TangselCity

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

RELIJIUCITY

SEA Games 2025

Indeks

Dewan Pers

Akar Filosofis-Historis Pemilihan Langsung di Indonesia

Oleh: Prof. Dr. Muhadam Labolo
Editor: Ari Supriadi
Minggu, 14 Desember 2025 | 23:43 WIB
Prof. Dr. Muhadam Labolo.(Istimewa)
Prof. Dr. Muhadam Labolo.(Istimewa)

APAKAH pemilihan langsung memiliki akar filosofis historis dalam realitas keindonesiaan? Kita akan mendalami pertanyaan ini lewat presensi sejarah agar tak sesegera mungkin menelan mentah-mentah produk mekanisme demokrasi yang bahkan di sumber asalnya emoh diadaptasi. Filosofi keindonesiaan kita setidaknya terperas habis dalam landasan bernegara, Pancasila. Keyakinan yang berserakan dalam benak bangsa ini sejak lama terajut dalam kalimat sederhana, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Kalimat itu bukan saja merepresentasikan realitas masyarakat yang tak cukup terdidik hingga perlu diwakili, juga berharap pada hikmah yang akan diproduksi oleh mereka yang tercerahkan (enligtened) untuk memusyawarahkan apa yang menjadi keinginan luhur setiap anak bangsa. 

 

Dalam keyakinan klasik, personifikasi konkret di muka bumi hanyalah Wakil Tuhan. Satu keyakinan yang oleh Weber melahirkan kategori kewenangan tradisional monarki. Tak ada pilihan dari alam bawah (micro-cosmos), kecuali mewakili alam atas (macro-cosmos), melebur lewat spirit manunggaling kawula gusti. Secara historis mekanisme ini jamak dipraktikkan pada semua sistem sosial di dunia dan nusantara khususnya. Praktik penunjukan elit dilakukan melalui seleksi berbasis ikatan kekerabatan (dinasti). Pamongpraja pun tak luput dari sirkulasi semacam ini, yang dulu disebut Pangrehpraja. Mekanisme sirkulasi dengan pola representasi itu pun terjadi di level terendah pemerintahan, desa dan atau nama lain, termasuk desa adat. Kita dapat menemukan realitas itu pada kasus pemilihan kepala desa di Jawa, Papua, Maluku, Kalimantan, Sumatera, dan Sulawesi pra kemerdekaan.

 

Thomas Stamford Raffles (1811-1816) memperkenalkan mekanisme sirkulasi baru, pemilihan kepala desa langsung. Tujuannya mengurangi pengaruh elit lokal dalam mengendalikan masyarakat. Raffles memotong loyalitas, mengontrol stabilitas politik lokal, sekaligus menjadi daya tawar saat berhadapan dengan kaum feodal. Jadi, mekanisme pemilihan langsung yang dipromosikan oleh Raffles merupakan era baru dalam sistem demokrasi mini. Artinya mekanisme itu bukan produk sepenuhnya bangsa Indonesia, namun tak lebih dari gagasan asing yang dicangkok-terapkan di Wilayah Jawa (Hanif, 2018).

 

Realitas masyarakat yang sejak awal tak cukup terdidik dan miskin itu akhirnya dan seterusnya dieksploitasi oleh kepentingan elit untuk tujuan jangka pendek, legitimasi semu lewat pemilihan langsung. Faktanya, pola perwakilan tetap eksis di lebih kurang 80 persen negara termasuk Amerika yang lebih 200 tahun menerapkan mekanisme electoral collect. Sebagai peletak prinsip-prinsip demokrasi modern, Amerika menggunakan prinsip dan sejumlah elemen dasar dalam praktik demokrasi. Salah satu prinsip utama itu democracy from the people, by the people, and to the people. Demikian pidato memukau Abraham Lincoln di Pettysburgh (1865).

 

Mekanisme pemilihan paling tua pernah terjadi di Yunani, itupun ketika status Negara Kota berbentuk Polis dengan jumlah penduduk terbatas baik kuantitas maupun kualitas. Kualitas politik tak berlaku bagi wanita, anak-anak, lansia, budak, dan ekspatriat. Hak memilih merupakan privilege bagi kelas tertentu dalam sistem sosial. Dalam perkembangannya, Athena berkembang menjadi sebuah negara yang kompleks hingga bermetamorfosis menggunakan mekanisme representasi, mewakili sub negara koloninya. Pola ini mirip di sejumlah negara, dengan pertimbangan kualitas masyarakat dan faktor geografis.

 

Kualitas masyarakat menentukan kualitas pemimpinnya. Masyarakat bodoh dan miskin potensial dimanipulasi oleh sekelompok orang dungu dan nekat. Fakta itu yang kita alami sejak 21 tahun terakhir dibanding praktik mekanisme tak langsung yang lebih awal 60 tahun pasca kemerdekaan (1945-2005). Meski demikian mekanisme ini bukan tanpa cacat bawaan. Seperti juga mekanisme lain, ia mengandung persoalan ketika elit kehilangan integritas. Mereka tetap berkhianat sekalipun dipilih dengan cara berbeda. Rakyat perlu kontrol terhadap kualitas anggota parlemen yang cenderung angkuh dan ekslusif.

 

Arogansi itu lama-kelamaan menimbulkan antitesis dari bentuk monarki ke demokrasi. Kualitas suara ditantang dengan kuantitas suara lewat slogan one man one vote. Dalam konteks tertentu slogan itu menimbulkan komplikasi, satu lembar suara tukang somai setaraf dengan satu suara seorang guru besar. Kritik berkembang pula terhadap kualitas pemegang hak suara dari kalangan agamawan yang bahkan terperosok pada praktik kapitalisasi suara atas nama Tuhan. Kehinaan itu mendorong semangat jihad kaum proletar yang yakin bahwa suara merekalah yang merepresentasikan Tuhan, bukan agamawan. Inilah suara rakyat suara Tuhan (vox populi vox dei).

 

Jumlah suara penting sebagai modal elektabilitas. Namun kualitas suara jauh lebih penting sebagai kompas menuju visi perubahan. Kesejahteraan lahir maupun batin. Lahir dalam makna terpenuhinya sandang pangan. Batin dalam arti terpenuhinya rongga dada oleh kepuasan non materi. Dalam paham semacam itulah founding fathers and mothers memilih mekanisme tak langsung pasca kemerdekaan. Bukan tanpa alasan, apalagi sekedar nunut pada importir demokrasi di barat. Ia lahir dari satu keyakinan, tradisi, suasana kebathinan dan realitas Indonesia. Sekalipun keyakinan berbeda motif namun praktiknya tak jauh beda.

 

Satu contoh sederhana, mekanisme representasi dalam keyakinan di timur hingga masuknya Islam di Indonesia mengadaptasi sirkulasi transisi para khalifah yang tak satupun dipilih dengan melibatkan seluruh warga kota Mekah dan Madinah. Demikian pula mekanisme pemilihan pemimpin tertinggi kaum Kristian hingga dewasa ini, Paus Leo XIV. Raibnya pengetahuan sejarah dan filosofi kepemimpinan semacam itu bukan saja kian membagongkan, juga menguras energi potensial bangsa untuk bersatu memanfaatkan sumber daya alamnya yang ditukar curi diam-diam tiap kali berhadapan dengan prosesi mekanisme pemilihan langsung. Nomor piro wani piro.

 

Dampak besarnya bukan saja keterbelahan, ketersanderaan, pengkhianatan, pencurian, perampokan, bahkan pemerkosaan sumber daya hingga menyisakan tandus, kering, longsor, banjir dan pemusnahan mahluk hidup di tanah sendiri. Semua lenyap karena konsekuensi atas pertukaran melalui mekanisme barbarian oleh kaum dungu yang menyukai demo tapi kosong otak.

 

Lebih kurang 21 tahun sejak pilsung diterapkan, kita membuang triliunan rupiah tanpa signifikansi pada tujuan berpemerintahan, kesejahteraan, kecuali menimbun sekumpulan orang gila jabatan, demagog, koruptor, kemiskinan, kepandiran, dan ketertinggalan dalam berbagai hal. Saya pikir saatnya menyudahi semua itu, mendukung gagasan presiden sambil mengupayakan pendidikan politik bagi para elit partai agar negara tak semakin jauh terjerumus pada negara gagal.(*)

 

Penulis merupakan Ketua Harian Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia (MIPI) dan Guru Besar pada Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN)

Komentar:
GROUP RAKYAT MERDEKA
RM ID
Banpos
Satelit