Anies Klaim Banjir Di DKI Surut Lebih Cepat 72 Jam
JAKARTA - Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengakui sejumlah wilayah masih kebanjiran. Namun, dia mengklaim kondisinya sudah jauh lebih terkendali dibanding lima tahun lalu. Jumlah daerah tergenang menurun, dan surut lebih cepat, 72 jam.
Anies berkilah, jumlah wilayah masih tergenang karena sistem drainase memiliki ambang batas. Kapasitas tampungan drainase Jakarta berkisar 100-150 mili meter per hari (mm/hari).
“Apabila turun hujan dengan curah di bawah 100 mm/hari, maka kita bisa memastikan Jakarta aman, hujan tertangani dengan baik. Tapi jika curah hujan ekstrem berada di atas angka 100 mm/hari, mau-tidak mau air akan tergenang, terjadilah banjir,” kata Anies, Sabtu (8/10).
Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ini memaparkan, pada 2020 tercatat curah hujan terekstrem mencapai 377 mm/hari. Namun, lebih dari 95 persen daerah tergenang surut dalam waktu 96 jam.
Hal ini lebih cepat dibanding tahun-tahun sebelumnya. Misalnya, tahun 2015. Dengan curah hujan lebih rendah yakni 277 mm/hari, 95 persen wilayah yang tergenang baru surut dalam waktu 168 jam. Artinya, tahun 2020 lebih cepat 72 jam.
Tak cuma itu, papar Anies, jumlah pengungsi menurun. Pada 2007, curah hujan tercatat 340 mm/hari. Jumlah Rukun Warga (RW) tergenang sebanyak 955 RW dengan pengungsi mencapai 270.000 lebih warga.
Sedangkan, pada 2020, dengan curah hujan 377 mm/hari. Jumlah RW tergenang menurun menjadi 390 RW dengan jumlah pengungsi 36.000 warga.
“Hal ini menandakan dampak banjir di Jakarta dapat semakin terkendali,” tegasnya.
Dalam pengendalian banjir, Anies bilang Pemprov DKI Jakarta telah melakukan berbagai program yang tidak berorientasi pada betonisasi. Di antaranya, program Gerebek Lumpur yang dilakukan secara masif di danau, sungai, waduk di Jakarta.
Selain itu, Dinas Sumber Daya Air (SDA) DKI Jakarta membuat kolam olakan air guna mengantisipasi dan menampung genangan air. Kemudian, memperbaiki saluran air, mengintensifkan instalasi sumur resapan atau drainase vertikal. Dan, mengimplementasikan Blue and Green. Yaitu, membuat taman menjadi kawasan tampungan air sementara saat intensitas hujan tinggi, dan melakukan perbaikan pompa.
Pemprov DKI juga memiliki 475 unit pompa stasioner dan 429 unit pompa mobile. Kapasitas pompa kini sudah meningkat 54 persen dalam sepuluh tahun terakhir, yakni dengan total kapasitas mencapai 129 meter kubik.
Kini, Pemprov DKI tengah fokus menuntaskan program 942 project, meliputi 9 polder (suatu sistem untuk menangani banjir rob yang terdiri dari kombinasi tanggul, kolam retensi dan pompa), 4 retensi air (waduk), dan 2 sungai.
Selain itu, melakukan peningkatan kapasitas dua sungai, yaitu Kali Besar dan Kali Ciliwung. Semua Langkah ini untuk mengendalikan banjir kawasan. Terbukti, 12 titik genangan banjir berulang pun kini telah teratasi.
Selain berfokus pada infrastruktur, Pemprov DKI juga terus berinovasi dengan teknologi Flood Control System, agar penanganan banjir ke depan semakin mengikuti prinsip evidence based policy. Flood Control System adalah pemetaan masalah banjir yang lebih akurat serta pengelolaan resiko banjir yang lebih terukur. Pemprov DKI memasang sensor di 178 titik rumah pompa dan pintu air serta CCTV.
“Dengan begitu, yang awalnya dilakukan secara manual, kini real-time. Yang awalnya terbatas, kini datanya melimpah. Sehingga, monitoring penanganan banjir lebih efektif. Petugas-petugas di lapangan dapat melakukan penanganan banjir secara lebih cepat,” imbuhnya.
Direktur Eksekutif Pusat Studi Perkotaan Nirwono Yoga melihat, banjir melanda Jakarta belakangan ini, terutama bagian selatan, merupakan banjir kiriman dan banjir lokal.
Dijelaskannya, banjir kiriman diakibatkan luapan air sungai yang membanjiri permukiman di sekitar bantaran sungai. Sedangkan banjir lokal diakibatkan buruknya sistem saluran air, seperti yang terjadi di Jalan TB Simatupang, Fatmawati dan Kemang Raya, beberapa hari lalu.
“Maka solusinya sudah jelas, yakni pembenahan sungai. Dikeruk, diperdalam, diperluas, dihijaukan dan direlokasi permukiman warga. Didukung dengan revitalisasi situ, danau, embung, waduk sebagai daerah tangkapan air dan memperluas RTH (Ruang Terbuka Hijau) baru sebagai daerah resapan air,” kata Nirwono kepada Rakyat Merdeka (Tangsel Pos Group), kemarin.
Pengamat Perkotaan dari Universitas Trisakti ini menilai, pembangunan sumur resapan atau drainase vertikal tidak efektif mengatasi banjir. Begitu pun program Grebek Lumpur. Program ini seharusnya dikerjakan sepanjang tahun, bukan hanya menjelang musim hujan saja.
Anggota DPRD DKI Jakarta Justin Adrian menilai, banjir di Ibu Kota akibat penanganan banjir tidak mengalami kemajuan berarti. Dia mengkritik jika kecepatan surut menjadi target atau prestasi yang dibanggakan.
“Genangan yang tingginya hanya 50 cm selama beberapa menit sudah bisa merusak kendaraan warga,” cetus anggota Fraksi PSI ini.
Dia menuturkan, sumur resapan semestinya hanya menjadi supporting system. Bukan menjadi media utama penanggulangan banjir DKI. Sebab, media utama pengendalian banjir adalah normalisasi sungai-sungai utama. (rm.id)
Olahraga | 1 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
Pos Tangerang | 2 jam yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
Nasional | 1 hari yang lalu
Galeri | 12 jam yang lalu
Nasional | 1 hari yang lalu
Pos Banten | 2 hari yang lalu