TangselCity

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Dewan Pers SinPo

Akhir Kehidupan Seorang Jawara Banten

Oleh: Indah Noviariesta
Sabtu, 24 Agustus 2024 | 09:45 WIB
Ilustrasi
Ilustrasi

SERPONG - Mbah Durip bukanlah orang terkenal yang selevel dengan artis dangdut atau selebritas di layar infotainment. Dia bukanlah orang yang sering tampil di acara-acara pementasan musik maupun bintang film tersohor. Tapi siapa yang tidak mengenal dia sebagai jawara Banten yang pemberani dan pantang menyerah. Meski pada akhirnya, orang-orang menemukannya bahwa ia telah mati di emperan Pasar Tanah Abang, di sebuah rumah tua yang kumuh, lengkap dengan bau bacin dari air comberan dan got-got jalanan yang tak terurus.

Di masa-masa jayanya, Mbah Durip sering mengatrasikan pertunjukan debus keliling, dari alun-alun Banten, Pasar Lama Cilegon, Pasar Tanah Abang hingga pelabuhan Tanjung Priok. Dia sendiri tidak bermain debus, hanya duduk-duduk bersila di sepanjang pertunjukan debus. Seusai pertunjukan yang biasanya memakan waktu dua hingga tiga jam, Mbah Durip hanya memborehi minyak dan menyemburkan air putih di kepala orang-orang sakti yang memainkan pertunjukan, hingga kemudian para pemain yang tadinya dalam keadaan setengah sadar, tiba-tiba matanya terpejam, lalu terkesiap dan pulih seperti sedia kala.

Konon menurut kabar burung, sewaktu mudanya Mbah Durip pernah menaklukkan kebo bule yang mengamuk di alun-alun Kota Serang, Banten. Dengan ketangkasannya, serta kesaktian ajian dan mantra-mantranya, orang-orang dibuat terkesima saat kebo bule itu tiba-tiba berhenti dari amukannya, lalu terdiam kaku, serta menunduk malu di hadapan Mbah Durip. Itulah salah satu riwayat tentang masa lalu Mbah Durip, sampai kemudian istrinya yang cantik memerintahkan tukang cukur agar memangkas rambutnya, kemudian menyimpan potongan rambutnya seakan-akan di situlah letak kesaktian suaminya.

Dalam setiap pertunjukkan debus dari wilayah Banten hingga ibukota Jakarta, para penonton tergetar ketika menyaksikan Mbah Durip di lapangan pertunjukan. Padahal, dia bukanlah salah satu dari tujuh pemain debus yang akan tampil. Tetapi ketika masyarakat mendengar kabar, bahwa Mbah Durip akan hadir dalam pertunjukan, itu pertanda bahwa lapangan akan dibanjiri dan disesakkan oleh ribuan pengunjung.

Berpakaian hitam-hitam dengan ikat kepala berwarna biru tua, wajahnya dilapisi dengan bedak tebal. Dia berjalan pelan mengitari penonton setelah penampilan beberapa pria yang menyemburkan api dari mulutnya, serta dua orang pemuda yang mengupas kelapa dengan gigi-giginya yang tajam. Suara degung dan terompet dipermainkan. Mbah Durip menambil posisi di tengah hadirin sambil duduk bersila bagaikan patung Budha yang sedang bermeditasi. Orang-orang menatapnya dengan seksama, sebagian geleng-geleng kepala sambil berdecak kagum. Suasana begitu hening, seakan penonton berada dalam kegembiraan yang tertahan.

Pada saat penampilan pemuda yang kulit tubuhnya kebal dan lehernya tak mempan disembelih, Mbah Durip tetap duduk terpaku, tak bergeming. Dia hanya mengarahkan pandangannya ke dedaunan pohon yang rindang di lapangan. Boleh jadi, bila dia bergerak sedikit saja, berarti akan berakibat fatal bagi para pemain.

Dua orang pemain beratraksi membawa gelas-gelas kaca, kemudian mengunyah-ngunyah gelas tersebut seperti memakan keripik peyek maupun kerupuk gurih. Keduanya memancangkan tatapan ke arah Mbah Durip, seperti memohon doa restu, sementara Mbah Durip tak membalas mereka dengan ekspresi tertentu. Hanya memejamkan mata dan menarik nafas panjang.

Ketika penonton bertepuk-tangan, Mbah Durip mengamit gelas berisi air putih, lalu melangkah mengelilingi penonton dan memercikkan air di gelas hingga habis. Suara kendang dan terompet kembali dipermainkan. Penonton yang merasa terperciki air seakan merasa senang dan gembira karena telah menerima berkah dari sang jawara alias sesepuh debus, yang konon setiap tetes air dari tangannya sangat berkhasiat bagi segala macam penyakit dan marabahaya yang dapat mengancam umat manusia.

Penampilan yang hanya lima menit itu konon mempunyai tarif tersendiri yang sudah dijanjikan pihak Pemda setempat, meski tak pernah ia menyebutkan berapa jumlahnya. Sementara, sumbangan dari penonton hanya cukup untuk mengamplopi beberapa pemain termasuk pemusik yang dilibatkan. Tak pernah sekalipun dalam semua penampilan Mbah Durip yang dianggap mengecewakan. Semua penonton merasa puas, meskipun ia hanya berperan sebagai tokoh yang beberapa saat mengelilingi penonton di sela-sela pertunjukan debus tersebut.

Tetapi para wanita penggoda tak urung bermunculan di acara-acara semacam itu. Mereka mendekati Mbah Durip seakan membutuhkan rayuannya. Terutama para janda, baik janda muda maupun tua ikut menyemarakkan acara-acara yang melibatkan kotak-kotak saweran semacam itu.

Sesekali dalam atraksi tersebut seorang pemain yang lengannya bersimbah darah, seolah-olah bekas sabetan golok. Tiba-tiba Mbah Durip mengambil botol berisi minyak ramuan, lalu seketika memborehi minyak tersebut di bagian lengan yang terluka, hingga musnahlah darah yang menetes berikut luka goresan di lengannya. Para penonton yang tadinya terperangah dengan tatapan mencekam, tiba-tiba menghela nafasnya lega hingga tersenyum merekah.

Sensasi semacam itu tak beda jauh dengan penampilan mentalis atau ilusionis yang membelah tubuh manusia menjadi dua, atau memisahkan tubuh manusia dari kepalanya, seperti yang ditayangkan di layar-layar teve, atau bahkan semacam trik-trik permainan sulap yang menghidupkan kembali kelinci atau burung-burung merpati yang sudah mati.

Namun pada akhirnya, semua ketenaran dan popularitas yang disandang Mbah Durip, kini telah musnah ditelan zaman. Nama besarnya tenggelam dihempas angin perubahan. Padahal, dalam setiap pertunjukan debus yang digelar, tak pernah ia mengalami kegagalan. Sampai kemudian, istrinya menyuruhnya agar mencukur rambutnya di kedai pangkas rambut. Tapi, kini apa yang harus dilakukannya? Bahkan untuk memotong rambutnya yang memanjang sekalipun, ia membutuhkan uang untuk dibayarkan.

Menurut kabar dari Bantennews.com yang pertama kali memberitakan kematian Mbah Durip, konon ia pernah beberapa kali mengalami kegagalan saat menampilkan para pemain muda di lapangan atraksi. Beberapa di antara mereka dibawa ke rumah sakit, karena mengalami pendarahan. Bahkan, ada juga pemain debus yang beberapa hari kemudian meninggal dunia, karena luka-luka pada organ tubuhnya yang tak bisa ditangani pihak kedokteran.

