Akibat Tingginya Harga Beras, Jumlah Masyarakat Miskin Ekstrem Bakal Bertambah
JAKARTA - Tingginya harga beras menjadi perhatian Pemerintah karena kenaikannya berdampak terhadap inflasi pangan. Selain itu, kenaikan harga komoditas tersebut bisa menambah jumlah masyarakat yang masuk kelompok miskin ekstrem.
Padahal, saat ini Pemerintah sedang kerja keras menekan angka kemiskinan ekstrem menjadi 0 persen pada 2024.
Hal tersebut diungkapkan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani saat rapat kerja bersama Komisi XI DPR, Jakarta, Selasa (19/3/2024).
Dalam laporannya, wanita yang akrab disapa Ani itu menjelaskan, inflasi pangan bergejolak atau volatile food mencapai 8,5 persen secara year-on- year (yoy) pada Maret 2024 yang disumbang dari komoditas beras.
“Lonjakan harga beras berdampak langsung terhadap kesejahteraan kelompok miskin ke bawah, karena beras menjadi makanan pokok masyarakat Indonesia. Kondisi ini terus kita waspadai,” kata Ani dalam keterangan resminya, Rabu (20/3/2024).
Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu mengatakan, kenaikan harga beras saat ini disebabkan kondisi cuaca yang masih terpengaruh El Nino yang mengakibatkan mundurnya panen raya.
Selain itu, tingginya harga beras juga dipengaruhi meningkatnya harga pupuk dunia akibat ketegangan geopolitik antara Rusia dan Ukraina. Hal itu membuat tren kenaikan harga beras terjadi merata di berbagai negara.
“Karena itu, Pemerintah telah melakukan langkah dengan pengadaan beras luar negeri melalui impor dan juga melakukan stabilisasi melalui intervensi dari distribusi,” tutur Ani.
Di kesempatan yang sama, Ani juga mengungkapkan, saat ini masih terjadi ketidakpastian perekonomian global dengan beragam risikonya.
Sementara, realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sampai pertengahan Maret 2024 masih menunjukkan kinerja yang prima.
Ani menjelaskan faktor-faktor yang menyebabkan ekonomi global masih berisiko tinggi. Di antaranya, kebijakan suku bunga tinggi dalam waktu lama (higher for longer) yang dilakukan negara maju terutama Amerika Serikat.
Selain itu, tensi geopolitik hingga risiko global seperti digitalisasi, perubahan iklim, serta populasi yang menua juga dapat menimbulkan dampak terhadap perekonomian.
Situasi yang tidak mudah ini terjadi sepanjang 2023 dan sampai tahun 2024 ini masih berlangsung.
“Alhamdulillah di tengah situasi dan gejolak ini, Indonesia masih sangat resilien. Growth-nya tetap steady di sekitar 5 persen. Meski kita juga melihat ada tekanan yang terjadi,” ujar Ani.
Terkait kinerja APBN sampai dengan 15 Maret 2024, Ani memaparkan pendapatan negara mencapai Rp 493,2 triliun (17,6 persen dari target) dan belanja negara sebesar Rp 470,3 triliun (14,1 persen dari pagu).
Dengan demikian, surplus APBN mencapai Rp 22,8 triliun atau 0,10 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Sementara itu, Keseimbangan Primer juga mencatatkan surplus hingga Rp 132,1 triliun.
Menurutnya, data tersebut menunjukkan kinerja APBN cukup baik, pendapatan negara mengalami kontraksi tapi dari baseline yang cukup tinggi selama dua tahun berturut-turut.
“Namun kita tetap mewaspadai dari volatilitas harga komoditas dan juga kecepatan restitusi pajak yang dibutuhkan dunia usaha,” pungkas Ani.
Olahraga | 2 hari yang lalu
Pos Banten | 1 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Olahraga | 1 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 22 jam yang lalu
Olahraga | 9 jam yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
TangselCity | 18 jam yang lalu