Soal Tapera DPR Dan Pemerintah Belum Kompak
JAKARTA - DPR dan Pemerintah belum kompak soal penerapan iuran Tabungan Perumahan Rakyat alias Tapera. DPR masih mengkritik keras rencana pemotongan gaji rakyat untuk Tapera, sementara pemerintah terus berupaya kasih penjelasan manfaat Tapera.
Dalam rapat Paripurna di DPR, program Tapera kembali mendapat penolakan dari anggota dewan. Penolakan disuarakan oleh Rieke Diah Pitaloka. Anggota Komisi VI DPR ini dengan tegas meminta program yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2020 itu, dibatalkan.
Pemeran Oneng di Sitkom Bajaj Bajuri ini, beralasan, program Tapera yang bakal memotong gaji pegawai 2,5 persen tiap bulan tersebut, terbukti bermasalah. Menurutnya, program yang dulunya bernama Bapertarum tersebut memiliki banyak persoalan.
Salah satunya, kata Rieke, seperti disampaikan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Dalam laporan audit BPK tahun 2021, Rieke mengatakan, Tapera mengelola dana pegawai negeri aktif sebanyak 4.016.292 orang. Semua itu tercatat di 7 provinsi. Yakni Jakarta, Sumatera Utara, Lampung, Jateng, DIY, Jatim, dan Bali.
Berdasarkan audit BPK, kata Rieke, ada 124.960 anggoga Tapera yang pensiun atau meninggal pada triwulan III-2021. Namun, belum dapat pencairan dana kepesertaan dengan total anggaran sebesar Rp 567,5 miliar. Padahal, Tapera diklaim punya sistem seperti tabungan yang dananya dapat diambil kembali oleh pesertanya.
“Saya menyatakan mendukung untuk pembatalan dan penundaan PP Nomor 25 Tahun 2020 juncto Nomor 21 Tahun 2024 tentang perubahan atas PP Nomor 25 Tahun 2020 Tentang Tapera,” kata Rieke di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (4/6/2024).
Politisi PDIP ini juga meminta penjelasan kepada BP Tapera, perihal modal awal sebesar Rp 2,5 Triliun yang telah ditetapkan berdasarkan Anggaran Pendapatan dan Belanjan Negara (APBN) 2018 dan tercantum dalam PP nomor 57 tahun 2018. “Dan di mana uang senilai Rp 567,5 miliar milik nasabah. Itu baru tujuh provinsi,” tegas Rieke.
Selanjutnya, Rieke meminta BPK melakukan audit terhadap pengelolaan dana Tapera dan biaya operasional sejak tahun 2020 sampai 2023 di seluruh provinsi. Rieke juga merekomendasikan agar BPK lakukan audit pemeriksaan dengan tujuan tertentu soal dana Bapertarum PNS senilai Rp 11,8 Triliun milik 4,5 juta peserta yang pada Desember 2020 dialihkan ke BP Tapera.
Selanjutnya, Rieke meminta BPK melalui pimpinan DPR melakukan audit pemeriksaan dengan tujuan tertentu terkait bank kustodian yang telah disetujui Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk mengelola dana peserta Tapera. “Yaitu BNI, BJB, Bank Sumut Syariah, Bank Nagari, Bank Kaltimtara dalam kaitan pengelolaan dana investasi dan dana Tapera,” pungkas Rieke.
Sementara itu, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Suharso Monoarfa menjelaskan, program Tapera sebenarnya bersifat sukarela. Prinsipnya, mirip dengan tabungan haji.
Sehingga, tidak semua pegawai harus ditarik iuran tiap bulan. Karena iuran hanya dibebankan kepada mereka yang mau punya rumah dengan cara menabung di Tapera.
Saya bilang contoh tabungan haji, orang yang mau naik haji dia nabung satu ketika dia bisa naik haji, kalau ini ya untuk bisa beli rumah sesuai kapastias dia menabung,” ujar Suharso di Kompleks Parlemen, Selasa, (4/5/2024).
Ia menjelaskan, Tapera merupakan akumulasi modal oleh masyarakat yang bersifat sukarela. Sama seperti Singapura yang memiliki Capital Protected Fund (CPF). Namun, dalam hal ini CPF bersifat wajib, bukan sukarela.
Meski demikian, Suharso menekankan, hal yang paling penting dalam program tersebut adalah kepercayaan publik kepada pengelola duit tersebut, yakni pemerintah.
Selain itu, Suharso menjelaskan, awal mula munculnya ide Tapera berasal dari undang-undang saat dirinya masih menjabat Menteri Perumahan Rakyat (Menpera) 2009-2011. Saat itu, Pemerintah berpikir cara efektif agar masyarakat mampu memiliki rumah. Sebab, Negara wajib membantu warganya untuk memenuhi kebutuhan prioritasnya. Seperti sandang, pangan, dan papan.
“Kemampuannya itu baik untuk mengadakan rumah itu sendiri maupun bagaimana membelinya untuk mendapatkannya, apalagi sejak amandemen UUD, perumahan itu sudah menjadi hak dasar bagi setiap warga negara,” kata Suharso.
Kala itu, Suharso menyampaikan, Pemerintah mendapati backlog alias kesenjangan antara pendapatan pegawai dengan harga rumah yang ada. Selain itu, diketahui pula bahwa luasan tanah semakin kian hari kian terbatas. Berpijak pada hal itu, muncul kebijakan pembangunan rumah secara vertikal atau disebut rumah susun.
“Tapi yang kami dorong waktu itu bagaimana kalau semua daerah menyediakan landbank sedemikian rupa, karena di zaman saya itu, saya juga belajar dari AS, meski mereka negara federal tapi, melalui instrumen APBN, AS diadakan landbanking untuk kepentingan publik, salah satunya perumahan,” jelasnya.
Suharso menambahkan, pembangunan rumah lewat sistem tabungan, tidak hanya memberi manfaat kepada peserta. Namun, memberi manfaat yang sama kepada pengusaha properti. Ditambah lagi, mampu mengerek pertumbuhan ekonomi.
“Bayangkan industri di belakangnya yang akan ikut memompa untuk mengadakan. Syukur-syukur kalau itu membangkitkan industri di dalam negeri, semen-lah paku-lah, baja-lah,” paparnya.
TangselCity | 1 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Olahraga | 1 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
TangselCity | 20 jam yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
TangselCity | 17 jam yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
Pos Tangerang | 2 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu