TangselCity

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Jadwal imsak
Dewan Pers

Daging Mentah

Oleh: Dahlan Iskan
Editor: Redaksi
Senin, 10 Maret 2025 | 11:05 WIB
Dahlan Iskan
Dahlan Iskan

"Sudah mencoba makanan daging mentah?”

 

 

"Belum".

 

"Saya juga belum. Padahal sudah enam tahun di sini".

 

Yang bertanya itu Ny Al Busyra Basnur, istri duta besar Indonesia di Ethiopia. Saya pun tidak punya keinginan untuk mencobanya. Itulah salah satu makanan terpopuler di Ethiopia.

 

Sampai akhirnya saya pergi ke region di bagian selatan Ethiopia: Arba Minch. Naik pesawat. Satu jam dari Addis Ababa.

 

Saya ingin tahu apakah wilayah selatan juga segersang bagian utaranya. Tidak. Beda total. Di selatan banyak pohon. Lebih hijau.

 

Begitu mendarat di Arba Minch yang terlihat hamparan kebun pisang. Luas sekali. Arba penghasil pisang terbesar di Afrika. Pohonnya pendek. Sekitar dua meter. Tapi tandan buahnya panjang. Separo tinggi pohonnya.

 

Bandara di kota kecil ini sangat kecil. Bangunan lama. Sangat bandara sederhana. Seperti Sumbawa. Tapi landasannya bisa untuk Boeing 737-800.

 

Saya bermalam di hotel bintang empat di Arba Minch. Di pinggir danau. Agak jauh dari danau. Di puncak tebingnya. Dari kamar hotel bisa melihat luasnya danau itu nun di jauh di bawah sana.

 

Panjang danau ini 60 km. Sepanjang Jakarta sampai Depok. Lebarnya 20 km. Dikelilingi hutan taman nasional yang dilindungi.

 

Ke hutan itulah pagi harinya saya pergi. Naik mobil dulu. Lalu jalan kaki. Masuk-masuk ke rerimbunan pohon. Sampai jauh ke dalamnya.

 

"Ada nyamuk di sini?”

 

"Tidak ada".

 

"Ada harimau?”

 

"Tidak ada".

 

"Ular?”

 

"Kadang-kadang".

 

Ini wilayah yang berbeda di Ethiopia. Ada sumber air di tengah hutan itu. Banyak. 40 sumber (Arba Minch). Airnya jernih sekali. Saya minum dari parit di situ. Pakai daun yang mirip daun talas. Airnya tidak bisa menempel di daun.

 

Saya tidak mau diajak lihat peternakan buaya. Bukan karena saya sendiri buaya, tapi sudah pernah melihatnya di Tarakan, Kaltara. Juga sudah melihat yang lebih besar di Darwin, Australia Utara.

 

Kami pun keluar dari hutan. Ke kota. Cari restoran paling terkenal di situ.

 

Jalan dari hutan ke kota masih berdebu. Kanan kirinya lagi digali. Bangun parit. Juga trotoar.

 

Di resto itu saya melihat banyak wanita berkerudung putih. Juga berbayu seperti abaya sewarna.

 

"Kenapa banyak wanita pakai jilbab?"

 

"Ini kan hari Minggu. Mereka baru pulang dari gereja," ujar teman di Arba Minch yang menemani saya.

 

Begitulah di Ethiopia. Wanita Kristennya juga berkerudung dan berabaya. Khususnya kalau ke gereja. Lalu saya perhatikan lehernyi: ada kalung salib. Kerudung, abaya, salib. Jadi pandangan paradok bagi saya yang dari Indonesia.

 

Salah satu wanita itu ternyata kenal baik dengan teman saya. Ketika kami datang ke mejanyi, dia dan keluarganya sedang makan. Si wanita menyuapkan makanan ke mulut teman. Dengan tangannyi. Lalu menyuapkan makanan serupa ke mulut saya. Itulah tanda keakraban berteman.

 

Saya kunyah pelan-pelan makanan itu: ingin tahu rasanya. Juga ingin tahu itu makanan apa. Ooohhhh... rasa daging mentah. Inilah yang dimaksud Bu Al.

 

Daging mentahnya tidak terlihat. Dibungkus dengan cuilan "tortila" Ethiopia. "Tortila"-nya digulung. Bukan dibiarkan dalam bentuk lembaran.

 

"Tortila" Afrika itu bukan dibuat dari tepung gandum. Itu terbuat dari tepung eff. Yakni tanaman seperti untaian padi. Hanya gabahnya sangat kecil. Besaran berasnya sekecil menir. Eff sendiri artinya "hilang". Saking kecilnya. Saat panen bijinya gampang hilang.

 

Kami pun meninggalkan meja wanita itu. Meja kami sedang dipersiapkan. Restorannya penuh padat. Kami harus  menunggu sesaat.

 

Setelah dapat meja, saya ditanya: makan apa. Saya minta daging bakar seperti di resto Ortodok di Makelle. Tidak ingin yang daging mentah.

 

Mereka sendiri memesan makanan daging mentah. Dua orang. Teman dan sopir. Saya minum air putih. Mereka minum bir. Saya pun jadi tahu bagaimana cara mereka makan daging mentah.

 

Rasa daging mentah itu ternyata tidak aneh. Enak. Dagingnya tidak basah. Sama sekali tidak ada sisa darah. Dagingnya juga tidak berair. Rasanya seperti makan sashimi tuna yang sangat segar.

 

Kembali ke hotel saya diberi tahu: hotel itu milik atlet pelari maraton. Anda kenal namanya: Haile Gebrselassie. Juara Olimpiade. Juara dunia beberapa kali. Juara maraton di mana-mana: Amerika, Jepang, Inggris...

 

Hotel miliknya tidak hanya di lake side Arba Minch. Haile punya hotel "Haile" di banyak kota. Termasuk di Addis Ababa. Ia juga jadi dealer Hyundai. Kini sedang bersiap memproduksi mobil listrik Hyundai di Ethiopia.

 

Masih banyak lagi bisnisnya. Atlet jadi orang kaya raya. Dan itu di Ethiopia.

Komentar:
Berita Lainnya
Dahlan Iskan
Variasi Unggulan
Kamis, 06 Maret 2025
Prof. Dr. Muhadam Labolo. (Dok. pribadi)
Retret Kepala Daerah
Senin, 24 Februari 2025
Dahlan Iskan
Tingtal Sebahu
Senin, 24 Februari 2025
Dahlan Iskan
Juara Inul
Jumat, 21 Februari 2025
Dahlan Iskan
Madinah Kabur
Kamis, 20 Februari 2025
Perkim
ePaper Edisi 10 Maret 2025
Berita Populer
03
Inter Milan Kokoh Di Klasemen Liga Italia

Olahraga | 1 hari yang lalu

04
05
MotoGP, Pembalap Ducati Sama-sama Hebat

Olahraga | 1 hari yang lalu

10
GROUP RAKYAT MERDEKA
RM ID
Banpos
Satelit