Kekerasan Di Sekolah Kedinasan Berujung Kematian Siswa STIP Jakarta
JAKARTA - Meninggalnya seorang taruna Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) Jakarta, lantaran dianiaya seniornya, Jumat (3/5/2024), menambah panjang cerita kelam senioritas berujung kematian di sekolah kedinasan. Kasus ini mendapat sorotan publik, sekaligus melahirkan desakan evaluasi tata kelola sekolah kedinasan.
Seorang taruna STIP Jakarta, Putu Satria Ananta Rastika, meninggal dunia usai mengalami kekerasan fisik dari seniornya, Jumat (3/5/2024). Kejadian bermula ketika Putu dan keempat orang temannya masuk kelas, tapi masih memakai baju olahraga.
Kemudian, Putu dan keempat temannya dikumpulkan ke kamar mandi oleh Tegar. Di dalam kamar mandi, Tegar memukul bagian ulu hati Putu sebanyak lima kali hingga korban tersungkur.
Melihat korban tersungkur, Tegar mencoba menarik lidah Putu, untuk melakukan upaya pertolongan. Namun, upaya tersebut malah berakibat fatal. Putu tewas karena lidahnya ditarik Tegar. Saluran pernapasannya tertutup dan menghambat aliran oksigen.
Kapolres Metro Jakarta Utara Kombes Gidion Arif Setyawan mengatakan, penganiayaan terhadap taruna STIP yang berujung pada kematian, didasarkan pada motif senioritas. Dalam kasus tersebut, jelas dia, senior berinisial TRS (21) memiliki rasa arogansi terhadap juniornya.
“Motifnya ya itu, kehidupan senioritas. Jadi mungkin tumbuh rasa arogansi,” ujar Gideon dalam keterangannya di Jakarta, Minggu (5/5/2024).
Lebih lanjut, dia menjelaskan, senioritas tampak sebelum peristiwa pemukulan terhadap korban berinisial PT, yang merupakan junior dari tersangka, karena masih taruna tingkat 1.
Menurut dia, TRS sempat bertanya ke korban dan empat temannya, siapa yang paling kuat di antara mereka.
“Ada satu kalimat dari tersangka yang menyatakan gini, ‘Mana yang paling kuat?’ Kami menyimpulkan tersangka tunggal di dalam peristiwa ini, saudara TRS,” jelas dia.
Gidion menambahkan, akibat perbuatannya, TRS dijerat dengan pasal pembunuhan. Penetapan tersangka dilakukan setelah polisi melakukan gelar perkara.
“Atas perbuatannya, TRS akan disangkakan dengan pasal pembunuhan. Pasal 338 Jo subsider 351 ayat 3 ancaman hukuman 15 tahun,” imbuhnya.
Kasus yang dialami Putu bukan satu-satunya kasus kematian akibat senioritas di STIP Jakarta.
Pada 25 April 2014, salah satu taruna STIP bernama Dimas Dikita Handoko (19), juga tewas usai dianiaya oleh para seniornya di rumah kos daerah Semper Barat, Cilincing, Jakarta Utara.
Kemudian, Peristiwa penganiayaan berujung maut di STIP juga menimpa Amirulloh Adityas Putra (19), Selasa (10/1/2017). Amirulloh dan lima taruna lainnya dianiaya oleh lima orang senior di Dormitory Ring 4 Kamar 205 lantai II, di STIP.
Terpisah, Direktur Eksekutif Pusat Kajian Kebijakan Pendidikan (Puskapdik) Satibi Satori mendesak adanya evaluasi total tata kelola sekolah kedinasan.
Sebab, kata dia, secara normatif payung hukum sekolah kedianasan diatur melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 57 Tahun 2022 tentang Penyelenggaraan Perguruan Tinggi oleh Kementerian lain dan Lembaga Pemerintah Non Kementerian.
Menurut Satibi, regulasi tersebut tak memberi ruang kepada Kemendikbudristek untuk melakukan pengawasan dan penjaminan mutu lembaga pendidikan. Kemendikbudristek hanya memberi izin, tidak memiliki ruang pengawasan dan evaluasi, apalagi membubarkan sekolah kedinasan.
“Hadirnya sekolah kedinasan melahirkan fenomena dualisme regulator di bidang pendidikan. Dualisme antara instansi penyelenggara pendidikan dan Kemendikbud. Di sisi yang lain, dalam sekolah kedinasan menjadi penghambat tujuan pendidikan nasional,” ujarnya.
Di media sosial X, kasus kematian yang terjadi di STIP Jakarta, menuai beragam sorotan.
“Sekolah yang terjadi tindak pembunuhan seharusnya dibubarkan. Jika (pembunuhan) terjadi di kawasan sekolah, pihak sekolah punya tangung jawab atas pengawasan dan keselamatan siswanya. Jadi, ini jangan cuma sampai di pelaku doang,” ujar akun @ZZaxian.
Akun @Bocahcu2024 meminta kementerian yang memiliki sekolah kedinasan, rajin memantau kegiatan belajar dan di luar belajar para siswanya. Menurut dia, pengawasan itu penting dilakukan, agar tidak ada siswa yang arogan atau melahirkan budaya menyimpang seperti kekerasan.
“Pengawasan, wajib diperhatikan. Sebab, dalam sekolah kedinasan kadang banyak oknum. Mereka hanya ngabisin sawah orang tua buat pendidikannya, tapi otaknya nggak dipakai buat mikir,” cetusnya.
Sementara, akun @Reogfield mengatakan, terulangnya kasus kekerasan berbasis senioritas dan perploncoan di sekolah milik pemerintah, membuat dia bertanya-tanya soal pendidikan ideologi dan pembangunan karakter di sekolah.
“Budaya plonco dan bully malah subur di sekolah milik pemerintah. Ini ada apa? Bagaimana penanaman ideologi di sana?” tanyanya.
Akun @d380no mengaku menunggu pertanggungjawaban kepala sekolah dan seluruh pengajar di STIP.
“Kalau kasus ini terjadi di Korea atau Jepang, minimal pejabat pendidikan tingkat kotanya sudah auto mengundurkan diri,” katanya.
Olahraga | 1 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Nasional | 1 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
Nasional | 1 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu