TangselCity

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

RELIJIUCITY

Indeks

Dewan Pers

Jabatan Bukan Takhta

Oleh: Budi Rahman Hakim, Ph.D.
Editor: Redaksi selected
Jumat, 10 Oktober 2025 | 12:01 WIB
Budi Rahnan Hakim. Phd. Foto : Dok. Pribadi
Budi Rahnan Hakim. Phd. Foto : Dok. Pribadi

SERPONG - Jabatan sering diperlakukan seperti takhta: tempat duduk yang tinggi, dihiasi simbol-simbol prestise, dan disapa dengan protokoler panjang. Padahal, dalam pandangan sufistik, jabatan bukan tempat bertakhta, tetapi ladang untuk berkhidmah. Ia bukan mahkota, melainkan beban yang kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah.

 

Tangerang Selatan, sebagai kota yang sedang tumbuh pesat, menyimpan paradoks. Di satu sisi, pembangunan infrastruktur berjalan cepat: jalan diperlebar, gedung perkantoran bertambah, dan APBD meningkat signifikan. Namun di sisi lain, keluhan warga kecil masih sama: sulitnya mengakses layanan dasar, lambannya respons kelurahan, dan minimnya kehadiran pejabat di lapangan. Birokrasi terasa elitis—lebih sibuk pada aturan dan laporan, daripada mendengar dan melayani.

 

Dalam kitab Tafsir Munir dan Nashaih al-‘Ibad, Syekh Nawawi al-Bantani, ulama besar Nusantara yang hidup di Makkah pada abad ke-19, menegaskan bahwa ‘adl (keadilan) bukan sekadar membagi hak secara sama, tetapi menghadirkan keseimbangan batin dalam memutuskan kebijakan. Pemimpin yang adil bukan hanya yang tidak korup, tetapi juga yang tidak membiarkan rakyatnya terpinggirkan oleh sistem yang ia bangun sendiri. Inilah “keadilan batin” yang jarang dibicarakan dalam wacana pembangunan kota.

 

Sayangnya, logika birokrasi modern sering kali berhenti pada angka. Target serapan anggaran dikejar mati-matian, proyek fisik dipamerkan lewat infografis, tetapi dampak sosialnya minim. Jalan jadi lebar, tapi pedagang kaki lima kehilangan tempat. Gedung baru berdiri, tetapi musala warga terpinggirkan. Statistik jadi lebih penting daripada cerita hidup rakyat.

 

Dalam tarekat, ada konsep khidmah—pelayanan sebagai ibadah. Seorang murid tarekat diajarkan bahwa melayani sesama adalah jalan tercepat menuju ridha Allah. Kiai dan mursyid menjadi teladan bukan karena statusnya, tapi karena kesediaannya mengangkat beban murid-muridnya. Seorang pemimpin daerah sejatinya adalah mursyid birokrasi: ia menuntun, bukan menguasai; ia mendampingi, bukan menghakimi.

 

Kita jarang membicarakan birokrasi sebagai amal ibadah. Padahal, Syekh Nawawi mengingatkan dalam Tanqih al-Qaul: setiap keputusan pemimpin adalah doa yang hidup—ia akan kembali kepada pembuatnya. Jika niatnya khidmah, ia akan jadi amal; jika niatnya riya’, ia akan jadi penyesalan. Maka pejabat publik seharusnya memandang kantor bukan sebagai kursi kehormatan, tapi mimbar pelayanan. Surat keputusan bukan sekadar tanda tangan, tapi janji kepada Tuhan.

 

Kota Tangsel butuh birokrasi yang turun ke lapangan. Bukan hanya memeriksa proyek dengan rombongan resmi, tetapi hadir diam-diam mendengar warga. Butuh pejabat yang berani menunda seremonial untuk mendahulukan layanan. Butuh aparatur yang lebih senang menghapus air mata daripada mengumpulkan plakat penghargaan. Sebab warga tidak mengukur kesuksesan pemimpinnya dari jumlah baliho, tapi dari rasa tenteram yang mereka alami.

 

Pemerintah kota juga perlu meninjau ulang paradigma proyek. Jangan hanya mengejar serapan anggaran menjelang akhir tahun, tetapi pastikan setiap rupiah yang keluar menambah kualitas hidup warga yang paling rentan. Dalam bahasa sufistik, ‘adl adalah keseimbangan; khidmah adalah keberpihakan. Jika keduanya berjalan, kota ini akan lebih dari sekadar “maju”—ia akan menjadi “berkah”.

 

 Jabatan yang baik adalah jabatan yang membuat pemegangnya takut—takut menyia-nyiakan amanah, takut menyakiti yang lemah, takut tidak adil di hadapan Allah. Sebab pada akhirnya, jabatan bukan takhta untuk diagungkan, tapi ujian untuk direndahkan. Yang merunduk dialah yang terangkat.

 

Semoga Tangsel menjadi kota di mana pejabatnya memahami hakikat ini. Jabatan sebagai khidmah, bukan takhta. Kekuasaan sebagai amanah, bukan kemewahan. Sebab seperti yang diajarkan Syekh Nawawi, “Pemimpin yang adil adalah bayangan Allah di bumi.” Dan bayangan itu hanya ada ketika matahari keikhlasan memancar.

Komentar:
GROUP RAKYAT MERDEKA
RM ID
Banpos
Satelit