Pelaku Usaha Gelisah, Takut Kena Imbasnya
JAKARTA - Dunia sedang di ambang resesi. Setelah Sri Lanka, Amerika Serikat (AS) sebagai negara adidaya juga telah mencatatkan inflasi tertinggi dalam 41 tahun terakhir, yakni mencapai 9,1 persen. Para pelaku usaha mulai gelisah dan meminta Pemerintah mewaspadai situasi tersebut.
Wakil Ketua Umum III Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Maritim, Investasi dan Luar Negeri Shinta Widjaja Kamdani mengatakan, inflasi AS bisa berdampak negatif terhadap arus kas dan daya saing industri manufaktur nasional, karena naiknya beban input produksi. Seperti bahan baku penolong impor.
“Kalau perusahaan tidak bisa mengelola kenaikan beban ini, yang terjadi adalah stagnansi atau kontraksi pertumbuhan kinerja sektor manufaktur,” katanya di Jakarta, Jumat (15/7).
Shinta melihat, kondisi tersebut bisa membahayakan potensi pemulihan ekonomi nasional hingga akhir tahun. Karena industri manufaktur berkontribusi terhadap sekitar 30 persen pertumbuhan Gross Domestic Product (GDP).
Bos Sintesa Group ini mengatakan, banyak industri yang sudah kewalahan membendung beban pelemahan nilai tukar, serta kenaikan harga impor. sehingga terlihat pada level confidence PMI (Purchasing Manager’s Index) Manufaktur cenderung turun.
Sekadar informasi, IHS Markit mencatat PMI masih dalam laju ekspansi, meski secara bulanan mengalami penurunan menjadi 50,2 pada Juni 2022. Pada Mei, PMI tercatat 50,8 dan April tercatat 51,9.
Ketua Himpunan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) Budihardjo Iduansjah mengaku, belum ada pengaruh besar dari inflasi dan resesi global.
Budihardjo meminta Pemerintah menjaga inflasi di Indonesia bisa terkendali, dan tetap waspada dengan kondisi yang terjadi saat ini.
“Kita lihat inflasi nggak terlalu tinggi. Inflasi kita masih di bawah 5 persen, jadi masih terjaga. Justru karena dolar AS tinggi, mungkin satu harapan kami perkuat produk lokal. Jadi, supplier beli barang lokal aja,” ujarnya.
Ketua Umum DPD Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (HIPPI) DKI Jakarta Sarman Simanjorang mengatakan, jika terjadi resesi, dikhawatirkan akan berpengaruh pada cadangan devisa. Sebab, terjadi aliran modal asing yang keluar dari Tanah Air dan secara otomatis nilai tukar rupiah semakin lemah.
Selain itu, ekspor dan impor juga akan terganggu. Karena itu, Sarman menyarankan perlu adanya kerja sama antara Pemerintah dan pengusaha dalam mencari pasar ekspor dan impor baru guna menjaga nilai.
“Pemerintah dan pelaku usaha harus gerak cepat untuk menjaga nilai ekspor kita, agar tidak turun drastis. Mengingat sektor ekspor ini memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi kita,” tuturnya. (rm.id)
Olahraga | 1 hari yang lalu
Olahraga | 1 hari yang lalu
Pos Banten | 9 jam yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu