Empati sebagai Infrastruktur
SERPONG - Pemerintahan modern sering berbicara tentang infrastruktur fisik: jalan, jembatan, gedung, drainase, dan transportasi. Tetapi ada satu jenis infrastruktur yang tak kalah penting dan bahkan lebih mendasar: infrastruktur empati. Kota yang kuat bukan hanya yang memiliki gedung tinggi dan jalan lebar, melainkan yang warganya merasa didengar, dihormati, dan dilibatkan dalam setiap kebijakan.
Tangerang Selatan terus tumbuh sebagai kota metropolitan baru. APBD-nya meningkat, pembangunan fisik berlangsung cepat, dan digitalisasi pelayanan mulai merata. Namun di balik kemajuan ini, terasa ada kekosongan halus: kota yang makin efisien, tapi makin dingin; makin teratur, tapi makin jauh dari sentuhan kemanusiaan. Warga sering kali hanya menjadi angka penerima manfaat, bukan subjek yang diajak bicara.
Inilah yang saya sebut sebagai hilangnya empati struktural—ketika kebijakan disusun dengan logika administratif, bukan dengan kepekaan sosial. Padahal, dalam pandangan tasawuf sosial, empati bukan sekadar perasaan, tapi cara berpikir dan bertindak. Ia adalah “mekanisme kebijakan beradab”: kemampuan birokrasi untuk merasakan sebelum memutuskan.
Syekh Ibn ‘Arabi, dalam Futūhāt al-Makkiyyah, menulis bahwa keadilan tidak akan hadir tanpa raḥmah (belas kasih). Rahmah, bagi Ibn ‘Arabi, bukan sekadar emosi keagamaan, melainkan energi kreatif yang melahirkan tatanan sosial yang adil. Artinya, empati bisa dan harus dijadikan prinsip struktural pemerintahan — bukan nilai moral tambahan.
Dalam konteks Tangsel, empati struktural bisa diwujudkan dalam tiga hal.
Pertama, perencanaan kebijakan yang partisipatif. Musyawarah pembangunan (musrenbang) jangan sekadar formalitas tahunan, tetapi wadah untuk benar-benar mendengarkan suara pinggiran. Ketika warga kampung, guru honorer, atau pedagang kecil dilibatkan secara bermakna, di situlah infrastruktur empati mulai terbangun.
Kedua, perancangan anggaran yang menimbang rasa. Setiap angka dalam APBD bukan sekadar angka ekonomi, tetapi representasi nilai moral. Anggaran untuk taman, pendidikan, atau bantuan sosial bukan hanya “alokasi”, tapi keputusan politik tentang siapa yang diperhatikan dan siapa yang diabaikan. Maulana Jalaluddin Rumi mengingatkan: “Akal membangun gedung, tapi cinta yang membuatnya berpenghuni.” Maka, empati adalah roh yang membuat kebijakan bernyawa.
Ketiga, desain ruang publik yang humanis. Kota empatik menyediakan ruang untuk interaksi dan kepedulian. Misalnya, menyediakan kursi teduh untuk lansia, trotoar ramah disabilitas, atau papan informasi yang peka terhadap warga buta huruf digital. Di sinilah empati menjadi kebijakan nyata, bukan jargon sosial.
Pemerintah kota bisa mencontoh model social impact assessment yang sudah diterapkan di beberapa negara Skandinavia — di mana setiap proyek publik wajib diuji dampak sosialnya terhadap kelompok rentan. Ini selaras dengan prinsip sufistik yang diajarkan oleh Syekh Ahmad al-Rifa’i: “Kekuatan seorang pemimpin bukan pada pengaruhnya, tetapi pada kelembutan hatinya terhadap yang lemah.”
Empati sebagai infrastruktur menuntut birokrasi yang memiliki murāqabah — kesadaran batin bahwa setiap keputusan duniawi punya konsekuensi ukhrawi. Seorang ASN, perancang kebijakan, atau wali kota perlu mengingat bahwa setiap tanda tangannya bisa menenteramkan atau melukai banyak hati. Karena itu, dalam Risālah al-Qusyairiyyah, Al-Qusyairi menulis: “Sumber adab adalah kesadaran bahwa engkau diawasi.” Begitu pula birokrasi: ia beradab bila sadar diawasi, bukan hanya oleh auditor, tapi oleh Tuhan dan rakyat.
Empati harus menjadi infrastruktur batin dari kota Tangsel—tersusun dalam sistem, prosedur, dan kebijakan. Sebab jika empati tidak menjadi bagian dari rancangan, maka kota akan tumbuh seperti mesin: efisien tapi tak berperasaan. Sebaliknya, jika empati dijadikan dasar kebijakan, maka kota ini akan menjadi taman sosial, tempat rakyat hidup bukan hanya aman, tapi juga tenteram.
Membangun empati sebagai infrastruktur memang tak mudah. Ia tak tampak dalam laporan kinerja, tak menambah penghargaan, dan tak bisa diukur dalam angka. Tapi justru di situlah nilainya. Karena seperti kata Rumi: “Yang tak tampak, itulah yang memberi ruh kepada yang tampak.
Pos Banten | 2 hari yang lalu
Olahraga | 1 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Pos Banten | 2 hari yang lalu
Pos Banten | 2 hari yang lalu
Olahraga | 1 hari yang lalu
Pos Banten | 2 hari yang lalu
Pos Banten | 2 hari yang lalu
Pos Tangerang | 1 hari yang lalu
Pos Tangerang | 2 hari yang lalu



