TangselCity

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Dewan Pers

Koruptologi

Oleh: Dr. Muhadam Labolo, MSi
Editor: Ari Supriadi
Rabu, 17 Agustus 2022 | 22:18 WIB
Dr. Muhadam Labolo, MSi. (Dok. Pribadi)
Dr. Muhadam Labolo, MSi. (Dok. Pribadi)

PASCA terbentuknya lembaga anti rasuah (KPK), Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) diminta mengembangkan kurikulum sejalan dengan kebijakan pemerintah, pemberantasan korupsi. Di rencana pembelajaran semester terbentuklah mata kuliah etika pemerintahan, pencegahan korupsi, serta sistem pengawasan, dan pengendalian.

Etika pemerintahan sejak lama dipelajari. Mata kuliah lain bersifat terapan. Di level kajian sains, Prof. Talizi mengembangkan koruptologi. Beberapa salah kaprah, dipikir ilmu koruptor. Padahal sama dengan kriminologi. Ilmu tentang bagaimana memahami seluk beluk kejahatan, motif, perilaku hingga terbentuk kejahatan (criminal). Bukan ilmu bandit.

Koruptologi juga demikian. Ilmu soal bagaimana kita dapat memahami sebab-sebab terjadinya korupsi, gejalanya, pemicunya, faktor penyertanya, serta dampak tsunami yang diakibatkan olehnya. Dengan begitu kita dapat mengantisipasi, mengatasi, mengendalikan, bahkan memberantasnya secara sistemik, masif dan terencana.

Gejala korupsi seperti sapu dan sampah. Setiap kali dibersihkan, sampah menumpuk kembali. Terakhir Bupati Pemalang tertangkap tangan oleh KPK. Beliau kepala daerah ke-446 pasca pemilukada langsung diterapkan (Djohan, 2022). Bila aparat kehilangan akal mencegahnya, publik justru kehilangan harapan atas mimpi pemerintahan bersih. Kadang sampahnya diangkut, tapi sekali waktu sapunya pun perlu dibersihkan (Ali, 2005).

Semua paham bahwa sebab korupsi karena sistem, budaya dan karakter individual (Widjayanto, 2015). Mekanisme sistem selalu dipersoalkan mulai praktik sirkulasi kepemimpinan yang mahal di ongkos hingga distribusi calon yang sarat nepotisme. Kesulitan mengubah sistem karena bola kuasa ada di tangan para pemain yang sejauh ini nyaman lewat formula langsung dan dinastik.

Korupsi tak dapat disangkal juga produk budaya yang diturunkan secara evolutif. Kesulitan terberat kita adalah mengubah perspektif korupsi sebagai cara efektif memecahkan keruwetan birokrasi. Bagi elit, korupsi adalah minyak pelumas dalam upaya melumuri prosedur agar tercipta kelenturan. Sementara bagi kaum alit, korupsi adalah butiran pasir yang mengganjal putaran mesin hingga perlu ditiup sekuat-kuatnya (Priyono, 2018).

Rendahnya budaya malu (shame culture), serta kegagalan membumikan religi sebagai akuntabilitas manusia pada Tuhan (guilt culture), menjadikan korupsi dilakukan senyap dan berjamaah sekalipun jelas-jelas dinyatakan sebagai kejahatan extraordinary. Di sini, perang terhadap korupsi seperti berhadapan dengan mafioso dalam ruang birokrasi. Rapi sekalipun bau.

Pada akar terakhir, korupsi adalah produk alami individu yang terbentuk sejak kanak-kanak. Bakat itu melahirkan keserakahan yang tak kunjung usai hingga maut menjemput. Kerumitan terbesar kita mengatasi cleptomania ketika seseorang berada dalam sistem dan budaya linier dengan praktik korupsi. Dalam situasi semacam itulah terbentuk kleptokrasi, upaya memperkaya diri dan kelompok lewat berbagai cara, termasuk jual beli jabatan. 

Koruptologi mesti melahirkan tawaran efektif mengatasi tiga sebab utama di atas. Soal sistem, perlu dikembangkan strategi pencegahan agar sejajar dengan penangkapan. Tanpa pencegahan percuma menimbun penjahat dalam buih yang kini penuh sesak. Ukuran keberhasilan pemberantasan korupsi oleh aparat penegak hukum adalah nol isi buih, bukan kepadatan isi penjara. Bukankah mencegah lebih baik daripada mengobati.

Pada kultur, koruptologi mesti mampu menggeser perspektif usang korupsi sebagai pelumas dan tiupan agar semua urusan beres. Caranya, seriusi kebijakan reformasi birokrasi yang selama ini dianggap formalistik belaka. Perubahan kultur lewat reformasi birokrasi dalam jangka panjang dapat melahirkan kesamaan pandang soal korupsi sebagai ancaman terhadap keruntuhan bangsa.

Guna membentuk generasi zero korupsi, sebaiknya pengaktifan peran keluarga, institusi pendidikan, dan contoh kepemimpinan dapat mencipta role model bagi pencapaian pemerintahan bersih tanpa korupsi. Kesungguhan ketiga institusi dalam proses penyucian individu dari penyakit cleptomania pada saatnya akan melahirkan generasi terbaik bagi upaya mencegah keruntuhan negara akibat ketamakan individu.(*)

*) Penulis merupakan analis pada Pusat Kajian Strategis Pemerintahan Jakarta

Komentar:
Eka
ePaper Edisi 17 Januari 2025
Berita Populer
02
Ronald Araujo Akan Dilepas Barcelona

Olahraga | 2 hari yang lalu

03
Ketua KPRI Ditetapkan Tersangka Kasus Korupsi

Pos Banten | 1 hari yang lalu

05
Ratusan Honorer Mengadu Nasib Ke Dewan

Pos Banten | 2 hari yang lalu

07
08
Honorer Nakes Kepung Kantor Bupati Pandeglang

Pos Banten | 1 hari yang lalu

09
Liga Inggris

Olahraga | 1 hari yang lalu

10
ASN Jakarta Kini Boleh Poligami

Nasional | 1 hari yang lalu

GROUP RAKYAT MERDEKA
RM ID
Banpos
Satelit