TangselCity

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Dewan Pers SinPo

Banalitas Kekuasaan Praktik Memonopoli Penegak Hukum

Oleh: Aris Munandar
Sabtu, 20 Januari 2024 | 07:00 WIB
Ilustrasi
Ilustrasi

SERPONG - Setiap kita mengembara dalam dunia hukum, akan segera terasa berada dan menghadapi suatu kemelut permanen. Di satu sisi, kita merasa “aman” dan “pasti” menghadapi Asas, Doktrin, dan Peraturan-peraturan yang sedikit banyak begitu jelas, rigit, dan sistematis. Namun pada sisi lain, kita akan segera bimbang manakala menyentuh persoalan relevansi atau signifikansi sosial dari sekalian tatanan normatif itu. Apakah “skema-skema normatif” tersebut cukup representatif menggambarkan realitas manusia yang hendak diaturnya?

Kemelut ini pun berlanjut dalam wacana keilmuan hukum. Yakni pilihan untuk menghasilkan pemikiran yang secara normatif cukup logis dan sistematis dengan risiko bahwa korespondensi tentang kebenaran terdesak ke pojok yang samar. Atau pilihan menghasilkan yang secara faktual cukup valid dan teruji dengan risiko berbenturan dengan “skema-skema normatif” yang ada dalam rumusan-rumusan hukum. Tes terhadap pemikiran yang pertama, dilakukan berdasarkan konsistensi logikal antara asas, doktrin, dan aturan. Di sini, persoalan konsistensi internal antara asas, doktrin, dan aturan hukum, lebih utama daripada persoalan korespondensi dan fungsionalnya. Sedangkan tes terhadap pemikiran kedua, dilakukan melalui pengujian korespondensi dan validitas pemikiran tersebut dengan realitas. Di sini, “skema-skema normatif” diuji kesahihannya di hadapan realitas.

Banalitas Kekuasaan sering kali mengetuk hati, praktik-praktik yang cenderung mencekik batin dan nurani Masyarakat, problem birokrasi yang terus-menerus dibenahi. Sumbatan komunikasi dan implementasi kebijakan publik seringkali nampak sebagai akibat hirarki otoritas dan aturan formal-rinci sehingga nampak kaku betapapun kualitas perencanaan yang telah ditetapkan.

Kekakuannya itu dapat disimak dari persepsi masyarakat terhadap kebijakan publik yang cenderung melupakan unsur kemanusiaan. Seperti urgensi yang mesti dilaksanakan cepat agar tidak menghambat pelaksanaan kebijakan ketika diterapkan di lapangan nyata.

Belum lagi persepsi publik mengenai faksi biokrat lama di tubuh institusi negara yang anti-perubahan siapapun pimpinan di Kementrian/Lembaga Negara. Menteri dan Dirjen boleh saja silih-berganti datang-pergi di setiap periodik. Tapi mereka yang sudah puluhan tahun bekerja di K/L dinilai tetap menguasai jeroan yang ada dalam biokrasi.

Mereka selalu dicurigai bermain proyek. Menjadi perantara yang baik dalam mengakomudasi kepentingan politik dan bisnis kelompok spesial kepentingan kebijakan-disebut sebagai SIG: special interest group. Baik SIG politik maupun bisnis, rantainya oligarki.

Persepsi tersebut semakin mendapat pembenaran manakala ada satu di antara jutaan biokrat dipanggil KPK untuk menjadi saksi sejumlah kasus korupsi. Apalagi ditetapkan sebagai tersangka. Laporan tahunan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) memberikan ponten merah (disclaimer) ditanggapi bukti penyimpangan keseluruhan unsur dalam biokrat. Betul-betul over generalisir.

Bila `diserbu` badai kritik golongan masyarakat dalam polarisasi partisan politik praktis-tepatnya cibiran dan bahkan penghinaan-ditanggapi secara beragam. Keberagamannya juga terbelah menjadi dua irisan besar: reaktif dan responsif. Dalam kasus Arteria Dahlan misalnya. Bagi kelompok reaktif, harga diri dikedepankan.

