Pendidikan Mahal, Rakyat Bisa Apa?
SERPONG - Dunia pendidikan masih terguncang dengan naiknya biaya UKT di berbagai kampus negeri. Situasi ini mempersulit peserta didik mengakses pendidikan terjangkau. Pendidikan tinggi memiliki naluri persaingan tinggi namun terlihat nir-empati.
Sampai-sampai sebuah perguruan tinggi negeri Indonesia menjalin kerjasama dengan perusahaan pinjaman online untuk memudahkan mahasiswa mencicil bayarannya. Masih ingat kisah seorang mahasiswa sebuah PTN di Yogyakarta yang meninggal saat memperjuangkan keringanan UKT pada awal 2023 merupakan salah satu bukti bahwa tidak semua mahasiswa dari keluarga tak mampu mendapatkan bantuan pendidikan kuliah.
Pendidikan tinggi yang dimimpikan sebagai gerbang pembuka peluang kesejahteraan justeru menjadi ganjalan karena kapasitas kampus negeri dan biaya sama-sama kurang terjangkaunya. Padahal, bantuan pendidikan kuliah S-1 dari pemerintah, mulai dari Kartu Indonesia Pintar Kuliah, afirmasi pendidikan tinggi untuk siswa di Papua dan daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar), hingga beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) dibuat, namun belum mampu menjangkau semua anak yang membutuhkan. Demikian pula program keringanan biaya uang kuliah tunggal (UKT) di sejumlah perguruan tinggi.
Lihat bagaimana angka partisipasi kasar pendidikan tinggi (APK PT) pada 2024 sebesar 39,37 persen (Kemendikbud Ristek, 2022), di bawah rata-rata global yang mencapai 40 persen (UNESCO, 2020). Bahkan, APK PT Indonesia termasuk rendah dibandingkan dengan negara-negara tetangga, seperti Malaysia (43 persen), Thailand (49,29 persen), dan Singapura (91,09 persen).
Kita juga bisa belajar dari negara-negara yang melakukan langkah serupa untuk meningkatkan angka partisipasi di pendidikan tinggi. Namun, yang utama, perlu ada strategi khusus untuk mengatasi masalah tingginya biaya kuliah. Pendidikan tinggi merupakan hak warga dan kewajiban pemerintah untuk memenuhinya. Apalagi, pendidikan tinggi merupakan kunci untuk meningkatkan daya saing bangsa
Setiap tahun, jumlah lulusan SMA/SMK di Indonesia sekitar 3,7 juta, tetapi hanya sekitar 58 persen yang melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi. Faktor ekonomi menjadi kendala utama. Sebagian besar dari mereka yang tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi berasal dari keluarga tidak mampu. Kenaikan biaya kuliah tidak sebanding dengan kenaikan gaji orang pada umumnya.
Ingat Tujuan
Berdasarkan Pasal 31 ayat (4) UUD 1945, alokasi anggaran pendidikan minimal 20% dari APBN, yang pada 2023 mencapai sekitar Rp600 triliun dari total APBN Rp3.000 triliun (Rp3.000 triliun dalam lima tahun). Kebijakan yang kurang tepat dapat merugikan kualitas pendidikan Indonesia, mengancam visi mencerdaskan bangsa sehingga bisa jauh panggang dari api.
Kemiskinan ekstrem, tidak adanya dukungan keluarga yang memadai, keragaman suku yang bermukim dalam satuan administratif, serta metode pembelajaran yang tidak sesuai dengan konteks lokal menjadi alasan sulitnya mewujudkan kualitas pendidikan yang merata. Tantangan-tantangan ini berakar pada permasalahan-permasalahan mendasar, yaitu faktor geografis, keterbatasan akses dan infrastruktur pendidikan, keterbatasan guru atau tenaga pendidik, serta hambatan sosial-budaya.
Sejak perubahan beberapa kampus ternama dari status Perguruan Tinggi Negeri (PT) ke Perguruan tinggi Berbadan Hukum (PTBH) semua kampung negeri teransang meniru guna lebih mandiri mengelola dana pendidikan. Secara otomatis tidak sejalan dengan banyak pandangan umum masyarakat bahwa seorang anak masuk kampus negeri karena lebih terjangkau biasanya. Lalu. Sejak awal PTN berbiaya tinggi memicu kontroversi, karena alur promosi mengelola dana tidak sama dengan PTS. Biaya mahal merubah mindset pendidikan menjadi “gentong dana” dari pundi bayaran kuliah mahasiswa.
PTN dianggap memiliki sebagai tempat impian belajar ideal bagi anak muda dari sejumlah daerah di Tanah Air tanpa memandang latar berhadapan dengan rendahnya anggaran pendidikan tinggi. Biaya kuliah mahal akan menyingkirkan minat mahasiswa cerdas dengan kemampuan ekonomi rendah menjadi sungkan melanjutkan pendidikan. Negara akan terlihat abai jika tidak segera melakukan pendekatan. Lama-lama pendidikan menjadi kebutuhan tersier dan hanya dimotivasi pendidikan yang semata-semata atas nama ekonomi dan materi tanpa berempati pada dimensi humanistik.
Resiko Lain
Biaya pendidikan mahal juga beresiko pada pengajar. Apalagi jika dilihat pola pengelolaan dosen di PTN BH kemudian diadopsi di semua PTN. Secara umum, pengaturan guru dan dosen seperti halnya ASN lain diperkuat oleh UU No 5/2014 tentang ASN yang tidak membedakan jenis dan karakteristik jabatan fungsional. Sementara waktu kerja guru dan dosen tidak terbatas 42 jam seminggu, dan bekerjanya tidak terbatas di sekolah/kampus.
Sulit mengharapkan guru dan dosen menjadi inspiratif bagi murid/mahasiswa apabila setiap hari dari pagi hingga sore dikerangkeng di sekolah/kampus saja. Birokratisasi guru dan dosen tanpa mengenal kultur akademik itu dapat menjerumuskan bangsa ini ke jurang kehancuran.
Maka kembalikanlah otonomi PTN seperti sebelumnya. Perubahan status PTN menjadi PTN BH tidak menjamin otonomi PTN kalau tidak disertai dengan kemauan politik yang kuat dari pemerintah untuk memberikan otonomi kepada perguruan tinggi
Ki Hadjar Dewantara jauh hari mengingatkan, masyarakat ikut bertanggung jawab atas haluan pendidikan bangsanya. Jika pendidikan sebagai pembudayaan nilai, melepas pendidikan semata-mata ke keperluan kapital, sama saja namanya menjauhi amanah konstitusi, serta perlahan membentuk generasi dengan nilai hidup materialistik, bukan humanistik.
TangselCity | 1 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Olahraga | 1 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
TangselCity | 19 jam yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
TangselCity | 16 jam yang lalu
Pos Tangerang | 2 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu