Soal Nyamuk Ber-Wolbachia Untuk Penanganan DBD, Prof. Tjandra Usulkan 3 Hal Ini
SERPONG - Direktur Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) periode 2018-2020, Prof. Tjandra Yoga Aditama menanggapi maraknya pemberitaan soal nyamuk ber-wolbachia yang banyak digunakan untuk menangani penyakit demam berdarah dengue (DBD).
Dia menyampaikan beberapa hal penting terkait WHO dan usulan penelitian mendatang.
Pertama, pada tahun 2020, tim Advisor yang ditunjuk WHO (Vector Control Advisory Group/VCAG) menyatakan, pengendalian vektor nyamuk Aedes aegypty dengan pendekatan wolbachia, terbukti mempunyai nilai kesehatan masyarakat (public health value) untuk menangani dengue. Antara lain, berdasarkan penelitian randomized case control trial - RCT yang dilakukan di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Kedua, perlu diketahui, Vector Control Advisory Group VCAG adalah Tim pakar yang dibentuk WHO. Tugasnya, memberi masukan kepada WHO.
"Jadi, VCAG bukanlah penentu kebijakan WHO secara langsung. VCAG bertugas melakukan kajian secara ilmiah mendalam, dan memberi masukan serta mendukung WHO dalam formulasi programnya," kata Prof. Tjandra dalam keterangannya, Minggu (3/12/2023).
Ketiga, pada tahun 2020, tim Advisor VCAG merekomendasikan WHO menginisiasi proses pembentukan guideline untuk memformulasi rekomendasi penggunaannya, pada pengendalian dengue.
"Jadi, memang belum disebutkan tentang penerapan langsung saat ini. Hal ini tergambar juga dalam laman WHO tentang dengue terbaru tahun 2023. Pendekatan wolbachia, belum secara eksplisit disebut dalam program penanggulangan resmi WHO saat ini," jelas Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI/Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI).
Dengan latar belakang seperti itu, Prof. Tjandra mengusulkan tiga hal terkait penggunaan nyamuk ber-wolbachia. Berikut rinciannya:
Sosialisasi ke masyarakat harus dibenahi maksimal, agar penolakan dan resistensi masyarakat dapat dikendalikan dengan baik.
"Ini sangat penting dan merupakan suatu hal utama dalam kesuksesan program, kalau memang ingin dijalankan," ujar Prof. Tjandra, yang juga mantan Dirjen Pengendalian Penyakit dan eks Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan.
2. Aspek logistik terkait pengadaan nyamuk ber-wolbachia dalam jumlah besar, perlu diantisipasi sejak dini. Jika tidak, hasilnya tidak akan optimal.
3. Perlu dilakukan penelitian jangka panjang, antara lain tentang dampak paparan wolbachia yang relatif homolog pada ekologi dan epidemiologi, yang kenyatannya ada di alam. Sesuai publikasi di jurnal ilmiah internasional Lancet edisi Oktober 2023, tentang pisau bermata dua pendekatan nyamuk berwolbachia.
Prof. Tjandra yang juga penerima Rakyat Merdeka Award 2002 Bidang Edukasi dan Literasi Kesehatan Masyarakat menuturkan, pendekatan wolbachia memang terbukti memiliki nilai kesehatan masyarakat, yang bermanfaat dalam pengendalian dengue.
Namun, menurutnya, kita harus menyadari dua catatan penting. Pertama, pendekatan nyamuk bet-wolbachia bukanlah silver bullet dalam pengendalian dengue.
Hal ini juga disampaikan Badan Pengendalian Lingkungan (National Environmental Agency) Singapura beberapa waktu yang lalu.
Kedua, pengendalian dengue dengan nyamuk ber-wolbachia tidak dapat dilakukan sendiri. Harus bersama program pengendalian vektor yang lain, dalam koridor bersama yang tercakup dalam (integrated vector management/IVM).
Hal ini disampaikan juga oleh WHO Amerika, dalam publikasinya pada Agustus 2023.
TangselCity | 2 hari yang lalu
Pos Tangerang | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
Pos Tangerang | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu