TangselCity

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Dewan Pers SinPo

Generasi Z Semakin Terjepit

Pendidikan Makin Mahal, Pekerjaan Sulit

Oleh: Farhan
Sabtu, 25 Mei 2024 | 10:50 WIB
Bursa loker. Foto : Ist
Bursa loker. Foto : Ist

JAKARTA - Wakil Ketua Komisi IX DPR, Kurniasih Mufidayati mengingatkan Pemerintah, agar memberi perhatian serius pada tingginya pengangguran kalangan generasi muda. Ini ancaman bagi bonus demografi menuju Indonesia Emas 2045, atau Satu Abad Indonesia Merdeka.

“NEGARA kita saat ini mengalami bonus demografi. Jika bo­nus demografi ini tidak diiringi dengan hadirnya kesempatan kerja yang besar bagi generasi muda, tentu akan menciptakan bom waktu,” tegas Kurniasih, kemarin.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, hampir 10 juta pen­duduk usia muda Gen Z dengan usia 15-24 tahun, berstatus menganggur atau Not in Employment, Education, and Training (NEET). Anak muda berstatus NEET ini mayoritas ada di dae­rah perkotaan, yakni sebanyak 5,2 juta orang dan 4,6 juta di pedesaan.

“Angka 10 juta pengangguran Gen Z sudah jadi tanda-tanda jika bonus demografi kita tidak terkelola dengan baik. Kita sudah menyadari hadirnya bo­nus demografi maka di hulu pentingnya pendidikan skill dan di hilir pentingnya terbuka luas kesempatan kerja,” tegas politisi Fraksi PKS ini.

Dia mengatakan, melihat situasi saat ini, Gen Z memang menjadi kelompok yang sema­kin terhimpit. Mereka makin terbebani dari sisi pendidikan di mana biaya pendidikan se­makin mahal menyusul adanya kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang naik hingga 500 ratus persen. Sementara kesem­patan kerja mensyaratkan, sudah berpengalaman dan adanya batas usia.

“Generasi muda hari ini tidak bisa disamakan dengan generasi sebelumnya. Ada treatment khusus, terutama dari sisi pen­didikan maupun dunia kerja,” tegasnya.

Untuk itu, dia mendorong agar Pemerintah menghadirkan lebih banyak kemudahan bagi generasi muda untuk mengakses pendidikan. Lembaga pendidikan vokasi juga harus dihadirkan tentunya dengan kemampuan atau skill yang memang sedang dibutuhkan saat ini. Dan yang tidak kalah penting, kesempatan seluas-luasnya dari pemberi kerja.

Dalam kesempatan tersebut, dia juga menyoroti tren angka­tan kerja yang malah didomi­nasi oleh pekerja informal. Ini membuktikan bahwa angkatan pencari kerja yang membe­ludak tidak dbarengi dengan kesempatan yang lebih memadai untuk bekerja di sektor formal. Peristiwa viral baru-baru ini di mana antrean bekerja di sebuah warung makan yang membe­ludak seperti antrean kerja di pabrik.

“Ini memprihatinkan karena banyak anak kerja ini tak dapat kesempatan kerja for­mal sehingga lowongan apa pun akan dijalani termasuk sektor informal. Padahal per­lindungan pekerja di sektor informal masih sangat lemah,” tambahnya.

Sementara anggota Komisi IX DPR Irma Surya Chaniago mengatakan, pengangguran saat ini cukup tinggi lantaran negara sudah masuk bonus demografi. Makanya dia mendorong agar pendidikan vokasi ini bisa hadir lebih masif.

“Tingkatkan anggaran untuk pendidikan vokasi agar tenaga kerja kita bisa bersaing di pasar tenaga kerja lokal, tenaga kerja domestik, maupun pasar tenaga kerja luar negeri,” katanya.

Irma menilai pendidikan vokasi ini perlu lebih banyak di­hadirkan mengingat masyarakat kita di daerah rata-rata lulusan SMP. Sehingga tentu saja skill-nya tidak memenuhi syarat untuk bisa bekerja di luar negeri. Sehingga ketika bekerja di luar negeri, mereka tentu saja mem­peroleh upah yang berbeda dari pekerja asal Filipina, Vietnam, dan China.

“Yang seperti-seperti ini kan harusnya tidak terjadi seandainya Pemerintah, Kemen­terian Tenaga Kerja, tahu apa yang dibutuhkan untuk bisa mengurangi pengangguran di Indonesia. Sekiranya itu penting untuk menjadi program dari Kementerian Tenaga Kerja untuk melaksanakan pendidi­kan vokasi bagi seluruh rakyat Indonesia,” harapnya.

Komentar:
GROUP RAKYAT MERDEKA
sinpo
sinpo
sinpo