24 Jemaah Asal Banten Sempat Ditahan, Pemeriksaan Visa Haji di Saudi Makin Ketat
ARAB SAUDI - Jelang puncak haji, pemeriksaan visa terhadap para jemaah di Arab Saudi semakin ketat. Sebanyak 24 jemaah asal Banten merasakan pahitnya kebijakan ini. Mereka sempat ditahan Kejaksaan Saudi karena datang tidak menggunakan visa resmi haji, tapi menggunakan visa ziarah.
Tahun ini, Saudi berkomitmen memperketat pemeriksaan visa haji. Hanya jemaah yang memegang visa haji atau undangan haji dari Kerajaan Saudi (mujamalah), yang bisa melaksanakan ibadah haji.
Sejak pekan lalu, sudah mulai diberlakukan pemeriksaan di beberapa check point menuju Makkah. Dari arah Madinah, pemeriksaan dilakukan di antaranya di Masjid Bir Ali, tempat mengambil miqat untuk melakukan umrah. Lalu, pemeriksaan juga dilakukan di perbatasan Madinah dan Makkah, di wilayah Al-Jumum.
Dari arah Jeddah juga sama. Pemeriksaan dilakukan di perbatasan Jeddah-Makkah. Jalanan mulai sedikit tersendat, karena petugas mengecek satu per satu visa jemaah yang mau masuk Makkah.
Tak hanya itu, polisi Saudi juga dikabarkan melakukan razia ke pemondokan-pemondokan yang ada di Makkah. Setiap penghuni pemondokan diperiksa visa mereka.
Dalam pemeriksaan di Masjid Bir Ali, Madinah, Selasa (28/5/2024), polisi Saudi menahan 24 orang. Dalam pemeriksaan tersebut, 24 jemaah memberikan visa haji milik orang lain.
"Visanya tidak sesuai paspor. Setelah diperiksa (lebih lanjut), mereka ternyata menggunakan visa ziarah,” ujar Konjen RI di Jeddah, Yusron B Ambary, Kamis (30/5/2024).
Dari hasil pemeriksaan, 22 orang dilepas. Mereka dianggap hanya korban. Sedangkan dua orang, yang merupakan koordinator, tetap ditahan. “Koordinatornya inisial MH dan JJ bersama sopir dan pemilik bus ditahan,” terang Yusron.
Untuk 22 jemaah yang dibebaskan, mereka sementara menetap di hotel di Madinah. Untuk proses selanjutnya, masih menunggu hasil pembicaraan Tim dari KJRI di Kantor Aparat Keamanan (Apkam) di Madinah.
Untuk dua orang koordinator, mereka diketahui mengelola dana jemaah yang membayar kisaran Rp 25 juta hingga 150 juta. Mereka akan dikenai pasal Transporting Haj. Ancaman hukumannya adalah denda 50 ribu riyal atau setara Rp 216 juta, kurungan 6 bulan penjara, dan larangan masuk Saudi selama 10 tahun.
Yusron menyatakan, saat ini Pemerintah Saudi berusaha memperbiaki penyelenggaraan ibadah haji dengan menciptakan inovasi dalam pelayanan. Untuk masuk Arafah, Muzdalifah, dan Mina (Armuzna), jemaah wajib memiliki tasreh atau surat izin.
“Sampai ulama Saudi menyatakan bahwa haji tanpa tasreh itu dosa. Menteri Haji dan Umrah Saudi sudah bilang, barang siapa berhaji tanpa tasreh haji, hajinya tidak sah,” katanya.
Karena itu, lanjutnya, saat ini Pemerintah Saudi memperketat akses masuk ke Makkah. “(Sebab), kalau misalnya ada 100 ribu atau 200 ribu haji gelap akan ganggu ibadah haji secara keseluruhan,” ujar Yusron.
Atas hal itu, Yusron berpesan kepada masyarakat Indonesia yang akan berhaji, harus melalui jalur resmi yang telah ditetapkan Pemerintah. Jemaah jangan mudah terbuai dengan iming-iming visa lain untuk berhaji. “Sebelum berangkat, pastilkan visanya adalah visa haji,” pesannya.
Di Tanah Air, Pengurus Besar Harian Syuriyah Nahdlatul Ulama (NU) memutuskan bahwa haji dengan visa non haji atau tidak prosedural adalah cacat dan pelakunya berdosa. Keputusan ini menjadi salah satu hasil musyawarah Pengurus Besar Harian Syuriyah NU yang digelar di Jakarta, Selasa (28/5/2024).
Musyawarah ini dipimpin langsung Rais ‘Aam PBNU KH Miftachul Akhyar dan Katib Aam KH Ahmad Said Asrori. Musyawarah berlangsung secara hybrid, dengan diikuti KH Afifudin Muhajir, KH Musthofa Aqiel Siraj, KH Masdar F Masudi, KH Sadid Jauhari, KH Abdul Wahid Zamas, KH Kafabihi Mahrus, KH M Cholil Nafis, KH Muhibbul Aman Aly, KH Nurul Yaqin, KH Faiz Syukron Makmun, KH Sarmidi Husna, KH Aunullah A’la Habib, KH Muhyiddin Thohir, KH Moqsith Ghozalie, KH Reza A Zahid, KH Tajul Mafakhir, Habib Luthfi Al-Athas, dan KH Abd Lathif Malik.
Hadir juga perwakilan dari Kementerian Agama. Mereka adalah Staf Khusus Menteri Agama Ishfah Abidal Aziz dan Direktur Bina Haji Arsad Hidayat.
“Musyawarah Pengurus Besar Harian Syuriyah memutuskan bahwa haji dengan visa non haji (tidak prosedural) adalah sah, akan tetapi cacat dan yang bersangkutan berdosa,” demikian Lampiran Keputusan Pengurus Besar Harian Syuriyah NU.
Putusan ini didasarkan pada sejumlah pertimbangan. Pertama, syarat utama dari ibadah haji adalah istitha’ah (memiliki kemampuan) dalam berbagai aspeknya. Mulai dari mampu secara materi untuk biaya haji dan biaya keluarga yang ditinggalkan, mampu fisik dengan kesehatan yang baik untuk mendukung pelaksanaan ibadah haji, hingga mampu untuk menghadirkan rasa aman selama berada di Tanah Suci.
Kedua, secara umum, kemampuan fisik (badan), bekal dan transportasi menjadi hal yang paling utama dalam istitha’ah seseorang dalam ibadah haji maupun umrah.
Ketiga, syarat istitha’ah ini telah diatur dengan baik oleh otoritas lembaga pelaksana ibadah haji, baik pemerintah atau negara yang memberangkatkan jamaah haji (termasuk Indonesia) maupun pemerintah yang menjadi penguasa wilayah sebagai lokus pelaksanaan ibadah haji (Kerajaan Arab Saudi). Pengaturan tersebut, salah satunya adalah pembatasan kuota haji.
TangselCity | 17 jam yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Olahraga | 21 jam yang lalu
Olahraga | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
Pos Banten | 2 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
TangselCity | 10 jam yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
Pos Tangerang | 2 hari yang lalu