Dosa Dan Kesalahan Kolektif Bangsa
KADANG tanpa kita sadari, kondisi fisik dan tubuh kita saat ini, sehat maupun sakit, sangat terkait erat dengan kondisi jagat makro yang sedang berlangsung di alam semesta ini. Energi makro di jagat raya ini selalu bekerja mencari keseimbangan. Proses ini tidak terlihat secara kasatmata, sehingga faktor ketidakpekaan intuisi – karena kurang melatih olah rasa – banyak orang yang cenderung mengabaikannya.
Jika terjadi kegoncangan atau ketidakteraturan sistem, baik di level pemerintahan desa maupun provinsi, tak terlepas dari kondisi pemerintahan pusat yang harus segera berbenah dan introspeksi diri. Misalnya di suatu tempat terjadi banjir, longsor, atau bahkan wabah penyakit yang memengaruhi struktur sosial-politik dan ekonomi suatu masyarakat. Semua itu tak terlepas dari faktor “utang”, berikut pertanggungjawaban moral kita, agar membayarnya kepada alam semesta.
Jadi, pengertian “utang” di sini lebih bermakna kias maupun simbolik. Dengan demikian, maka Jakarta sebagai pusat kota metropolitan telah mencerminkan suatu perbuatan dan tindakan manusia Indonesia, perihal bagaimana pola hidup yang dijalani dalam menjaga keselarasan diri kita dengan dunia makrokosmos.
Rendahnya kualitas ingatan kita (inertia) – meminjam istilah dari buku Pikiran Orang Indonesia – akan mengandung konsekuensi menumpuknya “dosa kolektif” yang akan dimintai pertanggungjawaban atas ulah perbuatan kita sendiri. Katakanlah, secara pribadi kita bisa selamat dari penyakit, atau berkelit dari kebangkrutan, tetapi toh kita bukan makhluk yang hidup sendirian. Tagihan itu bisa menyasar ke pihak lain yang ada hubungan dengan kita, baik anak, orang tua, istri, suami, saudara-kerabat, bahkan saudara sebangsa dan setanah air.
Berpaling dari kekerabatan dan kedekatan yang ditakdirkan Tuhan kepada kita, berarti kita berurusan dengan tanggung jawab moral yang disuguhkan Sang Pencipta kepada kita selaku makhluk-makhluk ciptaan-Nya.
Secara ekstrim, banyak orang menyebutnya dengan istilah “karma”, yakni suatu kejadian yang akan menimpa seseorang akibat dari perbuatan buruk yang pernah dilakukannya. Sehingga, alam sebagai pihak berpiutang, akan menagih utang energi tersebut dalam bentuk nasib buruk yang dialami warga Jakarta, menyusul warga-warga kota dan daerah lainnya.
Para orang tua (etnis Jawa) seringkali mengeluarkan komentar sederhana bila suatu musibah menimpa seseorang: “Iku mah sing badan dewek.” Musibah itu muncul karena ulah dirinya, boleh jadi karena tidak mau (atau menunda-nunda) bersedekah. Pandangan tersebut jangan sampai diartikan, bahwa musibah yang diderita satu pihak, lalu membuat kita masabodoh dan berpangku-tangan, karena hal tersebut akan membuat diri kita berutang juga pada alam semesta.
Saya ingin perluas pengertian utang kepada alam ini dalam arti yang lebih eksplisit dan konkrit. Misalnya, seorang pejabat tinggi di Jakarta melakukan korupsi, baik korupsi materil maupun moril. Tentu itu akan berimbas pula kepada para pejabat daerah yang seenaknya mengambil barang milik kantor. Itu sama artinya dengan kita yang enak-enakan makan baso, sate atau durian bersama anak-istri, sementara pembantu dan sopir dibiarkan belum sarapan sejak pagi.
Bisa juga majikan terlambat atau menunda gaji dan honor untuk karyawan dan pembantunya. Secara kasatmata tidak mengambil hak orang lain, tapi mereka sebenarnya telah mengorupsi banyak hal, terutama waktu dan kesempatan, yang boleh jadi gaji si pembantu itu buat membiayai anaknya atau ibunya berobat ke dokter.
Pada momen tertentu, seorang koruptor, penipu dan pemakan uang rakyat di wilayah ibukota, sepintas kelihatan sukses dan berprestasi dalam bidang tertentu. Ya, hanya sepintas saja, seakan tidak merasa berdosa cengar-cengir di depan kamera media, baik cetak maupun elektronik. Meskipun, orang yang punya ketajaman intuisi dapat mudah menebak gestur dan karakteristiknya yang rigid dan nelangsa.
Sang koruptor dan penipu tadi – disadari atau tidak – sebenarnya sedang memiliki utang besar kepada alam semesta. Hanya soal waktu saja, pada saatnya nanti energi alam akan mengambil kembali hak miliknya, dalam bentuk terbongkarnya aib dan kesalahan. Boleh jadi ia selamat tidak tertangkap KPK, tetapi alam semesta tak pernah lengah. Ia bisa merenggutnya dari sisi lain yang tak terbayangkan, sampai-sampai ia tak pernah menikmati uang hasil korupsinya.
Dalam buku “What’s the Future and Why It’s Up to Us” karya Tim O’Reilly (2017), ditegaskan bahwa utang yang berlebihan kepada alam semesta, dapat menumpulkan daya nalar dan akal sehat manusia, hingga melemahkan kekuatan pikiran (mind power). Dari perspektif lain, ajaran Islam memberikan garis-garis besar agar manusia berusaha melakukan perubahan (tobat) atas kesalahan yang telah diperbuatnya di masa lalu, kemudian melangkah ke masadepan dengan jujur, terbuka dan penuh optimistis.
Apakah wabah dan pandemi Covid yang menyerang umat manusia di tiap-tiap negara sebagai dampak negatif dari kekhilafan manusia (menumpuknya utang), akan mengantarkan mereka kepada kesadaran dan introspeksi-diri hingga menjadi lebih baik? Ataukah justru melemparkan pertanggungjawaban kepada pihak-pihak lain, yang dampaknya akan lebih mencelakakan bagi dirinya sendiri?
Jawabannya, tentu akan kembali kepada diri kita masing-masing. Sudah sejauhmana keikhlasan dan ketulusan kita sebagai pribadi, sebagai jagat mikro, untuk membayar utang-utang kita sendiri, dengan memulai perubahan dari diri sendiri dan dari hal-hal kecil. Bagaimanapun, kita tak akan lepas dari matarantai yang saling berkaitan, biar kita kasak-kusuk bersembunyi di balik batu karang sekalipun.
Tetapi, Bu Irawaty, bagaimana kami harus membayar utang-utang itu? Bukankah di era medsos ini marak sekali orang-orang yang angkuh dan arogan, selalu merasa dirinya istimewa, dan selalu memiliki kebutuhan ingin dipuji dan dihargai? Bukankah selama ini mereka sering melebih-lebihkan pencapaian dan bakat diri? Bahkan, merasa yakin sebagai seorang yang superior, memiliki fantasi dan imajinasi mengenai popularitas, kekuasaan, kepandaian, kecantikan atau ketampanan?
Selain itu, Bu, banyak juga orang-orang Jakarta hingga daerah-daerah lain yang merasa dirinya pantas diberi perlakuan spesial, juga pintar memanfaatkan jasa orang lain untuk mengeruk keuntungan buat dirinya. Kadang mereka tidak mampu untuk meraba rasa atau menyadari perasaan dan kebutuhan orang lain.
Begini. Dalam soal membayar utang kepada alam semesta ini, sebaiknya kita memakai term “kita” dan bukan “mereka”. Sebab, kita pun bagian dari mereka, dan mereka pun bagian dari kita juga. Sama halnya, ketika kita pernah ikut-ikutan menyebarkan kabar burung atau berita bohong (hoaks), baik skalanya besar maupun kecil. Pernahkah kita berpikir bahwa dengan menyampaikan berita yang tidak valid – sadar atau tidak sadar – akan berimplikasi terus-menerus, dari satu individu ke individu lain, dari lapisan atas ke lapisan bawah, bahkan dari metropolitan Jakarta, hingga pusat-pusat kelas pinggiran.
Pernahkah kita berpikir bahwa apa-apa yang telah kita sampaikan, baik melalui ucapan, tulisan, maupun teladan perbuatan yang kita pertontonkan kepada masyarakat dan orang-orang di sekitar kita, telah terekam ke dalam lauhul mahfudz, yakni catatan amal perbuatan manusia di alam semesta yang ternyata memiliki super komputer yang maha dahsyat kecanggihan daya memorinya?
Sekarang, baiklah, saya akan menjelaskan solusi yang ditawarkan ajaran agama, agar senantiasa kita beritikad keras supaya tidak menambah utang-utang kita kepada alam semesta ini. Mulai saat ini, berhentilah berutang kembali, lalu pada saat bersamaan kita harus membayarnya dengan melakukan kebaikan-kebaikan, sebelum alam semesta mengambil dan merenggut apa-apa yang sudah kita miliki.
Bagaimana mungkin tidak terbuka aib dan kesalahan kita sendiri, manakala kita juga sibuk membuka dan mengorek-ngorek aib dan kekurangan orang lain? Bagaimana mungkin Tuhan mau memaafkan diri kita, sementara kita terus memelihara dengki dan dendam-kesumat kepada orang yang pernah berbuat salah kepada kita?
Tidak ada utang manusia pada alam semesta yang tak terbayar, seperti juga tidak ada dosa besar yang tak terampuni jika manusia bertobat dengan sesungguhnya (taubatan nashuha). Lakukan kebaikan pada sesama dan pada alam semesta. Perbuatan baik terhadap sesama tidak selalu harus berbentuk materi. Banyak sekali bentuk kebaikan yang perlu kita lakukan, misalnya membantu orang yang dalam kesulitan. Bahkan mendoakan orang-orang yang terkena musibah dan bencana, agar mereka mendapat perlindungan dan kasih sayang Tuhan, juga termasuk amal mulia yang dapat menjadi sarana pembayaran utang kita kepada alam semesta.
Sibukkan diri kita untuk mengadakan koneksi dengan Tuhan dan semesta ciptaan-Nya yang maha dahsyat ini, ketimbang sibuk ngurusin remeh-remeh debat kusir para politikus di Jakarta, serta mengais-ngais limbah dan polusi pikiran yang berujung pada fatamorgana dan angan-angan kosong belaka?
Ngapain kursi kekuasaan dikejar-kejar dan diperebutkan, padahal obsesi dan ambisi pada kursi kekuasaan saja sudah merupakan tindakan amoral, tidak beradab, dan tidak berakhlak?
Pancarkan kebaikan dan kasih sayang kepada setiap orang, tak peduli apakah kebaikan kita akan dibalas ataukah tidak. Justru dengan memberi kebaikan kepada orang yang tak mampu membalas kebaikannya kepada kita, akan memancarkan energi positif, yang suatu saat akan dikembalikan oleh energi makrokosmos dalam bentuk kebaikan yang berlipatganda dari alam semesta.
Pada prinsipnya, jika kita ingin ditolong oleh Tuhan, sudahkah kita menolong makhluk-makhluk-Nya? Jika kita ingin dihormati orang, sudahkah kita mampu menghormati orang lain dengan tulus-ikhlas? Jika kita ingin dipentingkan oleh orang, sudahkah kita sanggup menahan ego dan kepentingan diri, untuk mendahulukan kepentingan orang lain? Jika kita ingin sukses dan meraih sesuatu yang kita inginkan, sudahkah kita membuka pintu-pintu maaf, serta membantu orang lain agar meraih apa yang mereka cita-citakan?
Kenapa mental kita belum siap untuk dibenci dan dicaci-maki orang, sementara kita telah melupakan seberapa banyak mengkritik dan mempersalahkan orang, tanpa suatu alasan dan dalil ilmiah? Mengapa kebanyakan kita sulit sekali memberi maaf kepada orang yang telah melakukan kesalahan kepada kita? Bukankah kita sendiri menginginkan agar Tuhan memaafkan dan mengampuni dosa dan kesalahan kita, serta memudahkan urusan dan melapangkan rizki kita?
TangselCity | 1 hari yang lalu
Olahraga | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
Galeri | 2 hari yang lalu
TangselCity | 19 jam yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Pos Tangerang | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Ekonomi Bisnis | 2 hari yang lalu