TangselCity

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Dewan Pers SinPo

Debat Kusir Tiada Henti

Oleh: Mu’min Roup
Rabu, 28 Juni 2023 | 07:00 WIB
Ilustrasi
Ilustrasi

GEJALA  paling serius yang banyak diteliti para ahli otak (neurosains) di era milenial ini, adalah fenomena munculnya orang-orang yang berpikir satu arah dan satu perspektif saja. Ketika mereka meyakini sesuatu secara membabi-buta, maka tak ada cara bagi mereka untuk menyampaikan informasi yang membuat mereka bergeser dari keyakinannya. Mereka juga menolak untuk memeriksa kejiwaan mereka, tetapi justru akan menggunakan perangkat apapun, membangun benteng pertahanan diri, serta mengulik informasi apa saja, hanya untuk memperkuat pendapat serta membenarkan diri mereka sendiri.
Tentu saja kita sering menjumpai orang-orang berkepala batu seperti itu. Tiap ketemu, baik di warung kopi (café), kios pangkas rambut, gardu ronda, khususnya di grup-grup medsos, orang semacam itu senangnya berdebat dan bertngkar melulu. Kita boleh mengemukakan argumen berikut fakta-fakta pendukung yang kita miliki, tetapi menghadapi orang yang bebal dan berkepala batu itu, dia takkan mau menggeser keyakinannya sedikit pun. Padahal, tidak sedikit orang-orang meragukan kapasitasnya, termasuk keyakinannya yang cukup aneh, di luar nalar dan akal sehat.

Misalnya, saya mendebati orang yang begitu yakin bahwa di kawah Gunung Bromo terdapat tanda-tanda hari kiamat. Ada lagi berpendapat bahwa orang-orang dari Baduy Dalam (Banten) kelak akan melakukan pemberontakan hingga dari generasi mereka memunculkan sang Imam Mahdi sebagai pemimpin dunia. Kemudian, ada lagi yang berpendapat bahwa Tuhan hanya akan memilih 144 ribu orang sebagai penghuni surga. Di antara para penghuni itu tentu saja – dengan teramat yakin – dia sendiri adalah salah satunya. Lalu, setiap lawan bicaranya dengan mudah dicap sebagai penghuni jahannam.
Dalam keadaan seperti itu, seakan-akan kita sedang berhadapan dengan tembok tebal yang teramat sulit untuk dirobohkan. Secara tidak sadar, orang semacam itu hanya bertumpu pada mekanisme penalaran yang hanya mendukung apa saja yang diyakini sebagai kebenaran. Sementara, kebenaran lain dianggap musykil dan mustahil.
Orang semacam itu akan merasa terganggu dengan adanya informasi yang berseberangan dengan tafsir yang mendukung pernyataannya. Artinya, nalarnya hanya terkoneksi dengan data-data yang hanya mendukung keyakinannya, bahwa apa yang dia percayai adalah yang paling akurat adanya.

Lebih tendensius lagi, orang semacam itu akan mudah meremehkan dan mengabaikan segala pendapat dan kepercayaan pihak lain (liyan). Misalnya, mereka yang berpendapat bahwa Candi Borobudur adalah hasil kreasi Nabi Sulaiman. Para pendukung mereka, jika dasar keyakinannya adalah dalil agama, mereka akan mencari informasi pendukung dari ayat Quran atau hadits Nabi yang ditafsir semaunya, serta menolak informasi dan bukti-bukti ilmiah apapun yang dianggap bertentangan dengan keyakinannya.

Bila mereka membaca paragraf di atas, biasanya mereka menyebarkan informasi lewat medsos kemudian bercuap-cuap dengan teman satu grupnya, lalu menganggap bahwa penulis opini ini termasuk lemah aqidahnya, dengan bukti dalil begini dan begitu dan seterusnya dan sebagainya. Mereka tidak sadar bahwa agama yang mulia ini (Islam) diawali oleh sang pembawa risalah yang berpikir sangat rasional dan ilmiah, serta menolak nalar-nalar emosional dengan cara-cara yang tidak santun dan beradab.
Sebaliknya, citra agama apapun justru akan terpuruk apabila sang pembawa risalah (pendakwah) seenaknya menyampaikan dalil-dalil berdasarkan nalar emosional, apalagi jika dibarengi dengan dusta dan kebohongan yang sulit diterima oleh akal sehat.

Sesungguhnya, setiap ide dan gagasan, bahkan data dan bukti ilmiah apapun, memang menimbulkan perasaan reaktif, baik bersifat positif dan negatif. Ia laiknya suatu “tesis” yang mengandung konsekuensi diterima atau ditolak oleh publik. Maka bersiap-siaplah, sebab ketika kita meluncurkan gagasan ilmiah, tentu akan dianggap ancaman bagi keyakinan mereka. Dari sisi aqidah, mereka yang terlampau kritis menyikapi suatu aliran atau mazhab, akan mati-matian menolak pendapat mazhab lain yang berbeda dengan pendapat mazhabnya.

Mereka akan sibuk mengumpulkan informasi sedapat mungkin, lalu segera menyimpulkan bahwa pendapat itu adalah bid’ah, sekuler atau neolib. Segala kesuksesan dan keberhasilan yang dicapai oleh pihak lain, segera akan dicarikan caranya untuk mendelegitimasi atau mengecilkan informasi perihal keberhasilan itu.
Pada prinsipnya, mereka itu – meminjam istilah Aa Gym – layak dinilai sebagai dobel SMS, yakni senang melihat orang susah, juga susah melihat orang senang. Rasulullah pernah mewanti-wanti umatnya agar berhati-hati dengan kedengkian dan kesombongan, karena ia akan menjadi “batu sandungan” bagi seseorang untuk mencapai pintu surga, betapapun ia seorang ahli ibadah. “Sifat dengki itu bisa menggerogoti kebaikan, bagaikan api yang menghanguskan kayu-kayu bakar,” demikian sabda Nabi Muhammad Saw.

Di sisi lain, sering kita saksikan orang yang berbangga diri dipanggil “haji” atau “syekh” dengan sikap temperamentalnya yang kebangetan, sampai-sampai ia harus menanggung akibat dari sebab yang ia perbuat sendiri.
Tipikal semacam itu, biasanya gemar mengutak-atik kesalahan orang sekecil apapun. Dan pada saat bersamaan, sikap mengecilkan orang itu dalam upayanya untuk menutupi aib dan kesalahannya dirinya yang lebih fatal dan prinsipil. Dalam logika agama, kalau penguasa itu berani membunuh rakyat tanpa sebab yang dipertanggungjawabkan, maka akan mudah baginya untuk melakukan tindak korupsi dan penipuan terhadap rakyatnya sendiri. Artinya, kalau kesalahan besar saja berani ia lakukan, apalagi kesalahan yang berskala kecil dan ringan.

Ada lagi tipikal orang yang berpendapat bahwa segala amal perbuatan manusia adalah kehendak Tuhan belaka. Bahkan, segala sesuatu adalah Tuhan itu sendiri. Setiap sebab maupun akibat adalah tanggungjawab Tuhan. Seakan-akan yang mengetuk pintu adalah Tuhan, termasuk sang tuan rumahnya juga Tuhan. Bahkan pintu dan bunyi ketukan itu sendiri adalah Tuhan juga.
Sedangkan dalam ajaran monotheisme, segala keburukan yang menimpa hidup manusia tak lain akibat ulah perbuatannya sendiri. Dan setiap manusia harus bertanggungjawab atas keburukan yang telah ia lakukan. Meski di sisi lain, Tuhan Maha Pengampun dan Pemaaf, jika manusia mau introspeksi diri atas kesalahan dan kekhilafannya.

“Sawa’un alaihim a’andzartahum amlam tundzirhum la yu’minun.” Demikian ayat Alquran mengingatkan kita. Sama saja bagi mereka, apabila kita beri peringatan ataupun tidak, tetap saja mereka yang keras kepala itu tidak akan mempercayai kebenaran. Segala kegaduhan dan keributan di media sosial menyadarkan kita betapa tidak mudah meluruskan dan mengajak orang di jalan kebaikan dan perdamaian. Tidak mudah bagi kita untuk memenangkan perdebatan, apapun topik permasalahan yang disampaikan.

Oleh karena itu, ketika nalar emosional bangsa ini terlibat terlalu intens selama ini, dapat dimengerti jika penduduk negara berjumlah ratusan juta jiwa ini, merasa kesulitan mencari bibit-bibit unggul, baik di bidang sastra, keilmuwan, bahkan di bidang persepakbolaan yang hanya dibutuhkan sebelas gelintir pemain saja.

Komentar:
GROUP RAKYAT MERDEKA
sinpo
sinpo
sinpo