobaan itu, dalam Kongres Genetika International, Dmitri memaparkan temuannya yang membuat para hadirin berdecak kagum. Dia menganalisis, bahwa perubahan rubah itu disebabkan faktor hormonal. Rubah yang lebih jinak dan ramah menghasilkan lebih sedikit hormon stres, serta lebih banyak memproduksi hormon bahagia (serotonin) dan hormon cinta (oksitosin). Hal ini bertentangan dengan teori Richard Dawkins mengenai “Gen Ego” (selfish gene), seakan-akan manusia terlahir sebagai makhluk egois dan ingin menang sendiri.

Dmitri justru menegaskan bahwa manusia adalah makhluk yang jinak. Selama puluhan ribu tahun, manusia yang paling jinak dan ramah akan melahirkan keturunan-keturunan yang lebih banyak.
Para ahli paleo-antropologi di Amerika, sejak 2014 mulai mengamati tengkorak manusia dari berbagai zaman selama 20 ribu tahun terakhir. Mereka dapat membuktikan adanya pola, bahwa wajah dan tubuh kita menjadi lebih lembut, lebih muda, dan lebih feminin. Otak kita mengecil 10 persen, sementara gigi dan rahang menjadi pedomorfik, seperti anak kecil.

Jika dibandingkan dengan Neandertal atau Denisovan (manusia purba), perbedaan itu sangat mencolok. Tengkorak kita lebih pendek dan bulat, dengan alis mata yang lebih menonjol. Perbedaan kita dengan mereka mirip perbedaan antara serigala dan anjing, atau macan kumbang dan kucing. Homo Sapiens tampak berevolusi seperti anak-anak yang lembut.

Manusia sebagai khalifah

Lalu, dapatkah dinyatakan bahwa Adam adalah Homo Sapiens pertama yang diberi cahaya Tuhan (nur ilahi)? Apakah genus homo lainnya sudah ada di permukaan bumi, sebelum ditiupkan ruh ke dalam diri Adam? Bukankah Hawa juga tercipta dari jenis yang sama, diambil dari tulang rusuk Adam?
Tuhan berfirman, bahwa manusia dipercayakan menjadi “khalifah” di muka bumi, yang akan melestarikan kehidupan dan kemaslahatan makhluk-makhluk Tuhan lainnya.

Bahkan, dinyatakan dalam teks Alquran, bahwa manusia lebih mulia ketimbang makhluk-makhluk Allah yang tercipta lebih dulu, seperti malaikat maupun jin. Lalu, dengan bahasa sebagai alat komunikasi, Tuhan memperkenalkan nama-nama segala sesuatu agar menjadi pelajaran yang tertancap dalam memori dan ingatan. Dalam kaitan ini, para ilmuwan berteori, bahwa perkembangan bahasa manusia merupakan produk sifat sosial Homo Sapiens, yang tak tertandingi oleh genus homo lainnya.

Tapi, bukankah para Neandertal memiliki otak yang lebih besar dari Homo Sapiens? Bukankah mereka yang sepantasnya diangkat selaku khalifah di muka bumi ini?
Rupanya, dalam bersosialisasi dan bekerjasama, Neandertal tidak lebih cerdas ketimbang manusia. Homo Sapiens berkembang-biak dengan cepat, serta hidup dalam kelompok-kelompok yang lebih besar, juga lebih sering melakukan perpindahan dari satu kelompok ke kelompok lainnya.

Penemuan Svante Paabo yang menakjubkan akhir-akhir ini, semakin memperjelas perbedaan genetik yang membedakan manusia yang hidup saat ini, ketimbang hominin yang sudah punah. Ia mengungkap hal-hal mendasar, serta mengeksplorasi kedalaman makna, hingga sampai pada kesimpulan mengapa manusia menjadi makhluk yang paling unik dan menarik. Paabo membuktikan adanya transfer gen dari hominin yang kini punah ke Homo Sapiens, ketika era migrasi besar-besaran keluar dari Afrika sekitar 70 ribu tahun lalu.

Pembahasan teori evolusi menjadi bagian penjelajahan sains yang makin memikat dalam mempelajari manusia dan peradabannya. Teori Paabo, sang peraih nobel itu, kian mementahkan gagasan Dawkins tentang Gen Ego (selfish gene) sebagai pusat evolusi. Diperkuat lagi oleh hasil penelitian dua ahli kognisi Steven Sloman dan Philip Fernbach, yang menulis buku, The Knowledge Illusions: Why We Never Think Alone (2017). Ternyata, gagasan bahwa manusia itu makhluk egois yang bersifat individual, hanyalah mitos belaka.

