Lindungi Perempuan Dan Anak Jangan Cuma Omon-omon
JAKARTA - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mengusulkan dua Rancangan Undang-Undang (RUU) dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Jangka Menengah 2025-2029.
Kedua RUU tersebut merupakan upaya memperkuat pelaksanaan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak di tataran kebijakan.
Pelaksana Tugas (Plt) Sekretaris KemenPPPA, Titi Eko Rahayu menyatakan, pihaknya mengusulkan dua RUU dalam prolegnas 2025-2029. Kedua RUU itu adalah RUU tentang Kesetaraan Gender dan RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Dia menjelaskan, RUU tentang Kesetaraan Gender didorong masuk prolegnas, karena belum semua perempuan bisa menikmati akses, partisipasi, kontrol, dan manfaat yang seimbang dalam berbagai bidang pembangunan. “Kami sudah menyusun RUU tentang Kesetaraan Gender, yang diharapkan mampu menjawab seluruh tantangan yang ada,” ujar Titi dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (12/10/2024).
Selain itu, lanjut dia, pihaknya juga mendorong RUU Kesetaraan Gender masuk dalam Prolegnas, karena Instruksi (Inpres) Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional. Inpres itu belum mampu melaksanakan advokasi pengarusutamaan gender secara secara efektif, karena hanya mengikat lembaga eksekutif.
“Karenanya, perlu pengaturan yang lebih kuat terkait sistem dan mekanisme bagi penyelenggara negara di lingkungan eksekutif, legislatif, dan yudikatif untuk mewujudkan kesetaraan,” jelas Titi.
Dia mengklaim, RUU Kesetaraan Gender yang diusulkan kementeriannya sejalan dengan program prioritas dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2025-2029, serta tugas dan fungsi bagi KemenPPPA sebagai kementerian yang mengampu isu pemberdayaan perempuan.
Terkait usulan RUU tentang Perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Titi menjelaskan, UU yang saat ini berlaku masih memiliki kendala implementasi di lapangan. Hal itu berdasarkan kajian yang dilakukan sejumlah elemen masyarakat sipil.
Selain itu, lanjut dia, faktor perubahan sistem hukum juga turut mempengaruhi perlunya perubahan UU Nomor 11 Tahun 2012. Di antaranya, disahkannya UU Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan dan UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Jadi, secara hukum, Undang-Undang tentang Sistem Peradilan Pidana Anak juga membutuhkan sejumlah penyesuaian,” imbuhnya.
Asisten Deputi Perumusan Kebijakan Perlindungan Khusus Anak, Muhammad Ihsan menambahkan, salah satu hal yang membutuhkan perubahan segera pada sistem peradilan pidana anak, ialah soal pendampingan pada anak yang berhadapan dengan hukum (ABH). Saat ini, kata dia, proses pendampingan masih dilaksanakan terpisah-pisah, atau belum menyeluruh dari berbagai aspek.
Selain itu, lanjut Ihsan, pendampingan yang diberikan belum berkelanjutan. Salah satu penyebabnya, keterbatasan SDM.
Jadi, dibutuhkan perbaikan di tataran kebijakan untuk mendorong implementasi sistem peradilan pidana anak yang komprehensif, serta demi mewujudkan pemenuhan dan perlindungan anak,” jelasnya.
Sementara itu, Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan KemenPPPA, Ratna Susianawati menyampaikan, jika melihat Indeks Pembangunan Manusia dan Indeks Pembangunan Gender, masih ada kesenjangan antara laki-laki dan perempuan. Karenanya, dibutuhkan langkah strategis yang didukung oleh payung hukum yang kuat.
“Untuk memperkecil gap yang lebar dan tidak meningkat secara signifikan, dibutuhkan landasan hukum yang kuat. Hal itu akan mendorong seluruh sektor turut serta dalam mengupayakan kesetaraan,” ucapnya.
Ketua Kelompok Kerja Sosial Budaya dan Politik, Hukum dan HAM Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kementerian Hukum dan HAM, Septyarto mendorong KemenPPPA melakukan pendalaman materi dan penguatan argumentasi terhadap RUU Kesetaraan Gender dan RUU tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Dia berharap, aturan perundang-undangan disusun sesuai dengan kebutuhan, disajikan secara objektif, serta menyelesaikan permasalahan yang ada di masyarakat, sesuai agenda pembangunan nasional.
“Dalam menghapuskan diskriminasi, KemenPPPA membutuhkan panduan dasar yang kuat. Rancangan Undang-Undang ini diharapkan bisa benar-benar menjawab permasalahan yang ada di masyarakat,” tandasnya.
Di media sosial X, perbincangan soal kesetaraan gender dan sistem peradilan anak di Indonesia juga cukup ramai diperbincangka. Bahkan, kedua persoalan itu juga kerap menimbulkan perdebatan di kalangan netizen.
“Dalam konteks pembangunan demokrasi, jangan pandang Perempuan sebagai objek yang terbatas hak dan kewajibannya. Kami pun butuh lapangan pekerjaan yang sesuai keterampilan kami. Tidak sedikit dari kami yang pendidikannya melebihi laki-laki loh. Jadi, tinggal payung hukumnya agar bisa terwujud kesetaraan gender,” tulis akun @flowewristsblie.
“Kalau mau nuntut kesetaraan gender, maka belajar jangan nuntut keistimewaan berlebihan dong. Kalau sekarang, di commuter line saja ada gerbong khusus wanita. Itu kan bentuk keistimewaan,,” timpal akun @RocknRRollla4.
Soal isu peradilan anak, akun @gemplongsenayaan33 menyampaikan, selama ini sistem peradilan anak terkesan kurang transparan. Sebab itu, revisi UU peradilan anak harus mengedepankan asas transparansi.
“Selain kasus yang melibatkan anak-anak pejabat, sistem peradilan anak selama ini terkesan kurang terkekspos. Padahal, tidak jarang kasus-kasus pidana yang melibatkan anak adalah kasus-kasus pembunuhan hingga pemerkosaan,” cuitnya.
“Tolong kalau direvisi pikirkan juga soal Kesehatan mental korban maupun pelaku yang masih di bawah umur. Jangan lupa pikirkan juga soal masa depan anak yang berhadapan dengan hukum,” ucap akun @dongaarrc1a.
Pos Tangerang | 1 hari yang lalu
Pendidikan | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu