Egaliterianisme Ka`bah
JAKARTA - Dihadapan Ka’bah, kita semua merasakan seperti satu keluarga besar. Semuanya merasa kembali ke kampung halaman rohani masing-masing. Di sana tidak ada lagi kotak etnik, gender, umur, kewarganegaraan, pimpinan-bawahan, jenderal-prajurit, tuan/nyonya-majikan, Arab-non Arab, Timur-Barat, hitam-putih, pendosa-ahli ibadah, dan lain-lain.
Di halaman Ka’bah, tidak ada lagi atribut sosial, politik, kelas, intelektual, dan jenis kelamin. Bahkan tidak ada lagi atribut spiritual-psikologis. Semuanya merasa sama sebagai “Keluarga Allah”, umat Nabi Muhammad, dan tidak ada lagi atribut “orang lain”. Persis sama yang dikatakan Nabi: “Bagaikan satu anggota badan, jika satu bagian sakit maka yang lain ikut sakit”.
Diharapkan dengan penunaian haji dan atau umrah kita sudah menyimpan memori simbolik berupa suasana batin, yaitu bagaimana rasanya kita hadir dan tersungkur di Baitullah, di depan Ka’bah, seolah-olah kita berada di sebuah alam yang amat lain dengan alam syahadah yang selama ini menyelimuti diri kita.
Sungguh pun di sana kita berdesak-desakan karena begitu padatnya umat Islam, tetapi pada saat yang bersamaan kita juga merasakan kelapangan dada untuk mengerti sekaligus memaafkan semuanya, sungguh pun ada di antara mereka yang betul-betul menyenggol dan menyakiti badan, tetapi terasa tidak ada dendam dan amarah.
Ini menggambarkan, saat orang sedang ber-tawajjuh dengan Tuhannya, semuanya terasa lapang dan tidak ada ganjalan dan sumbatan. Karena itu, sebelum kita menuju ke hadapan Baitullah terlebih dahulu kita menanggalkan simbol-simbol keduniaan dan alam syahadah kita berupa pakaian dan atribut sosial-budaya kita.
Yang tersisa hanya uniform ihram yang melekat di badan berupa kain putih polos. Ini juga melambangkan bahwa siapapun yang ingin mencapai puncak tawajjuh, ia juga harus menanggalkan atribut keduniawian yang menghijab dirinya selama ini.
Sehubungan dengan ini, menarik dihayati lebih dalam firman Allah SWT: “Dan dari mana saja kamu ke luar, maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram; sesungguhnya ketentuan itu benar-benar sesuatu yang hak dari Tuhanmu. Dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kalian kerjakan”. (Q.S. al-Baqarah/2:149).
Semoga para hujjaj semuanya menggapai tujuan (al-hajj), yaitu Haji Mabrur, haji yang dijanjikan dengan surga jannah al-na’im (taman spiritual yang penuh kelezatan).
Haji sebagai arena muktamar umat Islam terbesar di dunia, berkumpul di depan sebuah bagunan hitam bersegi empat, betul-betul menjadi muara, sekaligus pusat gravitasi spiritual yang mengikis habis ego-ego individu dan sosial.
Betapa tidak, semua umat Islam di manapun berada dan apapun status sosialnya, sama-sama harus menghadap ke Kiblat di dalam beribadah, terutama shalat. Bahkan dikatakan tidak sah shalat atau penyembahan seseorang jika tidak mengetahui dan meyakini kiblatnya.
Doa iftitah yang diikrarkan saat memulai shalat kita berikrar dengan menyebut ayat: “Innii wajahtu wajhiya, lilladzii fatharas samaawaati wal ardha, haniifan musliman, wa maa ana minal musyrikiin”. (Sesungguhnya aku menghadapkan wajahku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan. (Q.S. Al-An’am/6:79).
Doa iftitah dan penegasan ayat ini menekankan pentingnya segenap diri kita yang berlapis-lapis ini menghadap (tawajjuh) kepada Allah SWT yang kualitasnya disimbolkan kepada Ka’bah atau Baitullah. (rm.id)
Pos Tangerang | 1 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Pendidikan | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
TangselCity | 21 jam yang lalu
TangselCity | 19 jam yang lalu
TangselCity | 22 jam yang lalu