TangselCity

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Haji 2025

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Dewan Pers

Mall Ramai, Tapi Tenan Ngeluh Minim Transaksi

Reporter: Farhan
Editor: AY
Kamis, 24 Juli 2025 | 10:50 WIB
Ilustrasi. Foto : Ist
Ilustrasi. Foto : Ist

JAKARTA - Fenomena “rojali” (rombongan jarang beli) yang kembali marak di pusat perbelanjaan, menjadi indikator nyata lemahnya daya beli masyarakat. Hal ini sekaligus menjadi tantangan serius bagi sektor ritel dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di tengah ketidakpastian ekonomi nasional.

 

Di tengah pelemahan ekonomi global, pusat perbelanjaan di kota besar kembali diramaikan fenomena rojali. Istilah ini meru­juk pada kelompok masyarakat yang datang ke mall beramai-ramai, tapi minim melakukan transaksi belanja.

 

Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Alphonzus Widjaja mengatakan, fenomena rojali bukanlah hal baru. Namun inten­sitasnya sangat tergantung pada kondisi ekonomi rumah tangga.

 

Daya beli masyarakat yang belum normal sangat mempengaruhi perilaku belanja. Namun, masyarakat tetap datang ke mall karena pusat perbelanjaan kini telah bertransformasi menjadi ruang publik multifungsi yang menyediakan kebutuhan rekreasi, kuliner dan hiburan,” ujar Alphonzus dalam keterangan yang diterima Rakyat Merdeka, Rabu (23/7/2025).

 

Meski daya beli melemah, tingkat okupansi pusat perbe­lanjaan nasional hingga paruh pertama 2025, tetap berada di kisaran 80-85 persen.

 

Alphonzus optimistis, kondisi ini bersifat sementara. Transaksi di mall diyakini bakal kembali membaik seiring pulihnya kon­sumsi masyarakat.

 

Secara umum, fenomena ini belum mengganggu kinerja pusat perbelanjaan dari segi pendapatan. Terutama karena daya beli di luar Pulau Jawa relatif lebih stabil,” jelasnya.

 

Sebagai respons, pengelola pusat belanja dan penyewa tenan aktif meluncurkan program dis­kon usai Idul Fitri 2025. Diskon akan terus berlanjut hingga Na­tal dan Tahun Baru 2026.

 

“Promo belanja disiapkan tidak hanya untuk mendorong transaksi. Namun untuk mem­perpendek periode low season. Kali ini lebih panjang, karena Ramadan dan Lebaran datang lebih awal,” imbuh Alphonzus.

 

Dia memperkirakan, industri pusat perbelanjaan tetap akan tumbuh tahun ini, meski hanya mencatat pertumbuhan satu digit atau di bawah 10 persen.

 

Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Kalimantan Barat Arya Rizqi Darsono mengatakan, fenomena rojali bukan sekadar kebiasaan jalan-jalan tanpa belanja. Ini sinyal penting dari kondisi ekono­mi masyarakat kelas menengah.

 

Menurutnya, banyak mall yang terlihat ramai tapi tenan menge­luhkan sepinya transaksi.

 

“Bisa jadi karena faktor tekanan ekonomi, harga kebutuhan pokok naik, cicilan menumpuk dan beban hidup makin be­rat,” kata Rizqi kepada Tangselpos.id, Rabu (23/7/2025).

 

“Yang perlu ditekankan, bukan berarti masyarakat tak ingin be­lanja, tapi mereka sedang dalam mode bertahan,” imbuhnya.

 

Rizqi menekankan pentingnya inovasi pengalaman belanja yang lebih emosional dan terjangkau, serta perlunya insentif lang­sung dari Pemerintah kepada masyarakat.

 

“Kalau fenomena ini ter­us dibiarkan, sektor ritel dan UMKM bisa terganggu. Kita perlu kolaborasi, Pemerintah, pelaku usaha dan masyarakat saling menopang pemulihan ekonomi ini,” ujar Rizqi.

 

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti mengatakan, fenomena rojali se­bagai refleksi tekanan terhadap konsumsi rumah tangga.

 

Orang hanya akan belanja jika ada diskon. Tapi sayang, yang sering dipromosikan bukanlah barang-barang kebutuhan uta­ma,” kata Esther kepada Tangselpos.id, Rabu (23/7/2025).

 

Menurutnya, konsumsi masyarakat masih tertekan oleh harga barang yang tinggi, gelom­bang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan minimnya diskon un­tuk kebutuhan pokok. Karena itu, target pertumbuhan ekonomi 8 persen dari Pemerintahan Prabo­wo Subianto akan sulit tercapai jika tren ini berlanjut.

 

“Fenomena ini mencerminkan konsumsi belum pulih, sementara ekspor dan pengeluaran Pemerin­tah juga melemah. Artinya, mesin pertumbuhan utama belum bekerja optimal,” jelas Esther.

 

Karena itu, saran Esther, kebijakan fiskal dan moneter harus lebih terarah untuk mem­perkuat daya beli masyarakat. Sekaligus menjaga momentum pertumbuhan ekonomi jangka menengah yang inklusif dan berkelanjutan.

Komentar:
RSUD
ePaper Edisi 24 Juli 2025
Berita Populer
01
Penasihat Komisaris

Opini | 1 hari yang lalu

02
Ujian Nasional Diganti TKA

Nasional | 2 hari yang lalu

05
Menu MBG Di SDN 3 Rawa Buntu Berlendir & Basi

TangselCity | 2 hari yang lalu

06
07
Jalur Kereta Api Lebak Bakal Ditata

Pos Banten | 2 hari yang lalu

08
Banjir & Sampah Jadi Keluhan Utama Warga

TangselCity | 2 hari yang lalu

10
Presiden Prabowo Luncurkan Logo HUT Ke-80 RI

Nasional | 2 hari yang lalu

GROUP RAKYAT MERDEKA
RM ID
Banpos
Satelit