Bicara Krisis Energi, Krisis Pangan Dan Krisis Ekonomi
Jokowi Tidak Nakut-nakutin
BOGOR - Presiden Jokowi menyampaikan sejumlah tantangan krisis saat berpidato di hadapan civitas akademika Institut Pertanian Bogor (IPB), Bogor, kemarin. Mulai dari krisis energi, pangan, sampai ekonomi. Mantan Wali Kota Solo itu mengatakan, apa yang disampaikannya ini, meski terdengar mengkhawatirkan, tapi bukan untuk menakut-nakuti.
Pidato tersebut disampaikan Jokowi pada acara Sidang Terbuka Dies Natalis ke-60 IPB di Kampus IPB Dramaga.
Jokowi dan rombongan tiba di Gedung Graha Widya Wisuda (GGW) IPB, sekitar pukul 8.30 pagi. Eks Gubernur DKI Jakarta itu tampil resmi dengan setelan jas warna hitam lengkap dengan dasi biru dongker. Pin Presiden tersemat di dada kirinya.
Kehadiran Jokowi dan rombongan disambut hangat oleh Rektor IPB Arif Satria. Arif lalu mengajak Jokowi berkeliling melihat produk inovasi yang dihasilkan IPB. Ada benih cabai yang pedas dengan ukuran besar, berbagai jenis padi, sorgum, serta teknologi pengolahan pangan hasil penelitian para peniliti IPB.
Arif menyampaikan, berbagai inovasi ini dilakukan untuk memenuhi pangan agar Indonesia bisa mengurangi ketergantungan impor. Setelah itu, Arif mengajak, Jokowi masuk ke dalam gedung disambut tepuk tangan hadirin.
Setelah pembukaan, Jokowi naik ke atas mimbar untuk menyampaikan orasi ilmiahnya. Jokowi mengawali pidato dengan menyampaikan selamat atas dies natalis IPB yang ke-60. Kepala Negara juga mengapresiasi inovasi produk-produk pertanian yang dihasilkan IPB dan sudah dikemas dan mendukung program hilirisasi pemerintah.
"Ada macam-macam (produk pertanian) dengan kemasan-kemasan yang sudah sangat modern, dengan brand yang sangat kelihatan sekali digarap dengan sentuhan marketing yang sangat bagus," puji Jokowi.
Jokowi lalu menceritakan berbagai tantangan yang dihadapi dunia saat ini. Mulai dari krisis energi, pangan, dan ekonomi, disrupsi teknologi, hingga tantangan geopolitik. Jokowi menceritakan, setiap ia berbicara soal berbagai krisis tersebut, banyak pihak yang menganggapnya khawatir berlebihan dan hanya untuk menakut-nakuti.
Jokowi menegaskan, apa yang disampaikannya bukan untuk menakut-nakuti. Ia mengatakan, menceritakan tantangan itu agar kita bersiap.
"Saya lebih senang, kita tahu tantangan ke depan, kita paham sulitnya apa. Sebab itu kita lakukan ini, solusinya begini," kata Jokowi.
Kepala Negara lalu memberikan contoh ancaman krisis pangan yang menurutnya relevan dengan IPB. Kata dia, ancaman krisis pangan bisa terjadi lantaran jumlah penduduk dunia yang semakin meningkat, sehingga mengerek pula kebutuhan pangan. Ditambah saat ini adan ancaman super El Nino yang membuat produksi pangan juga berkurang.
Di saat yang sama kondisi geopolitik yang memanas akibat perang Rusia-Ukraina yang membuat membuat pasokan pangan seperti gandum juga terbatas. Akibatnya harga gandum pun melonjak.
Komoditas beras pun begitu. Kata dia, Saat ini ada 19 negara yang membatasi ekspor pangan guna menyelamatkan rakyatnya sendiri, seperti India. Akibatnya harga beras naik di seluruh dunia, juga membuat banyak negara kesulitan mencari impor beras.
Kita mau memperbesar cadangan strategis beras mau impor barangnya sulit didapatkan. Tidak seperti dulu, kita disodori pak ini dibeli. Sekarang mencari beras sangat sulit karena (negara-negara) ingin menyelamatkan rakyat sendiri-sendiri," paparnya.
Jokowi pun menaruh harapan besar kepada IPB untuk melakukan inovasi dalam bidang pangan.“Nah, ini tugasnya IPB, Pak Rektor. Urusan pangan ini sudah, serahkan ke IPB. Insya allah rampung. Saya tunggu antisipasi, rencana dan pelaksanaannya harus seperti apa,” ungkapnya.
Lebih jauh, Jokowi setuju dengan konsep agromaritim yang inklusif dan berkelanjutan atau sustainable and inclusive agromaritime yang dikembangkan oleh IPB. Menurutnya, konsep tersebut bisa menjadi bagian penting dalam inovasi ekosistem pangan Indonesia. Namun, kata Jokowi, upaya tersebut tidak bisa diselesaikan oleh satu disiplin ilmu saja, tapi harus interdisipliner, dan bahkan transdisiplin ilmu.
Karena itu, Jokowi menyambut baik perluasan disiplin ilmu di IPB karena memang diperlukan multidisiplin ilmu untuk mengembangkan ekosistem pangan Indonesia. Mulai dari manajemen dan pendekatan sosial, intervensi teknologi, sel stem, kecerdasan buatan (AI), big data, sistem robotik, dan sebagainya.
“Jangan alergi dengan teknologi. Jangan takut dengan mesin cerdas. Semua harus dibicarakan. Artinya memang kita harus mengantisipasi dan bersiap diri. Sekali lagi, jangan takut dengan mesin cerdas," cetusnya.
Usai menyampaikan pidato soal ancaman krisis pangan, energi, dan ekonomi di IPB, siangnya Jokowi memanggil mantan Menteri Pertanian Amran Sulaiman di Istana. Jokowi dan Amran bertemu empat mata setelah salat Jumat di Istana Negara, selama satu jam lebih.
Apa yang dibahas? Amran menceritakan pertemuan dengan Jokowi itu membahas perekonomian nasional saat ini termasuk dengan ancaman krisis pangan, dan energi. Ia menepis pertemuan terkait dengan politik.
Amran mengaku, mendapat wejangan dan arahan dari Presiden terkait program hilirisasi yang saat ini memang menjadi konsen Pemerintah dalam rangka mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Terlebih, kata dia, saat ini pemerintah memberikan perhatian khusus untuk pembangunan di kawasan timur Indonesia. Menurut dia, hilirisasi ini adalah antisipasi dan solusi pemerintah menghadapi ancaman krisis.
"Pak Presiden sangat yakin, kawasan timur Indonesia ini dapat menjadi epicentrum baru karena kekayaan alamnya yang luar biasa," ungkapnya.
Karena itu, bos PT Tiran Group ini menilai, niat Jokowi untuk mendukung hilirisasi di kawasan timur patut didukung oleh semua pihak. Sebab hilirisasi ini merupakan kebijakan yang tepat dan sangat nyata dalam mendorong peningkatan nilai tambah dan daya saing negara yang pada akhirnya mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi nasional.
"Kawasan timur ini kan kaya dengan nikel, emas, besi, logam dan kekayaan mineral lainnya. Bayangin nikel kita saja itu, 52 persen kekayaan yang ada di dunia, ada di Indonesia," ujarnya.
Sementara, Pengamat Ekonomi Universitas Indonesia (UI), Fithra Faisal mengatakan, ancaman krisis global memang di depan mata. Karena itu, Indonesia harus bersiap melakukan antisipasi dan mencari solusi. Fithra berharap, kebijakan hilirisasi yang digencarkan pemerintah mampu menghasilkan nilai tambah dari sisi produksi sehingga memiliki nilai lebih.
Fithra menyatakan, untuk menghadapi ancaman krisis itu pemerintah perlu meningkatkan kontribusi manufaktur terhadap produk domestik bruto (PDB). Saat ini kontribusi manufaktur masih sebesar 19 persen per tahun, sementara untuk keluar dari negara berpendapatan menengah capaian minimal adalah 25 persen dari PDB.
"Kalau ini bisa tercapai, Indonesia bisa capai target pertumbuhan ekonomi minimal 6 persen per tahun yang merupakan angka rata-rata minimum yang dibutuhkan keluar dari jebakan negara pendapatan menengah. Untuk itu maka kita industrialisasi, dan hilirisasi adalah bagian dari itu,” pungkasnya.
Pos Tangerang | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Nasional | 1 hari yang lalu