Menurut mereka, manusia berpikir dalam kelompok-kelompok. Fenomena antropologis yang menunjukkan hal itu membawa Sloman dan Fernbach pada kesimpulan, bahwa manusia lebih unggul daripada makhluk lainnya, serta mampu mengubah dirinya menjadi penguasa planet ini. Hal itu, bukanlah didasarkan rasionalitas individual, akan tetapi karena kecerdasan dan kemampuan mereka dalam memenej dan mengelola komunitas.

Kepunahan yang lainnya

 Lalu, mengapa Homo Sapiens masih eksis, sementara Neandertal sudah punah? Akan menarik jika perdebatan ini dihubungkan dengan rencana kemunculan “dajjal” sebagai makhluk yang berpijak pada kebenaran dan perspektif tunggal, yang disimbolisasi dengan manusia jahat bermata satu. Siapakah dia itu? Apakah dunia keilmuwan mampu menjangkau dan menafsir pernyataan teks-teks agama yang diyakini sebagai “hadits shahih” itu?

Ke mana Neandertal, Denisovan dan segala genus homo lainnya? Sampai saat ini, belum ada bukti-bukti ilmiah bahwa Homo Sapiens telah menghabisi dan memusnahkan mereka karena pertikaian dan pertumpahan darah (yasfiqu addima’i)? Untuk sementara ini, Bregman hanya menjawab, “Belum ada bukti arkeologis yang menguatkan hipotesis itu. Namun, teori yang lebih masuk akal adalah bahwa kita, Homo Sapiens, lebih mampu menghadapi kondisi iklim keras pada zaman es terakhir (115.000-15.000 tahun lalu), karena kita mampu mengembangkan kemampuan bersosialisasi dan bekerjasama.”

Tanpa bekerjasama dengan baik, umat manusia bahkan tak sanggup menghadapi perlawanan makhluk sekecil partikel yang bernama “Corona” yang mengakibatkan Covid-19 di seluruh dunia. Dengan demikian, Bregman mementahkan teori Darwinisme Sosial, yang membanggakan manusia sebagai makhluk kuat dan kempetitif (termasuk di bidang ekonomi dan politik).

Gen Egois yang digagas Dawkins juga hanya berpangku tangan menyaksikan ratusan dan ribuan ambulans yang wara-wiri mengangkuti mayat-mayat korban Covid-19. Apalagi di sekitar pertengahan tahun 2020 lalu, ketika para dokter kelimpungan menangani pasien, sementara obat dan vaksinnya belum diketemukan.

Darwinisme Sosial yang mengarah ke suatu bentuk liberalisme radikal, justru dimanfaatkan kaum politisi dan penguasa modern untuk membenarkan tingkah laku mereka menguasai dan mengeksploitasi manusia lainnya dalam bentuk penjajahan, kolonialisme, fasisme, rasialisme, dan sejenisnya.

Hal itu terjadi karena adanya permakluman atau pelumrahan mengenai pertikaian dan perseteruan antar manusia, hingga kemudian membenarkan tindak peperangan, pertempuran hingga pemusnahan massal (genosida). Permakluman itu pada gilirannya membentuk paradigma dan mindset yang tetap dalam pikiran manusia.
Terkait dengan ini, sepintas bisa saya kutipkan novel Pikiran Orang Indonesia yang ditulis pengarang kelahiran Banten sejak 2014 lalu (bab 7, hal. 36):

Dengan itulah pengalaman hidup saya makin berkembang, bahkan mengajarkan tentang siapa yang pantas saya musuhi dalam hidup ini. Dan seperti yang pernah saya kemukakan bahwa dalam berhubungan dengan manusia tak terlepas dari unsur bahasa, maka dibutuhkan konsep-konsep dan bentuk-bentuk pikiran, atau kategori-kategori yang tetap.

Apa boleh buat saya berpikir dalam struktur dan pola-pola bahasa saya, yang merupakan satu-kesatuan tak terpisahkan dengan corak bahasa yang terbentuk dalam tata peradaban masyarakat kita. Mau tidak mau dibutuhkan adanya bahasa yang tetap untuk menunjukkan siapakah lawan-lawan kita, dan siapakah kawan-kawan kita.

Konsep Darwinisme Sosial bisa menggiring penguasa hingga membenarkan kemenangan harus diraih dengan jalan apa pun, sambil berpegang pada pemikiran bahwa sifat dasar manusia adalah jahat. Inilah yang mendorong World Economic Forum (WEF) 2021 mencetuskan gagasan “Great Reset”, upaya menafsir ulang dan menata kembali kehidupan kita, dengan keharusan mengubah mindset dalam memaknai hakikat kehidupan dunia ini.

Gagasan brillian itu terinspirasi dari pemikiran Bregman yang berdasarkan atas studi sejarah panjang umat manusia. Bahwa manusia sebagai Homo Sapiens, justru memiliki sifat dasar baik, dan keberlangsungan kehidupan manusia bukan dikarenakan kompetisi yang saling menjatuhkan lawan. Bukan karena yang kuat mengalahkan yang lemah, juga bukan karena egoisme yang menutup diri dan bersifat individual.

Namun sessungguhnya, daya tahan keberlangsungan hidup manusia, karena kecerdasan dan kemampuannya bekerjasama, saling berbagi dan mencintai sesamanya.

Persaingan dan kepunahan

Rutger Bregman, intelektual dan sejarawan abad ini, mengungkap penemuan mutakhirnya, bahwa ternyata Neandertal, makhluk purba sebelum Homo Sapiens justru tergolong lebih cerdas, karena memiliki otak lebih besar 15 persen ketimbang otak-otak manusia modern

Tetapi, teori Yuval Noah Harari menampik itu bahwa, justru lantaran manusia modern lebih kuat, cerdas dan berani, mereka mampu memenangkan persaingan dengan genus-genus homo yang sudah punah itu. Namun, seandainya terjadi pertemuan antara Homo Sapiens dengan Neandertal – dalam hipotesis Harari – mungkin akan terjadi pertumpahan darah, hingga pembersihan etnis besar-besaran dalam sepanjang sejarah dunia.

Penemuan Svante Paabo – peraih nobel di bidang kedokteran tahun 2022 ini – telah menyentakkan dunia keilmuwan, ketika ia menjelaskan urutan gen kuno dari kerabat-kerabat kita yang telah punah, ternyata sangat memengaruhi fisiologi manusia masa kini.

Populasi Neandertal tinggal di Eurasia barat, sedangkan Denisovan menghuni bagian timur benua. Selama ekspansi keluar Afrika, Homo Sapiens tidak hanya bertemu tapi juga kawin dengan Neandertal dan Denisovan. Maka, terjadilah transfer gen dari manusia purba ke Homo Sapiens.

Kini, di era milenial dengan gegap-gempita sains dan teknologi, segala persaingan kemegahan duniawi itu telah disinyalir dalam teks-teks Alquran, khususnya pada surat al-Humazah, bahwa ia akan mencelakakan dan “membakar” hati dan jiwa manusia. Teori evolusi Darwin pada akhirnya bermuara dalam konsep pemikiran Herbert Spencer, sang filosof dan pakar sosiologi Inggris, bahwa seleksi alam, kini telah bermutasi dalam persaingan ekonomi, politik dan kebudayaan.

Siapa dan kelompok mana yang terkuat dan tercerdas, merekalah yang akan mengendalikan kekuasaan, dan dengan sendirinya berhak menentukan kebijakan ekonomi dan budaya.

Pendapat Spencer kemudian dikenal dengan konsep “Darwinisme Sosial” yang memaklumkan mereka yang kalah dan gagal terpaksa harus mundur dan menyingkir. Tapi kemudian, seorang profesor biologi Rusia, Alexeyevich Kropotkin (1842-1921), menerbitkan buku Mutual Aid: A Factor of Evolution. Ia memiliki pandangan yang revolusioner, bahwa dalam evolusi itu ada kecenderungan makhluk hidup saling bekerjasama, dan itulah yang justru melahirkan kekuatan-kekuatan yang menguntungkan kedua belah pihak.

Kropotkin menafsir kembali teori evolusi Darwin dan membalikkan asumsi, bahwa sesungguhnya hakikat evolusi manusia sangat ditunjang oleh kemampuan saling menolong, berbagi dan saling melindungi sesamanya. Jadi, bukan karena lebih kuat dan cerdas, hingga Homo Sapiens sanggup bertahan ketimbang makhluk-makhluk purba lainnya. Tetapi, justru karena kemampuannya bekerjasama untuk dapat beradaptasi dengan lingkungan.

Komentar:
Berita Lainnya
Dahlan Iskan
Balik Kucing
Selasa, 22 April 2025
Dahlan Iskan
Mobil Handphone
Senin, 21 April 2025
Dahlan Iskan
Poo Cendana
Kamis, 17 April 2025
Dahlan Iskan
Krisis Bius
Selasa, 15 April 2025
ePaper Edisi 23 April 2025
Berita Populer
03
Urai Kesemrawutan, Uji Coba Satu Arah Di Pisangan

TangselCity | 16 jam yang lalu

05
Lebaran Ketupat Dimeriahkan Ribuan Warga Parigi

TangselCity | 2 hari yang lalu

06
08
Paus Fransiskus Meninggal Dalam Usia 88 Tahun

Internasional | 1 hari yang lalu

10
GROUP RAKYAT MERDEKA
RM ID
Banpos
Satelit