Kelompok ini mengutuk dan mengecam dengan kadar masing-masing. Tapi tak sedikit pula yang menarik ke ranah hukum, baik hukum sosial maupun hukum positif. Bagi kelompok responsif, sikap Arteria yang sedemikian tak senonoh memang sulit diterima. Dan untuk itu mereka memberlakukan sanksi sosial. Bentuknya: himbauan kepada masyarakat agar tidak memilih lagi yang bersangkutan dalam Pemilu Legislatif yang akan datang.

Kembali pada hakikat negara dan bangsa. Baik aparatur negara sebagai pelaksana mandat rakyat di segala cabang kekuasaannya maupun rakyat sebagai pemberi mandat, sama-sama bekerja dalam koridor hak dan kewajiban masing-masing. Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 menegaskan bahwa kedaulatan Negara Indonesia berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD. Namun saat ini nilai-nilai kedaulatan tersebut justru terdistorsi oleh praktek Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Negara lebih merefleksikan kepentingan partai politik maupun para pemodal sehingga hasil produk undang-undang yang dihasilkan cenderung tidak pro terhadap rakyat.

Nilai-nilai Demokrasi dalam berbangsa dan bernegara di Indonesia dinodai oleh politik oligarki dan nepotisme. “Bahwasanya saat ini banyak pejabat yang lahir dari proses birokrasi yang liberal, celakanya demokrasi liberal yang transaksional sehingga justru menghasilkan monster kekuasaan”. Praktisi Hukum, Junaidi Albab Setiawan, SH., menyampaikan bahwa kedaulatan bangsa Indonesia saat ini sangat mudah untuk dikontrol oleh para pemodal yang cenderung ingin membeli negeri ini. “Banyak pemodal yang membiayai kendaraan politik di Indonesia, sehingga negeri ini justru dengan mudah dikontrol oleh mereka. Apakah kita hanya mau jadi penonton atau penikmat saja, karena itu menjadi refleksi bagi kita”.

Gangguan serius polarisasi politik identitas golongan dan proxy politik menuntut kebijaksaan tiap unsur pimpinan negara dan pimpinan golongan masyarakat. Namun sejauh mengenai kebijaksaan unsur pimpinan negara, tantangannya tidak ringan, tapi mesti dilaksanakan agar tercipta kepercayaan dalam masyarakat. Bila diklusterkan, tantangan tersebut berpulang pada perwujudan good and clean governance.

Para tiran yang tampil adalah mereka yang mensekularisasikan filsafat yang memberikan hak pada mereka untuk berbuat kejahatan, penindasan, perampasan hak. Hal ini sudah di ramalkan oleh Nietzsche, perkembangan ketika ia mendiskusikan filsafat Hegel, seorang yang mempunyai orisinalitas, menurutnya, konsisten dalam penemuan paham panteisme di mana menurut paham ini adalah kejahatan, kesalahan dan penderitaan tak bisa lagi dipakai sebagai jaminan atau argumen menentang sifat-sifat ketuhanan. “Tetapi Negara, kekuatan-kekuatan dalam negara itu, secara langsung memakai inisiatif yang mengesankan ini.” hal demikian telah menyusun suatu sistem di mana kejahatan tak lagi bertindak sebagai suatu argumen dan tata nilai satu-satunya yang tersisa dalam sifat-sifat ketuhanan. Bagi Marx alam harus dihormati, dipatuhi dengan maksud untuk menundukkan sejarah. Nietzsche, setidaknya, meramalkan apa yang akan terjadi; “Sosialisme modern cenderung menciptakan sebuah bentuk Yesuitisme sekuler, dan menjadikannya sebagai wahana bagi semua orang” dan lagi: “Apa yang kita hasratkan adalah kesejahteraan. Dan fakta yang terjadi manusia berbaris menuju suatu perbudakan.  Marxisme-Leninisme telah benar-benar menerima beban kebebasan berkehendak.

Musuh pertama republik absolutisme yang mengejawantah dalam praktik raja-raja, kekuasaan diproduksi secara sosial melalui suatu mekanisme demokratis dan partisipatif, bukan diturunkan secara biologis. Dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

Keabsahan “Konstitusi yang di cetak di jalanan” Ketika hukum sudah terlalu lama menjadi alat kekuasaan untuk “menegakkan” legalitas kekuasaan penguasa, Seutuhnya datang dan menggugat: “Kembalikan legalitas kepada rakyat” Ketika sekalian beleid pemerintah dilindungi tak tersentuh oleh gugatan hukum, pikiran dan kekuatan datang dan membawa seruan: “Kembalikan hukum/keadilan kepada rakyat” Dan sementara benteng penegakan hukum terkunci ewuh pekewuh dalam selimut Kolusi, Korupsi,  Nepotisme (KKN). Jalan satu-satunya kemurnian dan kesucian Ilmu Pengetahuan adalah Sebuah keberpihakan. “Tegakkan hukum tanpa pandang bulu”. Abstrak yang abadi, kebenaran, keadilan, terjebak pada kepentingan-kepentingan pragmatis untuk meningkatkan pendapatan. Indikator banalitas intelektual kegiatan akademik yang involutif.

Negara dengan konsep yang diterpkan seringkali bertentangan dengan faktual. spekulasi atas performa dan masa depan Mahkamah sebagai pengawal konstitusi. Proses legislasi diklaim irasional dan materi perubahan jauh dari kebutuhan faktual Mahkamah. Wajah Hukum secara Subtansial Undang-undang menjadi dasar atauran Berbangsa dan Bernegara. Dalam perspektif struktural, Indonesia selalu terjajah baik secara ekonomi, maupun sosial dan politik. Sumber daya alam kita dikeruk, dijarah, dijajah tanpa tiding aling-aling Inlandehrisme menjelma sebagai “korupsi sejak dalam pikiran”. Dengan Peracanngan keputusan Mahkama Konstitusi Secara garis besar melanggengkan praktek korupsi, Kolusi Nepotisme, Pada sistem dan struktur pemerintahan, tidak ada satu wilayah pun republik ini yang bebas dari korupsi. Semua penguasa, identik sebagai koruptor. Menengok dari lain sisi, kemiskinan seperti kanker stadium akhir, yang mustahil untuk disembuhkan kecuali dibiarkan mati Bahkan, yang kemudian mengemuka, justru polarisasi yang tajam antarkubu-penstudi doktrinal dan penstudi non-doktrinal.

Positivisme hukum di Indonesia menjadi sangat penting saat ini di saat bangsa ini sedang dan selalu terus membangun peradabannya ke ranah yang sesuai dengan rasa keadilan masyarakat. Cakupan cara berpikir legalistis positivis dalam studi hukum telah mem- beri paradigma berpikir hukum bersifat analisis hukum semata atas suatu peraturan yang berlaku. Titik kebenaran adalah teks peraturan yang dikenal dengan peraturan perundangan (legislation). Hukum yang pada wujud sesungguhnya tak terbatas direduksi dalam batas tertentu, deterministik bahkan mekanistik bagi penegak hukum untuk dilaksanakan menghakimi.

Positivisme telah melahirkan hukum dalam skesta matematika, menyelesaikan hukum yang terjadi dalam masyarakat berdasar apa yang tertulis dalam teks undang-undang, mengkristal di posisi binernya suatu teks lalu pem- baca harus memahami di keadaan itu dan tidak dibolehkan untuk berpikir lain. Sementara para hakim memutus perkara dengan teks tersebut atas persoalan hukum yang dihadapi. Seperti halnya yang terjadi di Indonesia, hakim memutus perkara mengutamakan hukum tertulis sebagai sumber utamanya. Kelompok-kelompok hakim yang berpikir demikian dapat digolongkan sebagai suatu aliran konservatif. Produk peristiwa-peristiwa yang terjadi.

Hukum sendiri akan melahirkan formalistik semata di mana kepastian hukum menjadi ikon kebenaran. Keadilan adalah keadilan yang terdefinisi atas apa yang tertulis dan menutup diri atas keadilan yang selama ini tidak termaktub dalam suatu teks perundang-undangan. Teori ini mengidentikkan hukum dengan undang-un- dang. Tidak ada hukum di luar undang-undang dan satu-satunya hukum adalah undang-undang.

Tulisan ini menjelaskan bagaimana pembebasan itu sebagai keharusan dalam dinamika hukum kita sekarang di Indonesia ke ranah progresif, yang pro rakyat, berhati nurani dan bermoral tanpa melepas tu- juan-tujuan sosial hukum. Untuk itulah diperlukan cara pembacaan teks hukum agar hukum tidak dipandang sebagai peraturan semata de- ngan membatasi ruang gerak hukum atas segala prosedur hukum, tekstual prosedural dan mengabaikan kebenaran substansif.

Praktek hukum oleh penegak hukum yang terjadi di Indonesia seperti praktek lembaga pengadilan, kepolisian, kejaksaan dan praktisi hukum (kelompok pilar dari criminal justice system) cendrung sela- lu bertumpu pada pijakan berpikir legisme sebagai ciri utama dari positivisme hukum. Dalam hal ini, cara pandang hukum dilihat dari teleskop perundang-undangan belaka untuk kemudian menghakimi peristiwa-peristiwa yang terjadi. Praktek seperti ini bukan berarti harus selalu diartikan keliru dikarenakan legisme sen- diri telah dan selalu memberikan arti dari ke- pastian hukum. Sementara kepastian hukum adalah keperluan yang mutlak dalam praktek hukum itu sendiri.

Terlepas dari perbedaan pendapat suatu aliran pemikiran di ranah ilmu hukum dogmatik maupun ilmu hukum non dogmatik, ketidakadilan itu secara nyata masih dirasakan oleh masyarakat yang salah satunya dalam realitas teks hukum yang terbutir dalam beberapa Pasal un- dang-undang. Ada kenyataan yang terjadi, seringkali hukum terlihat menjadi bulan-bulanan dan permainan para praktisi hukum. Adanya mafia peradilan membuktikan kenyataan terseoknya hukum di tangan para penegak hukum. Persekongkolan antar para penegak hukum dengan para pencari keadilan baik di tingkat kepolisian, kejaksaan dan para hakim. Bahkan melibatkan advokat yang mendampingi di segala pemeriksaan.

Ketidakadilan yang terjadi dalam pennganan hukum oleh penegak hukum adalah suatu ironi karena sesungguhnya wujud hukum itu sendiri bercita-cita keadilan (gerechtigkeit). Hukum telah diarenakan dalam konteksnya yang formal, mekanistik tanpa hati nurani sehingga menjadi mudah bagi para penegak hu- kum untuk melakukan perbuatan yang sekedar memenuhi kebutuhan formal meski harus bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat. Agus Raharjo dan Angkasa menyebutkan terjadinya kekerasan psikologis banyak dilakukan penyidik dengan maksud untuk mendapatkan pengakuan atau keterangan dari tersangka.

Hukum progresif merupakan koreksi terhadap kelemahan system hukum modern yang sarat dengan birokrasi serta ingin membebaskan diri dari dominasi suatu tipe hukum liberal. Tujuannya agar para penegak hukum tidak melihat suatu peraturan atas apa yang tertulis saja. Seperti yang terjadi selama ini di mana penegak hukum telah terjebak dalam cara berhukum positivisme yang sempit dan kurang diliputi semangat untuk mengekspolorasi pemenuhan rasa keadilan yang lebih kontekstual.Kenyataan di atas dipahami betapa hukum itu bukan hanya bangunan peraturan biasa, namun disadari juga sebagai bangunan ide, kultur dan cita-cita.

Keterpurukan hukum di Indonesia lebih dikarenakan penyingkatan hukum sebagai rule of law tanpa melihat sebagai rule of morality. Akibatnya hukum hanya dilihat sebagai peraturan prosedur yang lekat dengan kekuasaan. Padahal di balik hukum juga sarat dengan nilai, gagasan untuk membangun kultur baru yang lebih kontekstual pada rasa keadilan masyarakat. Di sini akan terjadi suatu muatan hukum harus luas dalam cakupan moralitas. Hukum tertulis selama ini pasti tidak sunyi dari kesalahan dan pengabaian hati nurani, kultur dan cita-cita ideal manusia. Hukum progresif mengalaskan muatan hukum harus menggenapi kultur dan cita ideal manusia yaitu kebahagiaan. Kultur itu sendiri tidak lain adalah Indonesia yang menurut kacamata hukum progresif amat berbeda dengan pemberlakuan hukum modern yang masuk dan mempengaruhi hukum di Indonesia. Hukum modern disadari tidak mungkin dihapuskan namun ia perlu diberikan ruh kehidupan kultur Indonesia agar ia menjadi hukum yang Indonesia. Hukum yang sepadu hati nurani masyarakat sehingga hukum itu responsif yaitu hukum didasarkan pada kultur masyarakat itu sendiri.

Tidak ada alternatif lain disementara tuntutan sosial hukum seperti sekarang ini telah menjadi kekuatan di mana sering terjadi konflik antara hukum yang hidup di masyarakat dengan aturan hukum tertulis. Sengketa yang di- selesaikan di depan pengadilan di mana hakim berhukum dengan hukum yang relevan atas suatu peraturan perundang-undangan sering tidak dapat memuaskan masyarakat yang lemah dan marginal dikarenakan kealpaan mereka dalam memahami hukum tertulis.

Untuk itu diperlukan cara strategis dalam pembacaan teks hu- kum agar terbebas dari kekakuan dan rasa ke- adilan masyarakat. Pembacaan teks hukum menjadi urgen bagi penegak hukum dalam se- gala lapisan agar hukum dalam praktik menjadi sesuai dengan hati nurasi rasa keadilan masya- rakat Indonesia. Cara tersebut dapat meliputi cara berpikir dalam pembacaan, terutama di- lakukan oleh penegak hukum, berupa: pertama, melihat teks hukum harus tidak dilihat se- bagai yang berdiri sendiri tetapi harus dipaha- mi maksud atau tujuan besar dari pembuat teks hukum atau undang-undang (legislation). kedua, setiap teks hukum selalu memiliki tujuan dan objek yang ingin dicapainya, untuk itu perlu memahami lebih jauh apa yang dimaksudkan dari suatu pasal hubungannya dengan tujuan besar dari diberlakukannya suatu undang-un- dang. Cara pembacaan ini sering diungkap sebagai pembacaan teks atas substantif hukum. Ketiga; meyakini adanya kemungkinan kesalahan teks atas suatu hukum karena berlawanan dengan rasa keadilan masyarakat. Dengan kata lain harus berani mengetengahkan ide objektif hukum yaitu keadilan sosialnya bukan sekedar apa yang tertulis pada teks hukum. keempat, berani mengkritik teks hukum untuk suatu kesempurnaan pelaksanaan hukum, menggali keadilan sekalipun di luar teks hukum demi moral, keadilan sosial dan hati nurani rakyat.(*)

Komentar:
Berita Lainnya
Dahlan Iskan
Datuk ITB
Sabtu, 23 November 2024
Foto : Ist
Jangan Ada Lagi Makelar Proyek
Sabtu, 23 November 2024
Dahlan Iskan
Kokkang Ibunda
Jumat, 22 November 2024
Dahlan Iskan
Critical Parah
Rabu, 20 November 2024
Dahlan Iskan
Tafsir Iqra
Selasa, 19 November 2024
Dahlan Iskan
Medali Debat
Senin, 18 November 2024
GROUP RAKYAT MERDEKA
sinpo
sinpo
sinpo