Namun demikian, Mbah Durip mampu mengubur semua insiden kecelakaan itu, seraya menenangkan keluarga dan masyarakat bahwa kematiannya disebabkan penyakit yang menjadi pembawaannya. Ia mampu menjaga reputasi dan nama baiknya, berkat kemampuannya berdiplomasi ditambah jumlah pendukungnya yang masih menaruh kekaguman padanya. Di sisi lain, kadang ada juga penonton yang memprotes karena faktor bahayanya, terutama jika yang memainkan adalah anak-anak muda yang hanya ingin pamer menunjukkan keberanian dan keangkuhannya di hadapan ribuan penonton.

Meski demikian, pihak aparat tak mau menindaklanjuti perkara Mbah Durip menyangkut ribuan penggemar yang masih mendukungnya, dikhawatirkan adanya gesekan dan bentrokan dengan pihak yang menentangnya. Belum lagi, jika ia menggelar pertunjukan di Tanah Abang, suatu wilayah yang paling banyak mengagumi kehebatan Mbah Durip, dari anak-anak muda yang mengenakan jubah dan kopiah di kepalanya, yang selalu menganggap Mbah Durip selaku guru spiritual yang dianggap maha sakti dan tak tertandingi.

Di waktu mudanya, Mbah Durip pernah mengikuti beberapa lomba pencak silat, bahkan pernah turun di ring tinju. Tetapi, ia memutuskan diri menyerah mengikuti profesi kompetitif, di mana saingannya sudah terlatih sejak usia balita. Ia mengaku dirinya lamban dan tak mahir menggerakkan bagian-bagian indera tubuhnya yang kurang gesit dan cekatan.

Selama bertahun-tahun Mbah Durip dikenal akrab di sekitar warung kopi Pak Salim di sekitar pertigaan Pasar Jombang. Tetapi kini, ia sadar bahwa uang sangat dibutuhkan untuk sekadar meneguk segelas kopi dan sebatang rokok.

Sekarang dia sudah almarhum, yang membuat para penggemar di kalangan kaum tua merasa kehilangan. Segala ingatan mereka tentang sensasi masa lalu yang menggelora. Sosok berbaju hitam-hitam dengan ikat kepala biru tua, dengan wajah berlapis bedak duduk bersila di tengah lapangan pertunjukan debus, mengelilingi para penonton yang hadir dengan cipratan air yang membawa barokah dan kegembiraan.

Kisah mengenai dirinya terasa masih melekat dalam ingatan orang-orang tua yang pernah mengaguminya. Tetapi, bagi kalangan kaum muda saat ini, dia bukanlah sebuah nama.

Kini, telah muncul lakon-lakon pertunjukan bagi generasi baru dari kalangan pesulap maupun trik-trik mentalis dan ilusionis. Mereka bahkan tampil di panggung-panggung hingga menghiasi layar kaca dan ruang-ruang media sosial. Generasi baru ini terus berinovasi dengan kemampuan berkomunikasi yang lebih aktif dan atraktif, hingga para tetua yang cenderung bisu dengan segala keterbatasan bahasa dan alat peraga, semakin tersingkirkan dalam percaturan dan persaingan global.

Itulah hukum alam yang terjadi, dan kematian itu juga bagian dari hukum alam yang mesti berlaku. Kematian Mbah Durip yang merana dan kesepian di rumah tua kumuh di emperan pasar Tanah Abang, boleh jadi lantaran ia merasa sudah sempurna, hingga tak mau menyesuaikan diri dengan segala perubahan yang ada.

Komentar:
Berita Lainnya
Foto : Ist
Jangan Potong Anggaran Bansos
Sabtu, 14 September 2024
Prof. Dr. Muhadam Labolo
Arah Pembangunan Pemerintahan
Jumat, 13 September 2024
Dahlan Iskan
Machmud Algae
Kamis, 12 September 2024
Dahlan Iskan
Suami Batak
Rabu, 11 September 2024
Dahlan Iskan
Disway Malang
Selasa, 10 September 2024
Dahlan Iskan
Blangkon Merah
Senin, 09 September 2024
GROUP RAKYAT MERDEKA
sinpo
sinpo
sinpo