Menkes Beri Penghargaan Untuk Dokter Aulia
Bakal Putus Mata Rantai Perundungan Dokter
JAKARTA- Kementerian Kesehatan (Kemenkes) memberikan penghargaan kepada dokter Aulia Risma Lestari. Pemberian itu dilakukan atas keberaniannya mengungkap kasus perundungan atau bullying saat melaksanakan Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) anestesi Universitas Diponegoro di RSUP Kariadi, Semarang, Jawa Tengah.
Penghargaan untuk Aulia diberikan langsung Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin kepada ibundanya, Nuzmatun Malinah, di Kantor Kemenkes, Jakarta, Kamis (9/1/2024).
Budi mengungkapkan, Kemenkes ingin mengucapkan terima kasih karena Aulia selama ini sudah berkorban untuk bertahan dari berbagai macam tekanan.
“Untuk bisa memperbaiki sistem pendidikan dokter spesialis yang ada di rumah sakit pendidikan kita,” kata BGS- sapaan akrab Budi Gunadi Sadikin.
Dia mengingatkan pentingnya momen ini sebagai titik balik untuk memperbaiki sistem pendidikan dokter spesialis di Indonesia.
Eks Dirut Inalum ini menegaskan, dalam pendidikan dokter spesialis harus terbangun budaya yang baik, saling berempati dan tidak ada saling menekan antarpeserta didik.
Jadi, pada saat lulus mereka memiliki kondisi mental yang baik saat menghadapi pasiennya.
Budi tidak ingin kejadian Aulia terulang kembali. Dia mengajak dokter-dokter senior memutus tradisi perundungan di PPDS untuk membangun budaya yang lebih baik di pendidikan para dokter spesialis.
Karena mereka nanti akan menghadapi ratusan ribu sampai jutaan pasien,” ingatnya.
Eks Direktur Utama (Dirut) Bank Mandiri ini juga meminta para pengajar meluangkan lebih banyak waktu untuk peserta PPDS.
“Jangan lepaskan pengajarannya ke para senior. Karena yang terjadi di sistem banyak para pengajar melepaskan tanggung jawab pengajarannya ke para senior,” ucap Budi.
Ibunda Aulia, Nuzmatun, mengucapkan terima kasih kepada Menkes yang sudah memberikan perhatian terhadap kasus anaknya.
Dia berharap, kasus hukum perundungan anaknya bisa selesai sampai tersangka mendapatkan hukuman yang setimpal.
Nuzmatun meminta aparat penegak hukum yang menangani kasus anaknya bisa bersikap adil.
Nanti yang akan bertugas sebagai kelanjutan dari penetapan tersangka, bisa diberikan kekuatan.
“Jadi, benar-benar mereka akan melaksanakan keadilan yang seadil-adilnya,” tegasnya.
Terpisah, Koordinator Junior Doctor Network Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Tommy Dharmawan mengakui, aksi perundungan kerap terjadi di dunia kedokteran. Bahkan, aksi itu telah menjadi sebuah budaya.
Menurutnya, pola aksi perundungan PPDS di Indonesia sudah terjadi sejak lama. Salah satunya, pola senioritas yang kurang baik dan paling sering terjadi di PPDS Tanah Air.
“Pola bullying sudah terjadi sangat lama. Pola kultur seperti ini ada, kami tidak menafikkan,” katanya.
Tommy berharap, pola senioritas dalam PPDS dihapus. Dia mencontohkan, ada sejumlah dokter yang tidak bisa melakukan praktik di suatu daerah karena sudah dikuasai oleh seniornya.
Selain itu, Tommy juga menyoroti PPDS yang tidak digaji. Dia menilai, gaji sangat berpengaruh pada kasus perundungan, sehingga beberapa oknum dokter senior minta diberikan makan, minta diantar, hingga minta diberikan pelayanan di luar akademis.
Kalau PPDS diberi gaji, minimal mereka bisa beli makan sendiri atau ketika anak sakit.
“Bayangkan, peserta PPDS rentang usia 27-35 tahun, mereka harusnya sudah punya gaji di usia itu dan berkeluarga. Kalau anaknya sakit, keluarganya sakit, tidak ada gaji sama sekali,” tuturnya.
Kasus dokter Aulia ini menjadi titik penting dalam perjalanan pembenahan sistem pendidikan dokter di Indonesia.
Kemenkes berkomitmen menjadikan pengalaman pahit dokter Aulia sebagai pelajaran berharga agar tidak ada lagi korban dari budaya pendidikan yang tidak sehat.
Olahraga | 2 hari yang lalu
Olahraga | 1 hari yang lalu
Olahraga | 2 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
Pos Banten | 10 jam yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Olahraga | 12 jam yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu