TangselCity

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Dewan Pers SinPo

Ujian Kesabaran Umat Islam

Oleh: Muhamad Pauji
Sabtu, 02 September 2023 | 07:10 WIB
Ilustrasi
Ilustrasi

UNTUK menguji kualitas kesabaran dan kedewasaan seseorang, mudah dilihat dari reaksi atau respons spontan terhadap suatu kejadian. Dalam hal ini, kaum Yahudi pintar sekali memancing dan menguji kualitas kesabaran manusia di muka bumi ini, apakah ia akan berhasil melewatinya ataukah gagal dalam menyikapi ujian yang dihadapkan kepadanya.

Tersebutlah kisah dalam hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad, seorang pendeta Yahudi, Said bin Sa’nah yang berhasil mengecoh kesabaran Umar bin Khattab, hingga membuatnya jengkel dan naik pitam. Pendeta yang dikenal jenius itu tiba-tiba menagih utang dengan kata-kata kasar kepada Rasulullah yang tengah didampingi Umar, hingga sahabat Nabi itu menghardiknya, “Kenapa kau bersikap seperti itu? Kalau bukan karena rasa hormatku di hadapan Rasulullah, pasti sudah kutebas batang lehermu dengan pedangku!”

Beberapa saat kemudian, Rasul memberikan keterangan kepada Umar perihal utang-piutang tersebut. Bahwa beliau memang pernah ditawarkan utang oleh Said bin Sa’nah, untuk memberikan bantuan pangan kepada salah satu penduduk pedalaman Arab (Baduy) yang mengalami paceklik dan kemarau selama beberapa bulan. Ali bin Abi Thalib mengkhawatirkan mereka kembali ke ajaran nenek-moyang (syirik) apabila keislaman mereka tidak menjamin kecukupan pangan buat kehidupan keluarga mereka. “Mereka menyatakan diri masuk Islam, karena mendengar pernyataan Rasulullah, bahwa di dalam Islam ada jaminan rizki dan pertolongan dari Allah,” kata Sayidina Ali.

Mengingat persediaan pangan di gudang Baitul Mal sangat menipis, Rasulullah tidak menolak tawaran pinjaman dari pendeta Yahudi yang telah mengendus suasana memprihatinkan tersebut. Terkait dengan itu, Rasul menandatangani kesepakatan agar utang-piutang itu dicatat atasnama dirinya, dan bukan atasnama kepala suku dari penduduk Baduy tersebut. Seketika bantuan dikirimkan, dan para penduduk merasa bersyukur atas pertolongan dan kasih sayang Allah yang dilimpahkan bagi kebutuhan hidup mereka.

“Karena itu, Wahai Umar,” tegur Rasulullah, “Bukanlah etika yang baik bila kita bersikap marah kepada pihak yang berpiutang untuk kita. Yang benar adalah, kita harus bersikap santun bila ditagih utang, meski demikian pihak yang berpiutang juga harus menagih utang dengan cara-cara yang baik.”

Akhirnya, Rasulullah mengutus Umar dan beberapa sahabat untuk mengirimkan pembayaran utang yang sebetulnya masih belum jatuh tempo tersebut. Rasul menambahkan sebanyak 20 Sha’ (1 Sha’ sama dengan 3 liter lebih) untuk meredam amarah dari pihak yang berpiutang. Sampai kemudian Said bin Sa’nah bertanya, “Untuk apakah yang 20 Sha’ ini, wahai Umar?”

“Salam dari Rasul bahwa beliau menambahkan 20 Sha’ agar Tuan tidak marah lagi.”

Seketika itu, Said bin Sa’nah menjelaskan pada Umar bin Khattab tentang siapakah dirinya. Pendeta Yahudi itu sudah lama menyelidiki seluk-beluk tentang sosok Nabi akhir zaman yang diberitakan dalam Kitab Taurat. Selama ini ia sudah banyak memperoleh pembuktian mengenai kebenaran Muhammad. Tinggal satu hal yang ingin dibuktikannya mengenai keagungan akhlak dan kesabaran beliau (akhlaqul-adzimah). Bagaimanakah seorang Rasul mampu menyikapi amarah dan kedengkian dengan cara-cara sabar dan santun, seperti yang telah ditunjukkan oleh Rasulullah di hadapannya.

“Oleh karena itu, Wahai Umar, saat ini juga saya bersaksi di hadapan Anda, tidak ada tuhan selain Allah, dan Muhammad benar-benar seorang Rasulullah!”

Provokasi dan Kesabaran

Dalam kamus John Echols dan Hassan Syadily, pengertian provokasi (provocation) adalah penghasutan atau pancingan. Dapat diartikan pula sebagai ‘tindakan’ yang muncul karena dihasut atau digertak-gertak. Seringkali aksi-aksi provokasi dipakai untuk menguji kualitas kesabaran seseorang. Meski demikian, terlepas apakah suatu kejadian asli atau dibuat-buat, kita tetap harus mampu menyikapinya dengan penuh kesabaran. Itulah yang harus menjadi pegangan utama, bila kita ingin meraih ridho Allah Swt. Adapun persoalan menang atau kalah, itu adalah soal lain, karenanya kita mengenal adagium bahwa menang dalam pertempuran (sesaat) belum identik dikatakan menang dalam peperangan yang bermakna abadi.

Selain gambaran sikap Rasulullah dalam menyikapi aksi-aksi provokasi di atas, saya akan menguraikan beberapa hal menyangkut nasib kaum muslimin di Eropa, lebih tepatnya Prancis, suatu negeri yang dikenal dengan dakwah-dakwah liberalisme dan kebebasan berekspresi.

“Saat ini kita semua menyadari adanya diskriminasi. Berapa banyak lamaran pekerjaan, curriculum vitae, yang dilempar ke keranjang sampah hanya karena namanya atau agamanya.” Inilah pengakuan dari Jacques Chirac, mantan presiden Prancis, setelah adanya aksi kerusuhan massal di Kota Paris (2005) yang membuat 2.888 orang ditangkap aparat, serta kerugian mencapai 200 juta euro. Tak berapa lama, prasangka rasial yang memicu tindakan diskriminatif muncul lagi, disebabkan dua pemuda muslim tewas karena motornya bertabrakan dengan mobil polisi. Seketika mereka menganggap bahwa polisi Prancis sengaja menabrakkan mobilnya kepada kedua pengendara motor tersebut hingga tewas.

Di tahun 2009 lalu, pihak kepolisian mengumumkan adanya seorang pemuda Aljazair yang meninggal di dalam penjara. Kabar itu menyulut emosi umat Islam seakan-akan ada pihak yang membunuhnya, dan bukan karena bunuh diri. Para demonstran tidak mempercayai keterangan polisi, hingga mereka menyerbu Bastille, dan terjadilah penangkapan terhadap 240 demonstran.

Sehubungan dengan berbagai insiden, masyarakat muslim layak merasa dirinya diperlakukan secara tidak manusiawi di negeri yang memproklamirkan diri penganut ideologi liberalisme itu. Terlebih setelah terjadi peristiwa penembakan terhadap 12 jurnalis dan staf redaksi majalah Charlie Hebdo dua tahun lalu, yang justru membuat polemik semakin meruncing. Umat Islam kian terpojok, bahkan orang-orang yang tinggal di sudut-sudut Paris terang-terangan memasang stiker dan spanduk di kediaman mereka, menyatakan dirinya sebagai “penganut Charlie”.

Apa yang digambarkan dalam majalah tersebut – meskipun dalam bentuk kartun Nabi Muhammad – tak lain merupakan ejekan dan hinaan terhadap minoritas muslim yang ada di negeri itu. Dari perspektif lain, boleh jadi merupakan pancingan dan provokasi terhadap sikap dan prilaku kaum muslimin di seluruh dunia. Di balik kejadian itu, kita semua mesti menyadari bahwa setiap tindakan provokasi tentu mengandung motif dan sasaran yang ingin dicapai. (baca: “Ketika Peta Politik berubah”, Republika, 12 Januari 2018).

Sabar dalam Pertandingan

 Di era tahun 1970 hingga 1980-an kita mengenal petinju legendaris dunia bernama Muhammad Ali. Lelaki muslim itu dikenal jenius dan cerdas, dan karenanya gemar memancing amarah bagi lawan-lawannya hingga tersulut emosi. Sebelum pertandingan dimulai di arena tinju, Ali memiliki kebiasaan memanas-manasi lawannya. Sasaran yang ingin dicapainya agar sang lawan jengkel, marah, sampai-sampai lupa pada teknik bertinju. Nah, ketika sang lawan dalam keadaan panas dan kalap, urusan di arena tinju menjadi mudah bagi Ali, karena sang lawan akan menjelma sebagai petarung jalanan yang mudah dijatuhkan.

Melalui kanal Youtube, kita bisa saksikan bagaimana George Foreman, sang juara dunia saat itu, dipanas-panasi oleh Ali dengan kata-kata: ”Kenapa kau lembek sekali, Foreman? Jangan memukul seperti banci dong!”. Di atas ring, sengaja Ali mengabaikan strategi bertinju yang diajarkan pelatihnya. Ia mempraktikkan strateginya sendiri dengan membiarkan Foreman marah, menghajar Ali dengan membabi-buta, sementara dia hanya melindungi diri dengan double cover. Wasit memperingatkan Ali agar tutup mulut, atau didiskualifikasi agar keluar dari arena tinju.

Muhammad Ali justru membalas, ”Aku hanya memberitahu Foreman agar dia menjadi petinju yang baik, kenapa kau melarangku?” katanya kepada wasit.

George Foreman, juara dunia petinju kelas berat yang paling ditakuti petinju manapun di dunia itu, akhirnya berhasil dijatuhkan Ali pada ronde yang ke-8. Padahal Foreman telah mengambil gelar juara dunia dari Joe Frazier (1973), dan pada tahun-tahun sebelumnya Ali sendiri pernah dikalahkan oleh Joe Frazier dalam pertarungan 15 ronde. Tetapi, di luar dugaan para pakar dan pengamat olahraga pada zaman itu, dengan caranya sendiri Ali berhasil merobohkan Foreman yang membuat mata dunia terbelalak kaget atas kemenangan seorang lelaki muslim dalam arena tinju kelas berat dunia.

Pada prinsipnya, apa yang dilakukan Ali bisa dibenarkan karena menyangkut dunia pertandingan yang notabene adalah permainan (game). Akan tetapi, bila aksi provokasi tersebut dilakukan umat Islam dalam kehidupan nyata, untuk memancing rasa dendam dan amarah dari pihak lain – baik Yahudi, Nasrani atau agama apapun – tentu saja tidak bisa dibenarkan, dan tidak pernah menjadi teladan yang diajarkan dalam kehidupan Rasulullah.

Di dalam Alquran, Allah memperingatkan hamba-hamba-Nya agar jangan menghina tuhannya orang-orang musyrikin. Karena mereka akan menghina dan mencaci-maki Allah secara berlebihan. Hendaknya kita mengakui setiap insan sebagai saudara-saudara dalam kemanusiaan. Meskipun kita berbeda dalam agama, bahkan berbeda dalam iman, tetapi tetap kita harus mengakui keberadaan mereka sebagai mahluk-makhluk ciptaan Allah juga.

Komentar:
Berita Lainnya
Dahlan Iskan
Arus Kuat
Jumat, 20 September 2024
Foto : Ist
Jangan Potong Anggaran Bansos
Sabtu, 14 September 2024
Prof. Dr. Muhadam Labolo
Arah Pembangunan Pemerintahan
Jumat, 13 September 2024
Dahlan Iskan
Machmud Algae
Kamis, 12 September 2024
Dahlan Iskan
Suami Batak
Rabu, 11 September 2024
Dahlan Iskan
Disway Malang
Selasa, 10 September 2024
GROUP RAKYAT MERDEKA
sinpo
sinpo
sinpo