Meski Terganjal Anggaran
Kerja Sama RI-Korsel Bikin Pesawat KF-21 Masih Jalan
JAKARTA - Pemerintah melalui Kementerian Pertahanan (Kemhan) memastikan ingin melanjutkan kerja sama dengan Korea Selatan (Korsel) memproduksi pesawat tempur KF-21 Boramae. Oleh karena itu, Indonesia akan menyiapkan anggaran Rp 1,5 triliun pada tahun depan.
Kemhan menilai, kerja sama di bidang pertahanan dengan Korsel penting untuk memenuhi kebutuhan alat utama sistem persenjataan (alutsista) dan menghidupkan industri pertahanan dalam negeri. Hal tersebut disampaikan Direktur Teknologi dan Industri Pertahanan Kemhan Marsekal Pertama Dedy Laksmono saat menjadi pembicara dalam lokakarya bertajuk, "Advancing Indonesia and South Korea’s Defence Industry" Collaboration, di Jakarta, Jumat (27/10).
Hadir sebagai narasumber dalam lokakarya itu, Chief Representative Officer Korea Aeorospace Industries (KAI) Indonesia Office, Woo Bong Lee. Lokakarya ini digelar oleh Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) dan Korea Foundation.
Dedy menjelaskan, program kerja sama Indonesia dan Korsel dalam pembangunan pesawat FX-21 merupakan kerja sama penting dan strategis. Harapannya program ini dapat memenuhi kebutuhan alutsista.
“Indonesia bisa mandiri dan tidak lagi ketergantungan pada negara lain,” katanya.
Pemerintah menilai, kerja sama ini saling menguntungkan kedua negara. Pasalnya akan ada komitmen untuk transfer teknologi (transfer of technology/ToT). Melalui kerja sama ini, kedua negara akan memproduksi 120 unit jet tempur untuk Korsel dan 48 jet tempur untuk Indonesia.
Deddy menambahkan, program ini juga diharapkan menghidupkan industri pertahanan dalam negeri. Sebagai contoh, dalam program ini nantinya akan ada beberapa komponen, seperti sayap pesawat, yang akan dibuat di Indonesia. Jadi setiap pembuatan KF-21 di dunia, sayap pesawatnya akan dibuat di Indonesia. Melalui kerja sama ini juga kan ada pembangunan beberapa fasilitas di PT Dirgantara Indonesia (DI) seperti hanggar, dan alat operasional.
Artinya industri dalam negeri kita bisa hidup. Kalau tidak, lulusan Teknik Penerbangan dari ITB (Institute Teknologi Bandung), ITS (Institute Teknologi Surabaya) atau kampus lain ada potensi diserap sama Qatar dan Uni Emirat Arab,” kata Dedy.
Untuk diketahui, kerja sama yang dimulai pada 2009 sedang menghadapi tantangan. Salah satunya adalah mandeknya pembayaran komitmen share Indonesia.
Dalam komitmen awal, proyek senilai Rp 100 triliun ini ditanggung tiga pihak. Indonesia menanggung 20 persen, Korsel 60 persen, dan perusahaan pembuat pesawat Korea Aerospace Industries (KAI) menanggung 20 persen. Saat ini, Indonesia masih punya tanggungan sebesar Rp14,6 triliun sampai 2026.
Mengenai hal tersebut, Dedy menyampaikan Pemerintah memang belum bisa memenuhi kewajiban tersebut. Namun, Pemerintah berkomitmen kuat untuk melanjutkan kerja sama. Pembayaran tanggungan sangat tergantung dengan APBN.
“Tapi komitmen kita untuk kerja sama itu tetap harus dilanjutkan, karena ini program negara,” tegasnya.
Sebagai bentuk komitmen tersebut, Dedy mengatakan Kemhan mengalokasikan sekitar Rp1,5 triliun pada 2024. Angka tersebut tentu tak cukup dan tak sesuai dengan harapan Korsel. Dedy mengatakan, pihaknya sebenarnya sudah mengusulkan untuk mendapat tambahan anggaran. Namun, tidak mendapat lampu hijau dari Kementerian Keuangan.
Karena itu, Pemerintah masih terus bernegosiasi untuk mencari solusi dari masalah ini. Sementara itu, Chief Representative Officer KAI Indonesia Office Woo Bong Lee mengatakan, pihaknya masih wait and see. Ia berharap ada solusi terbaik dalam persoalan ini.
“Kami berharap Pemerintah Indonesia dan Korea terus mendiskusikan masalah ini untuk mencari solusi terbaik,” harapnya.
Pos Tangerang | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Nasional | 22 jam yang lalu
Nasional | 1 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu